Aku Bukan Papa

2095 Kata
Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai. "Kok lo gitu sih?" protes Vera, "Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya, Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe. "Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!" "Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia," Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?" Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh. "Apa?" "Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue nggak pernah serius sama siapa pun. Dan mungkin, termasuk lo!" aku Ben. Pernyataan Ruben memang sedikit mengiris hati. Cowo itu dengan tanpa dosa mengatakan hubungan mereka tak serius, tapi bukankah sejak awal Vera tahu itu. Dan mungkin semua gadis di sekolah yang masih ngantri nunggu giliran menyandang status sebagai pacar Ruben Alexander Winata. "Ehm ... Ben," Vera menyilakan helai-helai rambut ke belakang telinga dengan resah, "Jujur, gue ngelirik lo itu udah lama. Tapi waktu itu lo pacaran sama Ryo, dan lo ... gue ngerasa ...," Ben menghela nafas, "Lo sedikit beda dari kebanyakan cewe di sekolah," akunya, Vera melebarkan bola mata, ia tak menyangka Ruben memandangnya seperti itu. Dan ia senang akan hal itu. "Jadi pas gue tahu lo putus dari Ryo ...," "Lo baru deketin gue?" potong Vera, Ben mengangguk kecil. Vera tersenyum senang, "Tapi kan lo masih pacaran sama Sita?" "Gue jadian sama dia karena gue nggak tahu lo udah sendiri, daripada kosong ya ... apa salahnya!" Ben menyilang d**a dengan santai, Jawaban Ruben kali ini membuat Vera manyun kesal. Dasar buaya cap kadal! Ingin sekali rasanya Vera melempar isi gelas yang kini ia sedoti ke wajah tampan Ruben. Tapi karena rasa sayangnya ia tak lakukan itu. Ia tak mau membuat cowo itu illfil dan malah mutusin dirinya. "Lo belum jawab pertanyaan gue," tagih Ben membuat Vera sedikit kesedak, susah payah ia menelan cairan kental itu. "Ver, lo nggak apa-apa?" Vera menggeleng, memungut tisu untuk mengelap mulut lalu menatap Ruben yang masih menunggu jawabannya. "Ehm ... sebenarnya gue ... udah lama suka sama lo," akunya dengan senyum sedikit getir, "Tapi kan lonya nggak pernah ngedeketin gue, jadi waktu lo deketin gue ... nggak ada alasan kan gue nggak terima lo," Itu yang membuat Ben sedikit menghargai Vera, cewe itu bukan cewe genit atau kecentilan. Makanya waktu diundang makan malam ke rumahnya ia mau saja. "Tapi lo pasti tahu resikonya kan?" Kembali Vera sedikit murung, ia tahu apa maksud Ruben. Ia harus siap kapan pun Ruben akan mengakhiri hubungan mereka. Melanie pulang dari caffe sendiri, ia jalan kaki sambil mencoba mencegat taxi. Tapi di tengah jalan ada beberapa preman yang mencegat dan menggodanya. "Hai cewe, mau ke mana? Kita temenin yuk!" seru salah seorang yang berbadan besar. "Jangan ganggu aku!" "Jangan takut, kita cuma mau ngajakin lo enjoy!" tambah yang kurus dan gondrong sambil mencolek dagunya, Melanie melempar tangan orang itu. "Jangan judes-judes, ayo!" yang berbadan besar menarik tangannya, Melanie meronta tapi yang satunya lagi ikut menariknya dan mencoba membawa paksa ke suatu tempat. Melanie terus meronta sambil berteriak. "Lepaskan, tolong ... lepas! Tolong ...!" teriaknya. Kebetulan Ruben melewati jalan itu, niatnya memang ingin menjemput Melanie. Ben melihat itu dari kejauhan, ia