‘Saat kamu merasakan sesuatu yang nyata seperti mimpi. Kamu tidak sadar, saat itu pula alam bawah sadarmu tengah dipermainkan.’
***
Pagi ini Gibran baru saja selesai mandi. Ia kebetulan ada jadwal praktik di jam sembilan nanti. Saat tengah berjalan menuju lemari pakaian sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil, Gibran tak sengaja menemukan ada selembar kertas putih tergeletak di dekat lemari.
Gibran putuskan untuk memungut kertas tersebut. Di kertas itu rupanya ada pesan yang tertulis dengan tinta merah.
'Hari ini kamu akan menemukan jawabannya.'
Gibran tidak mengerti maksud dari isi pesan yang tertulis di kertas itu. Ia mencium aroma darah dari kertas yang tengah ia pegang.
"Penulisnya menulis pesan ini dengan darah? Siapa kira-kira?" Pikiran Gibran langsung tertuju pada hantu perawat yang telah menghancurkan kebahagiaannya.
Lelaki itu tidak mau ambil pusing memikirkan arti dari pesan tertulis tersebut. Ia memilih bersiap-siap pergi ke rumah sakit, karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih.
Beberapa hari kemarin, Gibran merasa hari-harinya seperti mati. Tanpa harapan, apalagi kekuatan untuk memulai hidup baru. Namun, setiap manusia memiliki kehidupan sendiri yang harus dilanjutkan. Meski sekarang Gibran dipaksa untuk berjalan sendiri tanpa seorang pendamping di sampingnya.
Gibran telah rapi dengan pakaian formalnya. Pria itu bergerak menuju lantai bawah. Tempat yang ia tuju adalah ruang makan. Ia lalu menaruh tas kerjanya di atas meja makan, kemudian menarik kursi dan mendudukinya.
Hari ini Gibran mengenakan setelan kemeja biru dongker dan celana kain hitam. Ia telah siap menjalankan tugas mulianya yang sudah sepekan ini ia tinggalkan. Biar bagaimana pun, Gibran harus profesional dalam bekerja. Justru, dengan berdiam diri di dalam rumah, ia semakin sulit untuk melupakan kekasihnya. Meskipun, tidak ada niatan baginya untuk melupakan apalagi menghapus segalanya tentang Lara.
Tangannya bergerak meraih satu lembar roti tawar di atas meja makan. Ia mengoleskan selai nutella pada bagian demi bagian badan roti berbentuk persegi itu. Tanpa sadar, Gibran kembali teringat akan ucapan seseorang.
'Aku paling suka sama selai nutella. Mulai sekarang, kamu juga harus suka, ya. Apa pun yang aku suka, kamu juga harus suka, karena kita satu hati.'
Lagi-lagi ia teringat akan ucapan kekasihnya kala itu. Gibran yang sejak dulu tidak menyukai selai nutella, sekarang justru ia begitu senang memakan setangkap roti tawar isi nutella. Sama halnya dengan perasaan. Pertama mengenal Lara, Gibran biasa-biasa. Namun, waktu semakin berjalan, mereka semakin dekat, dan perjalanan selama dua tahun ini membuat Gibran benar-benar mencintai Lara.
Pria itu meletakkan roti di atas piring keramik putih di depannya. Ia lalu menatap satu botol kecil berisi selai nutella dengan nanar. Berharap, Lara-lah yang akan mengoleskan selai untuk rotinya, bahkan gadis itu akan menyuapkan menu sarapan pagi untuknya. Namun, harapan itu seakan-akan hanyalah sebuah khayalan yang makin membuatnya terpuruk dengan kegagalan. Kegagalan untuk membahagiakan bidadarinya. Setidaknya, menikahi Lara adalah cara untuk membahagiakan gadis pujaannya itu.
Tanpa Gibran sadari, ia kembali meloloskan air mata yang mungkin takkan pernah mampu menebus segala rasa bersalahnya.
Kesekian kalinya Gibran terjebak dalam genangan penyesalan. Wajah yang sudah terlihat segar, kini kembali murung dengan bias-bias air pedih yang sudah membasahi pipinya. Gibran menunduk, mencoba melupakan sejenak rasa sesak dalam d**a. Namun, semakin ia mencoba, ia justru makin tersiksa. Tanpa bisa dipungkiri, pria itu sangat merindukan kehadiran Lara di sisinya.
Seorang gadis manis yang memiliki suara merdu, senyumnya begitu hangat, wajah yang terlihat sendu namun penuh kedamaian. Bidadari yang senantiasa menanti Gibran menjemputnya kelak di surga.
Pria itu bergegas meraih tas kerjanya. Tidak sedikit pun ia meneguk cokelat hangat atau memakan roti isi nutella yang sudah ia buat. Untuk menyantap menu sarapan paginya saja ia merasa tak kuasa. Rasanya begitu sesak. Baginya, segelas cokelat hangat yang terlihat manis itu pun terasa pahit di kerongkongan.
Tidak ingin berlarut-larut dalam duka yang mendera dirinya, pria itu bergerak menuju mobil sport berwarna putih yang sudah bertengger di pelataran rumah.
