Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip.
Sementara di sekolah ....
Melanie menghampiri Tomi dan Rico.
"Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie.
"Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico.
"Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut.
Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera juga menghampiri mereka.
"Kalian lihat Ruben?" tanya Vera.
"Dia nggak masuk tuh!"
"Kenapa? Ben sakit!" panik Vera.
"Sakit! Haa ... haa ...," Rico tertawa, "Ruben itu penyakit, penyakit cinta. Mana mungkin dia sakit!" kelakar Rico.
Vera malah cemberut, "Gue serius, kok malah dibecandain sih!" kesal Vera.
"Gue juga serius kali!" balas Rico.
Ruben itu memang semaunya sendiri, sering membuat banyak orang mencarinya. Vera menyingkir dari sana, mencoba menepis pikiran negatifnya.
Saat Tika selesai menyeberangi jalan dan sampai melewati Ruben, Ruben mengikutinya pelan. Tika merasa ada yang membuntutinya, ia berhenti dan menoleh. Ruben berhenti pula ia pura-pura mengotak-atik hpnya. Tika kembali berjalan ke depan, kali ini ia tak membawa payung. Tentu karena hari ini tidak gerimis atau hujan. Ruben kembali mengikutinya, Tika mempercepat jalannya sambil sesekali melirik ke belakang. Ruben mempercepat jalannya hingga ke sisi mobilnya sendiri. Ia berhenti di sana, Tika mencegat taxi. Dan taxi yang dinaikinya cepat melaju, Ruben mengikuti taxi itu dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Tika turun di depan sebuah universitas dan masuk ke dalam, Ruben menyetir mobilnya masuk ke halaman kampus dan memarkirnya di tempat parkir, tentu saja. Tapi ia tidak turun, ia mengamati gadis incarannya dari dalam mobil. Setidaknya ia tahu di mana gadis itu kuliah.
Ia pun akhirnya pergi dari sana, di jalan ponselnya berbunyi. Itu Vera.
"Hallo!" jawab Ruben.
"Ben, lo di mana? Lo nggak masuk sekolah?" cemas Vera,
"Gue ada urusan!"
"Tapi lo nggak sakit kan?"
Ruben tertawa, "Nggak, gue baik-baik aja!"
"Oh ... syukurlah, memangnya sekarang lagi di mana?"
"Di mana itu bukan urusan lo, jangan terlalu kepo deh!" nada suaranya sudah mulai kesal,
"Gue cuma pingin tahu!"
"Ya udah ya gue masih ada acara nih!" katanya mematikan teleponnya. Vera terkejut karena teleponnya di putus.
"Ben, hallo, Ruben!" serunya. Vera menutup hpnya dengan kesal, "Ada apa dengan Ruben, sepertinya dia mulai menhindar dari gue?" herannya.
Ben malah mengunjungi Fredy dan teman-temannya di tempat mereka berkumpul. Mereka adalah anak track. Sudah lama sekali Ruben tak ke sana. Fredy melihatnya turun dari mobil, ia memanggilnya dari kejauhan.
"Hai, Ben!" serunya sambil melambaikan tangan.
Ruben membalas lambaian tangan Fredy dan menghampiri mereka.
"Woi ke mana aja lo, udah lupa sama kita?"
"Paling juga sibuk ngegombalin anak gadis orang," cibir Ken,
"Ya anak oranglah, masa' anak kudanil!" timpal Gerald menoyor kepala Ken,
"Nggak, cuma dikit sibuk aja belakangan!" jawabnya.
"Lo nggak masuk sekolah?" tanya Fredy,
"Lagi males!" singkatnya,
"Hai, Ben!" sapa Diva yang langsung nemplok di lengan Ruben dengan senyum menggoda.
Wanita itu memang sempat dikencani Ruben tahun lalu, tapi mereka tak membuat komitmen apa pun sama seperti Alice.
Mereka ngobrol karena lama nggak ketemu. Setelah dari sana Ben kembali ke kampus Tika, ia duduk di depan mobilnya menunggu gadis pujaannya keluar dari dalam gedung. Tika keluar bersama dua temannya, Susi dan Rani. Biasanya Tika diantar supir tapi karena supirnya sedang pulang kampung makanya terkadang ia naik taxi atau ikut dengan temannya. Sebenarnya ia bisa membawa mobil sendiri hanya saja ia tak mau. Mereka berjalan ke arah mobil Susi yang ternyata bersebelahan dengan mobil Ruben. Ruben sudah berdiri di atas kakinya. Memandang gadis itu dalam, Tika menyadari tatapan anak SMU itu, dan tiba-tiba ia ingat kejadian tadi pagi.
Bukankah anak itu yang mengikutiku tadi pagi?
Tika berhenti tak jauh dari Ruben. Mereka berpandangan. Mata anak itu cukup indah, ia mengakuinya. Tajam dan bening.
"Kamu yang tadi pagi mengikutiku kan? Kenapa kamu mengikutiku?" tanya Tika penuh curiga.
"Gue cuman ... pingin tahu tentang lo," jawabnya jujur.
"Apa?"
"Gue lihat lo tempo hari, dan itu cukup mengganggu pikiran gue, makanya gue putusin buat mengenal lo!"
Jawaban Ruben membuat Tika tersipu, ia menyilakan rambutnya yang tergerai ke belakang telinganya. Kedua temannya memberi isyarat,
"Ssst!"
Tika menoleh, Susi memberi isyarat menanyakan siapa anak muda itu, tapi Tika hanya mengangkat bahu karena ia sendiri belum tahu.