mempercepat laju mobilnya dan berhenti tak jauh dari mereka. Ruben turun dan mendekat. "Lepasin dia!" teriaknya. Semuanya menoleh ke arah suara itu. "Ben!" desis Melanie. "Eh, cecunguk. Jangan ikut campur!" teriak si gondrong. "Kalau lo gangguin dia tentu gue ikut campur!" Balasnya maju dan menyerang keduanya. Kedua preman itu tak punya pilihan selain melepaskan wanita yang dipegangnya lalu juga menyerang Ruben. Mereka berkelahi, Ben sempat kena pukulan beberapa kali dan membuat pipinya lebam, tapi ia akhirnya berhasil membuat keduanya kabur melarikan diri. Ben menghampiri Melanie. "Loe nggak apa-apa?" tanyanya. "Nggak apa-apa, untung kamu cepat datang!" Ruben membawa Melanie ke dalam mobilnya. Vera masih diam duduk di depan, ia sedikit cemberut karena Ruben membawa Melanie bersama mereka. Di dalam mobil .... "Mel, kenapa lo nggak nungguin gue, gue kan udah kirim chatt tadi!" "Aku pikir kamu bakal sibuk!" jawabnya. "Lo tahu nggak, kek tadi itu bahaya banget, kalau gue terlambat datang gimana?" celotehnya agak marah. "Yang penting kan sekarang udah nggak apa-apa!" "Mulai besok kalau belum ada yang jemput, lo jangan pulang dulu!" perintahnya, Vera bertambah kesal karena Ruben malah asyik bercengkrama dengan Melanie, mengomel, mencemaskan dan berdebat sementara dirinya yang dari tadi duduk di sampingnya malah didiamkan saja seperti tidak ada. Ruben mengantar Melanie lebih dulu pulang ke rumahnya baru dia mengantar Vera pulang padahal rumah keduanya berlawanan arah. *** Siang itu Ruben berjalan menuju ke kamar kecil, ia masuk ke dalam sana. Selama ia di dalam, Ryo dan teman-temannya masuk lalu mengunci kamar mandi dari dalam. Sebelumnya mereka sudah memeriksa kalau tidak ada orang lain lagi yang masuk. Bahkan melarang seorang anak yang mau masuk ke dalam. Ketika Ruben keluar dari salah satu pintu toilet, seseorang langsung menariknya dan menyandarkannya ke tembok. "Ryo!" lirihnya sedikit terkejut. Di belakang Ryo ada ketiga temannya, sepertinya ini tidak baik. "Ada yang perlu gue bantu?" tanya Ruben dengan tenang. "Nggak usah banyak omong lo," potong Ryo, "Lo pasti udah tahu apa mau gue. Gue mau lo putusin Vera!" Ruben menjawab dengan tawa kecil, "Gue mau putusin dia atau nggak itu urusan gue, lo nggak usah ikut campur!" "Lo jangan main-main sama gue!" "Dan lo pikir gue takut?" Ryo meninju wajahnya, Ben terlempar akibat pukulan itu, ia memegang pipinya lalu membalas serangan Ryo. Ketiga teman Ryo langsung ikut andil dalam perkelahian itu. Sebuah perkelahian yang tak seimbang, itu membuat Ben tersungkur ke lantai dengan hidung berdarah dan memar di beberapa tempat. Ryo menarik leher bajunya, "Kalau lo masih nggak ngejauhin Vera, gue pastiin lo bakal nyesel!" ancamnya lalu pergi, membiarkan Ruben yang terkulai. Melanie mencari Ruben, dan ia melihat pemuda itu keluar dari toilet dengan merembat di tembok. Wajahnya terlihat berantakan. Melanie menghampirinya dengan setengah berlari. "Ben, kamu kenapa?" tanyanya panik. Melanie membawanya ke UKS, mengobati lukanya di sana. "Auw, sakit! Pelan-pelan dong!" "Pas berantem nggak sakit, inilah akibatnya jadi buaya!" cibir Melanie yang mengobati lukanya dengan sedikit kasar, "Pelan-pelan Mel, lo niat ngobatin gue apa mau bikin gue tambah bonyok sih!" "Dua-duanya!" kesalnya. Vera masuk ke UKS dan langsung nyerocos