***
Setibanya di rumah sakit, Gibran seperti biasa berjalan memasuki lift, menekan tombol nomor dua dan menuju ruangannya. Ia melangkah santai menyusuri koridor. Dari arah berlawanan, pria itu melihat seorang suster yang sudah lama akrab dengannya. Vira tengah membawa map putih yang diletakkan di atas d**a. Saat Gibran berpapasan dengan Vira, ia menghentikan langkah kemudian menyapa.
"Pagi, Vir."
Wanita berpakaian suster itu tidak merespons. Ia seakan-akan tidak mendengar sapaan Gibran.
"Vir. Kamu kenapa, sih? Disapa diem aja?!" Gibran kesal karena Vira seperti tidak melihatnya.
"Vira kenapa, sih? Nggak kayak biasanya."
Gibran merasa aneh dengan gelagat Vira. Mengapa Vira tidak menanggapi sapaannya? Bahkan, suster itu seakan-akan tidak melihat kehadirannya.
Pria itu tidak mau mengambil pusing. Ia kembali berjalan menuju ruangannya yang berada di sepertiga lantai dua. Berkali-kali Gibran berpapasan dengan orang yang berlalu lalang melewatinya. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menyapa atau membalas senyumannya. Aneh. Itulah kata yang terlintas di kepala dokter muda itu saat ini.
Lelaki itu mulai memasuki ruangannya. Ia meletakkan tas jinjing berwarna hitam di meja kerjanya. Gibran mengempaskan tubuh di atas kursi. Memeriksa data-data pasien yang sudah tertata rapi di sana. Ia pun meraih jas putih kebesarannya yang tersampir di pinggir kursi. Ia berniat mengunjungi salah satu pasiennya di lantai tiga yang tengah dirawat di ruang ICU.
Ketika sampai di lantai tiga, Gibran tak sengaja melihat Rasya tengah berdiri di lorong rumah sakit. Pria itu bergerak menghampiri sahabatnya. Terlihat dari wajah dokter umum itu, Rasya tampak gusar. Seperti tengah menantikan seseorang.
"Sya. Elo lagi nungguin siapa?"
Gibran mencoba bertanya. Namun, keanehan itu terjadi kembali. Rasya tiba-tiba menatapnya dengan raut wajah ketakutan.
"Sya! Elo kenapa, sih? Lihat gue kayak ketakutan gitu?" Gibran mencoba melambai-lambaikan tangan di depan wajah Rasya, tetapi dokter umum itu justru menjauh. Seolah-olah menghindari Gibran.
Rasya tak mengindahkan kebingungan yang terpancar dari wajah sahabatnya. Ia justru melambaikan tangan pada seseorang di belakang Gibran.
"Lara!"
Detak jantung Gibran seakan terhenti, saat Rasya menyebut nama kekasihnya.
"La-Lara ...?" Gibran pun menoleh. Membalikkan badan, dan matanya benar-benar terbelalak ketika mendapati gadis yang sangat mirip dengan wajah kekasihnya.
Seorang gadis dengan celana jeans panjang dan blouse bermotif bunga tulip berwarna biru muda itu tengah berlari ke arahnya. Gadis yang sudah membuat hidup Gibran hampir gila karena kehilangan. Gadis yang benar-benar ia cintai kini benar kembali.
Lara datang, mungkin untuk menyongsong hidup baru bersama Gibran. Wajah gadis itu terlihat cantik dan segar. Dengan rambut hitam lurus yang dibiarkan tergerai indah, membuat Gibran tak kuasa membendung rasa rindu yang sudah lama beradu. Pria itu tersenyum haru. Gibran berharap ini bukanlah mimpi belaka. Ia tidak ingin kehilangan lagi. Cukup sekali, dan itu benar-benar menyakitkan.
"Ay ... ka-kamu masih hidup ...?"
Gibran merentangkan kedua tangan. Bergerak menyambut kedatangan Lara. Saat ia berniat akan memeluk sang kekasih, tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku. Gibran merasakan sebuah sensasi yang benar-benar luar biasa. Lara tidak berhasil mendarat dalam dekapannya, melainkan, gadis itu berjalan menembus tubuhnya.
"Kak, gimana kondisi Gibran?" tanya Lara panik pada Rasya.
Raut wajah pria itu terlihat sedih. Tatapannya murung menatap seorang gadis yang tengah menantikan jawabannya.
"Mending kamu lihat sendiri," ajak Rasya kemudian.
Lara mengikuti langkah Rasya menuju ruangan paling ujung. Berbeda dengan pria berkemeja biru dongker itu. Gibran masih berdiri terpaku di tempatnya. Bahkan tubuhnya terasa lemas seketika seakan tidak memiliki daya. Apa yang baru saja ia alami benar-benar seperti nyata.
Pria itu menatap bingung kedua telapak tangannya. Gibran merasa ada yang janggal dengan tubuhnya. Mengapa ia tidak bisa menyentuh Lara? Orang-orang sedari tadi berlalu lalang melewatinya, tetapi seakan-akan mereka tidak melihat kehadirannya apalagi mendengar suaranya. Dan yang paling membuat Gibran bingung adalah, gadis pujaannya itu masih ada. Lara masih terlihat segar seperti layaknya manusia. Benarkah kekasihnya masih hidup, dan kematian yang dialami Lara kapan lalu hanyalah sebuah kamuflase belaka?
Tbc ...