Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu.
Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran.
"Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!"
"Iya, kenapa? "
"Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya.
Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya.
"Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh kakaknya.
"Itu lagu kesukaan Nenek, jadi gue nggak akan bosan memainkannya!" jawabnya.
"Tumben kamu pulang lebih awal, dan ke mana kamu semalam? "
"Gue ke rumah Nenek, kangen sama Nenek ! "
"Semoga kamu nggak bohong!" harap kakaknya lalu masuk ke kamarnya.
Ben kembali melanjutkan permainannya dengan lagu yang lain. Dia memang sering menghabiskan waktu dengan bermain piano, itu membuatnya sedikit tenang.
***
Esoknya saat Melanie datang Ruben masih meringkuk di dalam kamar. Melanie mengetuk pintu, mbok Jah yang membukanya.
"Eh, Non Melanie. Cari Den Ruben ya?"
"Apa Ruben sudah bangun, Mbok ? "
"Den Rubennya masih tidur, Non."
"Masih tidur?"
"Den Ruben bilang Non Melanie suruh ke kamarnya saja!"
"Ya udah makasih ya, Mbok!" katanya berjalan menuju kamar Ruben.
Pemuda itu masih nyenyak dalam mimpinya. Melanie mengguncang tubuhnya untuk membangunkannya tapi Ben hanya menggeliat lalu meringkuk lagi.
"Anak ini, hei bangun! Dasar kadal!" maki Melanie melempar bantal ke wajah Ruben, itu membuatnya tersentak. Ia membuka mata dan Melihat Melanie di sana.
"Katanya mau mengajakku ke makam Nenek, tapi jam segini masih molor!" kesalnya.
Ruben bangkit mengucek matanya untuk membuat matanya terbuka jelas, "Gue masih ngantuk!" jawabnya lesu.
"Dasar pemalas, ini sudah jam berapa ! " Melanie mengingatkan akan jadwal mereka hari ini.
"Iya ... gue mandi dulu!" katanya beranjak ke kamar mandi sambil menggaruk leher.
"Mbok, tadi siapa yang datang?" tanya Dennis saat keluar dari ruang kerjanya, meski pun hari libur ia tak pernah meninggalkan pekerjaannya untuk bersantai.
"Temannya Den Ruben."
Dennis tak memberi pertanyaan lagi, ia langsung ke atas untuk melihat siapa yang datang. Ruben keluar kamar mandi sambil mengelap wajahnya dengan handuk, ia belum mandi.
Melanie duduk di tepi ranjang, "Keknya lo semangat banget mau ke makam doang,"
"Entahlah. Sejak kemarin di rumah Nenek aku ngerasa ... jadi lebih mengenalnya, padahal belum pernah bertemu! " jelasnya.
"Baguslah,"
"Apanya yang bagus?"
Dennis mendengar suara wanita maka ia pun membuka pintu kamar Ruben dan melihat adiknya sedang bersama seorang wanita di sana. Yang lebih membuat Dennis terkejut adalah siapa wanita yang ada di dalam kamar adiknya. Dia adalah wanita penyanyi caffe itu.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" serunya lalu melangkah maju.
Melanie berdiri dari duduknya, ia lupa kalau Dennis ada di rumah, tak seharusnya ia langsung masuk ke kamar Ruben. Kak Dennis pasti akan berfikir yang negatif tentang dirinya.
Dennis menatap adiknya lalu pandanganya jatuh ke arah Melanie,
"Kamu lagi, nggak bosan - bosannya kamu menggoda adikku!" lantangnya.
"Kak, gue yang suruh dia ke sini!" bela Ruben.
"Nggak seharusnya seorang wanita berada di kamar pria pagi-pagi begini, dan kamu. Berapa kali aku harus katakan jauhi wanita seperti ini!"
"Seperti apa, Kak ? Melanie itu wanita baik-baik. Dia teman sekolah gue, dia juga yang selalu ada setiap kali gue butuh, nggak seperti kalian!"
Dennis malah menoleh Melanie, "Kenapa kamu masih di sini? Pergi dan jauhi adikku. Dasar perempuan murahan!" hardiknya.
Melanie sedikit tersentak dan langsung berlari keluar.
"Mel," panggil Ruben hendak mengejar tapi Dennis menahannya.
"Biarkan dia pergi!"
Tapi Ruben melempar tangan kakaknya dan pergi keluar untuk mengejar Melanie. Saat itu Melanie sudah hampir sampai di gerbang. Ruben memanggil sambil berlari kencang untuk bisa meraih tangannya.