bertanya. "Ben, lo nggak apa-apa? Tadi ada anak kelas dua yang ngasih tahu gue katanya lo dikeroyok sama Ryo!" "Gue nggak apa-apa kok!" jawabnya datar. Vera melirik Melanie, ia bingung di mana-mana selalu ada Melanie di sisi Ruben. "Ryo benar-benar keterlaluan!" umpat Vera lalu keluar. Ada kediaman sejenak, "Mel, hari ini gue lagi males keluar, ehm ... entar gue suruh Rico nemenin lo ya!" "Main suruh seenaknya, emangnya gue babu lo!" umpat Rico yang baru masuk. "Lo mau honor berapa, kunyuk?" balas Ruben. "Pake nyawa lo tuh gue mau!" "Sialan lo!" maki Ben. Rico tertawa garing, "Masuk sekolah udah bengep lo, sekarang nambah lagi. Kapan kenyangnya lo?" "Makan bogem gue mau lo?" balas Ruben. Rico mencebik disertai tawa ringan? Melanie menempelkan kapas yang sudah diolesi alkohol ke wajah Ruben dengan menekannya kencang. Membuat Ruben berteriak, "Auw, Mel ...!" Vera menemui Ryo yang sedang ngumpul bareng teman-temannya. "Yo!" panggilnya. "Hai sayang!" balas Ryo setelah menoleh dan melihat Vera menghampirinya. "Kenapa sayang, baru diputusin sama si playboy itu!" Vera langsung menampar Ryo setelah sampai di hadapannya, membuat cowo itu memegang pipinya yang panas, "Lo emang keterlaluan ya, lo yang putusin gue lebih dulu, nggak seharusnya sekarang lo ganggu hubungan gue sama Ruben!" kesal Vera. "Gue lakuin itu karena gue masih sayang sama lo, Ruben itu bakal bikin lo sakit hati juga!" "Itu bukan urusan lo, longgak usah ikut campur, gue benci sama lo!" Vera mendorong Ryo lalu pergi. "Ver!" panggil Ryo tapi Vera tak menghiraukannya, ia tetap saja berlalu meninggalkan cowoitu. "b******k!" makinya. Malam itu Ruben masuk ke ruangan Dennis, itu sekitar jam 7-an. Ben duduk di kursi di depan meja kerja kakaknya. Dennis yang sedang menghadap komputernya melirik. "Tumben kamu datang sendiri ke sini?" tanya kakaknya. Ben tak menjawab, ia memutar-mutar kursinya. Dennis menoleh dan melihat wajah adiknya yang babak belur. "Berkelahi lagi, kapan kamu akan berhenti berbuat ulah?" "Kita bahas hal lain aja!" pintanya, "Misalkan?" tanya Dennis, "Apa Mama dan Papa nggak akan pulang?" "Sudah kubilang mereka akan pulang setelah menyelesaikan urusannya." "Dari dulu selalu begitu!" sahutnya kecewa. "Ben, apa kamu nggak bisa bersikap sedikit lebih baik. Berhenti keluyuran malam dan berkelahi, kamu ini berasal dari keluarga terpandang bukan berandalan!" "Ya bagi kalian gue emang berandalan, nggak berguna, beda sama lo!" "Apa maksudmu?" "Gue cuman mau lo nggak selalu sibuk dengan kerjaan, lo pulang atau nggak ke rumah ini nggak ada bedanya. Hari libur pun terus aja ngurusin kerjaan!" kesal Ruben. "Kita bahas yang lain saja, Papa menelponku tadi. Katanya kamu pacaran dengan Vera, putri Pak Ferdi. Itu benar?" "Om Ferdi pasti menghubungi Papa!" "Ya, mereka sepakat kalian akan dijodohkan!" "Apa?" Ruben tersentak. "Kenapa kamu kaget, kalian sudah pacaran kan. Lagipula dia lebih jelas dari pada gadis penyanyi caffe itu!" "Nggak ada yang lebih baik dari Melanie, jangan pernah bandingin dia sama siapa pun!" kesal Ruben. "Itu keputusan keluarga dan kamu harus menerimanya!" "Gue nggak mau dijodohin, gue nggak mau kalian jadikan alat bisnis kalian!" "Ben, nggak ada yang menjadikanmu sebagai alat!" "Itu menurut kalian, gue ...!" Ben belum sempat menyelesaikan kalimatnya telepon Dennis berdering, Dennis