"Ruben!" Ben mengenalkan diri dengan menjulurkan tangan, "Itu nama gue, boleh tahu punya lo?"
"Ha!"
"Maksud gue nama lo?" katanya memperjelas pertanyaannya.
"Tika," jawabnya singkat.
"Boleh gue antar pulang?" tawarnya dengan senyum manis.
Tapi Ruben memang memiliki senyum menawan.
"Aku pulang dengan temanku saja, kita kan belum saling kenal!"
"Kalau begitu kita harus saling mengenal dulu kan, gue nggak akan berbuat macam-macam!" janjinya,
Tika menoleh temannya.
"Jika kalian tak percaya, boleh memotret plat mobil gue atau bahkan guenya, jadi kalau gue berbuat yang nggak-nggak kalian bisa langsung lapor polisi!" ia mencoba meyakinkan semuanya.
"Nggak apa-apa Tik, sepertinya dia anak yang manis!" seru Susi mendukung.
"Teman lo nggak keberatan!" tambah Ruben,
Tika menghela nafas, "Baiklah, tapi langsung antarkan aku pulang, aku tak mau mampir ke mana-mana!" katanya memberi syarat. Itu tidak akan masalah bagi Ruben. Ruben membuka pintu mobil, mempersilahkan Tika masuk ke dalam, ia menutup pintu mobilnya dan berjalan memutar untuk duduk di sisi lain. Ia menyalakan mesin mobil dan menjalankannya.
"Apa kamu membolos hari ini?"
"Lagi nggak ada yang penting di sekolah!"
"Jika sering membolos nanti kamu nggak bisa lulus, aku nggak suka orang yang suka membolos sekolah!" katanya setengah menyindir.
"Baiklah, gue nggak akan membolos lagi!" janjinya.
"Pacar lo nggak akan marah kan kalau gue nganter lo?" tanya Ruben.
"Aku nggak punya pacar tapi ...!"
"Bagus, kalau begitu gue bebas nganterin lo kan?" sela Ruben padahal Tika belum selesai bicara.
"Mungkin pacarmu yang akan marah!" balas Tika.
"Itu bisa diatur!" entengnya,
"Berarti kamu punya pacar?"
"Kenapa, cemburu?" Ruben mengerling nakal,
Tika mengeenyit, "Cemburu, kita belum kenal. Untuk apa cemburu!" elaknya.
"Kita sudah kenalan!"
Anak ini percaya diri sekali tapi jujur ia punya mata yang bisa membius siapa saja yang menatapnya. Dia memiliki daya tarik yang indah, yang mampu menyihir banyak gadis.
Ruben mengantar Tika ke rumahnya, tapi ia meminta turun di jalan dekat rumahnya. Ia bilang ia tak mau ibunya melihat dirinya diantar pulang anak SMU.
***
Ryo mencegat Vera di halaman sekolah,
"Lo mau apa lagi, Yo?" tanya Vera sedikit kesal.
"Jadi sekarang lo pacaran sama Ruben. Itu sebabnya lo nggak mau balikan sama gue?"
"Karena Ruben atau bukan gue tetap nggak mau balikan sama lo!"
"Lo pikir gue bodoh, semua cewe itu tergila-gila sama Ruben, dia anak pengusaha sukses di Asia, punya tampang, pandai merayu, dan lo terima dia jadi pacar lo, lo bakal nyesel!"
"Lo nggak usah ikut campur urusan pribadi gue! "
"Gue cuma mau ngingetin lo aja, bagi Ruben lo itu sama seperti cewe lainnya, cuma mainan. Suatu saat dia bakal buang lo kalau udah bosen!" katanya mencoba membujuk Vera.
Tapi Vera malah pergi menghindar. Tapi ia memikirkan apa yang Ryo ucapkan, semua perkataannya ada benarnya juga. Suatu saat Ruben pasti akan memutuskannya kalau dia sudah dapet cewe baru, dan ia bakal nggak siap untuk itu.
Sorenya Tika menemui calon tunangannya, mereka sudah bertemu dua kali sebelumnya. Ia memang menyukai calon tunangannya yang tampan dan dewasa. Tapi entah kenapa saat bertemu Ruben hatinya juga merasa ada yang aneh.
"Maaf lama menunggu ya?"
"Nggak, aku juga baru datang !" jawab Dennis, ia mempersilahkan Tika duduk. Mereka memesan makanan, sembari menunggu pesanan siap mereka mengobrol.
"Bagaimana kuliahmu?"
"Lancar, terkadang sedikit membosankan!" jawab Tika dengan senyum kecil,
"Semoga aku nggak membosankan!" sahut Dennis dengan sedikit canda, Tika tersenyum.
"Mungkin aku nggak akan jadi suami yang sempurna, aku akan jarang di rumah, sering keluar negeri!"
"Aku tahu, mungkin aku juga bukan istri yang bisa diam di rumah. Mungkin aku akan mencari pekerjaan setelah wisuda! Jika kamu ijinkan?"
"Aku nggak akan melarang, daripada kamu bosan dan mencari orang lain nantinya!" canda Dennis.
Tika sedikit tercekat mendengar itu, ia jadi ingat Ruben. Ia sendiri tidak tahu kenapa wajah Ruben tiba-tiba muncul di otaknya. Tak seharusnya ia memikirkan pria lain saat ia bersama calon suaminya. Bukankah dari awal ia sudah setuju dengan perjodohan ini. Dia juga langsung meyukai Dennis saat pertama kali bertemu. Begitupun Dennis, ia langsung jatuh cinta ketika bertemu Tika. Dan ia berharap hubungan mereka akan berjalan lancar.
***