"Mel, tunggu!" serunya memegang lengan gadis itu.
"Gue tahu Kak Dennis keterlaluan, tapi lo jangan menghindar dari gue cuma karena itu!" pinta Ruben.
"Mungkin Kak Dennis benar, kamunggak seharusnya bergaul sama aku,"
"Lo itu ngomong apa sih, gue kenal lo lebih dari siapa pun dan gue mau lo selalu ada buat gue apa pun yang terjadi ! "
"Tapi Ben,"
Ruben langsung memeluknya, "Gue nggak mau lo pergi dari gue, gue sayang banget sama lo," pinta Ruben sambil mempererat pelukannya.
Melanie senang mendengar pernyataan Ben, tapi sayang yang diucapkannya itu seperti apa? Sahabat, kekasih atau saudara. Tapi Melanie tak mempermasalahkan status itu, selama ini hanya Ruben yang membuatnya berarti. Selama Ben masih menghendakinya berada di sisinya, entah sebagai apa? Itu sudah cukup baginya. Sebutir airmata jatuh dari pelupuk mata gadis itu. Ruben melepas pelukannya,
"Masih mau pergi nggak ke Makam?" tawarnya.
"Tapi lo masih pakai piyama,"
"Masalah?"
Mereka pun pergi ke makam, membersihkan makam dan menabur bunga setelah itu Ruben berdo'a bersama Melanie.
Dalam perjalanan pulang.
"Mel, kalau misalkan beberapa tahun ke depan gue nggak dapet cewe yang bisa bikin gue jatuh cinta gue mau nikah sama lo aja ah!" ucapnya sekenanya,"
"Nikah, kita berdua? Ogah!" tolaknya menatap pemuda itu,
"Kenapa? Gue kurang ganteng apa sih buat lo?"
"Itu artinya aku cuman jadi pelarian, nggak mau!"
"Lo tahu lo bukan sekedar pelarian," jelas Ruben,
Saat di lampu merah tentu saja mobil mereka berhenti. Mata Ruben tertuju ke seorang wanita yang memegang payung karena gerimis menghujam. Wanita itu sangat rupawan, berwajah lembut dan indah. Ruben tak berkedip melihatnya, seolah ia menemukan sesuatu yang berharga. Melanie memperhatikan pemuda itu, ia melambaikan tangannya di depan wajah Ruben membuat lamunannya hilang.
"Apaan sih!" seru Ruben menampik tangan putih itu.
"Kamu kenapa sampai bengong gitu?"
"Loe lihat itu nggak?" tunjuknya dengan mata.
"Apaan?"
"Dia seperti bidadari," pujinya.
Melanie melihat ke arah yang dituju mata Ruben. Ia melihat wanita di bawah payung yang sedang menyeberang jalan di depan mereka.
"Mmmm ... mulai lagi deh, kumat!" Melanie tahu pikiran Ruben, playernya mulai kambuh lagi. Rasanya anak ini tak bisa melihat cewe mulus sedikit.
"Si Vera sama Alice saja belum kelar, udah mulai cari mangsa baru!" kesal Melanie.
Tapi Ben tak menghiraukan keluhan gadis di sampingnya padahal baru saja ia mencoba merayu gadis di sampingnya itu.
"Gue harus cari tahu!"
"Ben! Kita di tengah jalan," seru Melanie yang melihat Ben hendak keluar dari mobil. Ben pun sadar di mana dia berada.
"Oh my ... Sial!" makinya.
"Berarti bukan rejekimu, sudah cepat jalan. Mobil di belakang sudah sangat berisik!" Melanie mengingatkannya karena dari tadi klakson dari mobil di belakang mereka sudah berbunyi beberapa kali.
Ruben pun menjalankan mobilnya maju, tak jadi mengejar wanita dengan payung itu. Sepanjang jalan Ben terus membayangkan wajah rupawan wanita itu. Padahal sebelumnya ia tak pernah terlena seperti itu. Malamnya Melanie berbaring di ranjangnya sambil memeluk guling.
"Ben kenapa kamu masih nggak bisa membaca hatiku, apa kamu nggak tahu aku sangat mencintaimu. Aku ingin kamu meninggalkan semua kenakalanmu itu. Aku ingin kamu mendapat hidup yang jauh lebih baik. Tapi ... Saat kamu melihat wanita itu di lampu merah, sepertinya ... apa mungkin kamu malah akan jatuh cinta padanya ? " Melanie mengeluh sendiri.
Sementara Ben senyum-senyum sendiri layaknya orang sinting sambil menatap langit-langit kamar.
***