pun mengangkatnya. "Hallo, oh Pak Eric. Ya tentu, saya tunggu!" katanya mematikan telepon. Ia kembali menatap adiknya, "Lain kali kita bicarakan, aku akan ada tamu!" "Malam begini masih mau membicarakan bisnis, lo sama aja!" katanya bangkit dari kursi dan keluar dari ruangan itu. Dennis hanya melihatnya tanpa menyahut. Tak berapa lama pak Eric dan Andi datang ke rumah. Mereka berbicara di ruangan Dennis. Sebenarnya yang mereka bicarakan bukan hanya bisnis, kebetulan Andi adalah teman kuliahnya dulu jadi mereka juga ngobrol masa lalu dan pengalaman masing-masing. Ruben bermain piano di luar, ia pikir dari pada tidak ada kerjaan lebih baik ia bermain piano. Suara pianonya terdengar sampai ke ruang kerja Dennis. "Siapa yang bermain piano?" tanya pak Eric. "Maaf, sebentar!" Dennis pamit keluar, ia menghampiri Ruben. "Ben, bisa kamu hentikan permainanmu?" pinta Dennis, tapi Ruben seolah tak mendengar suara kakaknya. "Ben, aku bicara padamu!" seru Dennis lagi, tapi Ruben masih terus bermain. Akhirnya Dennis merasa kesal dan menarik lengan adiknya hingga berhenti bermain. Ben menoleh, "Aku bicara padamu dan kamu berpura-pura nggak dengar? Ben kamu mengganggu kami!" "Gue cuma berusaha menghibur diri!" "Waktunya nggak tepat!" "Kita sedang bicara lalu temanmu menelpon dan datang, waktu merekalah yang nggak tepat!" jawab Ben kesal. "Kami memang sudah membuat janji!" "Jika ada pekerjaan kantor nggak seharusnya kamu bawa pulang ?" "Ruben, kamu selalu saja punya jawaban!" "Memangnya kenapa, lo itu nggak ada bedanya sama Papa, nggak penah care sama gue, kalian cuma bisa mentingin bisnis dan bisnis!" "Aku bukan Papa!" "Oh ya, nyatanya apa?" Ben berdiri di atas kakinya, "Ben, aku nggak bisa membuang waktu untuk mengurusi hal nggak penting seperti ini!" kata ya hendak berbalik, tapi kalimat Ruben membuatnya tetap di sana. "Nggak penting!" nada suaranya terdengar getir, "Ya, gue emang nggak penting, nggak berguna, itu sebabnya kalian nggak pernah peduli! Apa lo pikir lo itu sempurna, seorang kakak yang baik. Nyatanya lo itu kakak yang buruk!" umpat Ruben. Tangan Dennis terangkat dan siap melayang ke wajah Ruben, tapi Ruben tak berniat menghindar. Ia malah menyodorkan wajahnya yang juga sudah babak belur. Tapi Dennis terhenti. "Kenapa? Lo mau pukul gue kan? Pukul, ayo pukul. Emang cuma itu yang bisa lo lakuin sebagai seorang kakak!" seru Ruben, Dennis menjatuhkan tangannya kembali. Mereka berpandangan untuk sejenak. Kemudian Ben naik dan masuk kamarnya, Dennis terpaku di tempatnya untuk beberapa saat sebelum kembali ke ruang kerjanya. "Maaf , membuat kalian menunggu!" katanya seraya duduk. "Siapa yang main piano?" tanya pak Eric. "Itu adikku, biasa ... sia sering iseng!" "Permainannya cukup bagus, dia sangat berbakat!" pujinya. Dennis hanya tersenyum. Permainan piano Ruben memang sangat baik. Ia menguasai musik cukup bagus terutama piano, dengan neneknya ia sering memainkan Mozart sonata 6. Itu lagu kesukaan neneknya. Jika disuruh memilih maka Ruben akan memilih menjadi musisi ketimbang bisnisman, bahkan sebenarnya ia ingin masuk sekolah musik. Sebelum bertemu Melanie ia malah pernah berkeinginan sekolah ke Wina. Tapi ia menundanya. Lagipula orangtuanya tidak setuju, mereka menyuruhnya untuk mengambil menejemen bisnis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN