Lo Itu Milik Gue

1562 Kata
Pagi itu Dennis sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Ben. Kamu masih di dalam?" tanyanya agak keras. Tapi ia tak mendengar jawaban, maka ia pun memutar gagang pintu kamar itu dan membuka pintunya. Mendorongnya terbuka sedikit lebar dan melongokkan kepalanya untuk melihat apa adiknya ada di dalam kamar atau tidak. Ia melihat Ruben masih terlelap di bawah selimut, maka ia pun memunculkan seluruh badannya ke dalam kamar. Ia masuk membiarkan pintu tetap terbuka. Dennis mencoba membangunkan Ben, saat tangannya hendak menggoncangkan tubuh adiknya ia melihat sesuatu yang terselip di antara tangan dan d**a adiknya. Sebuah frame, ia pun mengambilnya, mencabutnya secara perlahan agar adiknya tidak terbangun dulu. Setelah benda itu ada di tangannya maka ia pun membalik benda itu. Itu adalah foto nenek mereka. Sebuah foto perempuan tua yang sedang tersenyum. Selalu foto nenek yang dipeluknya, Tapi ia juga melihat foto gadis penyanyi caffe itu di dalam frame, diletakkan di ujung di dalam frame. Foto neneknya berukuran 10r, sedang Melanie berukuran 3r. Saat Dennis masih memandnag foto itu, Ruben membuka matanya. Ia melihat kakaknya di sampingnya memegang benda kesayangannya. Ia pun langsung meraihnya, membuat Dennis tersentak karenanya. "Kenapa lo ambil foto itu tanpa seijin gue?" tanyanya agak marah. "Aku hanya ingin membangunkanmu dan aku melihat foto itu, aku jadi penasaran makanya aku melihatnya!" jelas Dennis "Ngapain lo di kamar gue pagi-pagi gini?" "Tadinya aku hanya ingin minta maaf soal semalam!" "Lupakan saja, bukankah itu sudah sering terjadi!" sahutnya dengan nada yang sudah terkontrol. Ben melihat jam yang sudah menunjuk pukul 6 lewat 5 menit. Ben beranjak dari ranjang, meletakkan foto itu di atas meja di samping tempat tidurnya. "Jika kamu mau sore ini aku bisa nggak ada acara, mungkin kita bisa menghabiskan waktu bersama!" Dennis memberi tahukan jadwalnya hari ini. "Kita lihat aja nanti!" jawab Ruben lalu masuk ke kamar mandi. Dennis keluar dari kamar adiknya dengan sedikit menggelengkan kepala. Tika sedang sarapan dengan kedua orangtuanya, "Bagaimana hubunganmu dengan Dennis?" tanya papanya. "Baik, Pa!" jawab Tika. "Maksud Papa perkembangannya?" "Kurasa kami saling menyukai, dia pria yang cukup baik dan berwibawa. Meski terkadang agak dingin!" jelasnya. "Bagaimana kalau kalian tunangan dalam waktu dekat ini?" usul papanya. "Tunangan, Tika kan masih kuliah Pa!" "Hanya tunangan, kamu masih bisa menyelesaikan kuliahmu sebelum menikah!" "Terserah Mama dan Papa saja!" katanya pasrah. Hari itu Ruben tak masuk sekolah lagi, ia pergi ke kampus Tika dengan membawa mawar merah dan putih. Saat Tika turun dari mobilnya, ia pun keluar dari mobilnya, menghampiri wanita itu. "Hai!" sapanya. Tika menoleh, memberi ekspresi terkejut, "Kamu lagi?" Ruben tersenyum dan menyodorkannya kedua mawar itu, "Gue nggak tahu mana yang lo sukai, jadi gue bawain keduanya!" katanya. Tika memandangi kedua mawar itu lalu mengangkat matanya ke Ruben. "Baiklah, kuambil semua saja, aku suka semua mawar!" katanya memungut benda itu. Tika memperhatikan Ruben yang memakai seragam sekolah. "Kamu membolos lagi? Sudah kubilang aku nggak suka dengan anak yang suka membolos sekolah. Jika aku jadi kakakmu aku akan memukul pantatmu dengan rotan!" ancamnya dengan nada candaan. "Sayangnya kakak gue udah sering memukul wajah gue karena itu!" jawabnya getir, "Dan kamu nggak kapok? Jika kamu masih suka membolos aku nggak akan mau menemuimu lagi meski kamu mengejarku sampai mati!" kali ini suara Tika cukup serius, "Baiklah, gue janji nggak akan bolos lagi!" "Kalau begitu pergilah ke sekolah sekarang!" suruhnya, secara tidak langsung Tika mengusirnya dengan itu. "Gue sudah cukup telat!" jawab Ruben lagi. "Hanya telat jam mata pelajaran pertama kan, bukan berarti akhirnya kamu nggak masuk sama sekali!" bujuknya, nampaknya itu berhasil. "Ok, gue akan kembali ke sekolah!" katanya hendak kembali ke mobilnya. "Ben!" panggil Tika, membuatnya terhenti dan menoleh kembali. "Wajahmu babak belur, dari tadi aku ingin bertanya, kamu berkelahi?" "Hanya perkelahian kecil di sekolah!" jawabnya. "Aku juga nggak suka anak yang suka berkelahi!" tambahnya lagi. Dua kebiasaan Ruben nampaknya akan sedikit berkurang karena perkaaan wanita itu. Ruben hanya memberi senyum kecil di ujung bibirnya lalu kembali ke mobilnya dan melaju ke sekolah. Tika memandang mobil itu pergi, ia mencium mawar yang diambilnya dari tangan Ruben lalu masuk ke kampus. Kedua temannya menghampiri. "Hai, Tik!" sapa Susi, mereka melihat Tika membawa mawar di tangannya. "Wah, bunga dari siapa? Dari tunanganmu?" tanya Rani, Tika menggeleng. "Lalau bukan dari siapa?" heran Rani, "Jangan-jangan dari anak SMU itu!" seru Susi. Tika tak menjawab. "Aduh Tika, kamu kan sudah punya calon suami, sebaiknya jangan bermain api!" saran Rani, "Aku nggak bermain api!" jawabnya menyimpan senyum, "Siapa yang lebih tampan dari mereka, mana yang akan kamu pilih?" tanya Susi menggodanya. "Keduanya sama tampan, tapi kalian tahu kan perjodohanku nggak mungkin aku tolak!" "Hal seperti ini yang gawat!" timpal Rani. "Jangan sampai kamu memilih keduanya, kamu akan terbakar!" saran temannya. Ruben masuk kelas setelah guru fisikanya keluar. Tadi saat masuk gerbang biasa dia menyogok satpam agar bisa masuk. Lagipula keluarganya cukup disegani di sekolah makanya ia tak akan sulit untuk bisa keluar masuk dengan mudah. Kegaduhan sering terjadi ketika guru sudah selesai memberikan pelajarannya dan sebelum guru lain masuk. Ruben berjalan ke meja guru dan merubah absennya yang tadinya Alfa jadi hadir, tak ada anak satu kelasnya yang melarangnya karena tak ada yang berani. Bahkan ketua kelasnya sekalipun, dia malah sering dijaili Ruben. Jika dia melarang yang ada dia akan dikerjain habis-habisan. Ruben duduk di kursinya di belakang Rico yang kini memutar tubuhnya ke belakang. "Eh, kadal. Dari mana aja lo?" "Ada urusan kecil!" jawabnya. "Makin hari makin parah lo!" cibir temannya itu. Kalau bukan karena Tika mana mau hari ini ia kembali ke sekolah. Meski sering ketinggalan pelajaran, hanya dengan meminjam buku Rico, Ruben sudah bisa mengejar ketinggalannya. Pada dasarnya ia anak yang jenius, bahkan IQ nya saja 158. Setara IQ seorang ilmuwan dunia. Ia sangat cepat tanggap dalam pelajaran apa pun. Bahkan ia jarang belajar di rumah, ia hanya belajar saat mata pelajaran dimulai tapi nilai ujiannya tak pernah mengecewakan. Termasuk salah satu yang terbaik di sekolah. Bell istirahat berbunyi, semua anak berhambur keluar kelas. Melanie masuk ke dalam kelas Ruben bersama Tomi. Kebetulan Ben dan Rico memang masih di dalam kelas. Ben sedang membaca buku catatan fisika Rico, ia tak perlu cape menyalinnya, karena hanya dengan membacanya satu kali maka catatan itu akan langsung terekam oleh memori di otaknya. "Ben, kamu dari mana tadi pagi?" tanya Melanie. "Gue ke kampus Tika!" "Tika?" heran Melanie. Ruben tak mengalihkan pandangannya dari buku Rico, "Cewe yang gue lihat waktu itu!" "Oh! kamu serius juga nyari tahu soal dia!" Melanie sok kepo. "Kan gue udah bilang gue harus dapetin dia, gue rasa dia juga suka sama gue!" PDnya. Melanie memasang wajah yang sedikit cemburu, Rico memperhatikan itu. "Wah ... ada yang kebakaran nih!" goda Rico, "Ambil air tu Tom, ntar keburu angus!" tambahnya lagi dengan cekikikan. "Barin aja. Udah sering kebakar kok tapi nggak angus-angus!" timpal Tomi. "Apaan sih kalian berdua, nggak lucu tahu!" kesalnya dengan pipi yang sedikit bersemu merah. Ruben melirik wajah Melanie yang sedikit malu. Ia jadi ingat ciumannya tempo hari dengan wanita itu, ciuman pertamanya malah ia berikan kepada wanita yang bahkan ia tak memberi status yang jelas akan hubungan mereka. Ia bilang mereka adalah teman tapi perhatian yang ia berikan terhadap wanita itu lebih dari sekedar teman, ia juga takut kehilangan wanita itu. Melirik Melanie dengan sikap yang seperti itu justru timbul keinginan untuk menciumnya sekali lagi. Tapi ia langsung menampik keinginan itu dengan menggelengkan kepalanya sekali dengan cepat. Sebenarnya ia tahu bahwa Melanie menyukainya, bahkan mungkin mencintainya tapi ia belum menyadari perasaannya sendiri, perasaan yang sudah jelas tak ingin kehilangan wanita itu. Akhirnya Tomi dan Rico keluar dari kelas dan membiarkan Ruben dan Melanie duduk berdua di dalam kelas. Melanie duduk di bangku Rico, "Ben, biasanya kalau sudah bolos kamu nggak bakalan masuk kelas, kenapa sekarang jadi aneh?" "Aneh gimana?" jawabnya masih membaca buku Rico. "Kamu sedikit berubah?" Ruben menutup dan meletakkan buku itu di atas meja. "Gika bilang kalau gue masih bolos dia nggak bakalan mau ketemu gue meski gue ngejar dia sampai mati!" jujurnya, "Hanya karena itu, aku sering nasehatin kamu nggak bolos, kamu tetep aja bolos, ada apa?" tanya Melanie. "Mel, Tika itu ... entah kenapa bikin gue ngerasa berbeda, dari pertama lihat dia, gue udah langsung ... kek ada magnet gitu!" "Kamu bener-bener suka sama dia?" "Entahlah, mungkin iya!" "Aku liihat dia membawa sedikit perubahan buat kamu, baguslah. Jadi ... kamu nggak butuh aku lagi!" Kalimat Melanie membuatnya melotot heran, "Maksud lo?" "Ya kalau kamu benar-benar jatuh cinta sama dia dan dia bisa membuat kamu jadi lebih baik, itu artinya dia sudah cukup buat kamu, dan kamu nggak perlu aku lagi kan di sisi kamu!" "Kok lo ngomongnya gitu sih, gue bakal tetep butuh lo sampai kapan pun!" tegasnya. "Sampai kamu nikah sama seseorang, lalu aku? Kalau akhirnya aku juga bakal nikah sama orang lain juga, kita nggak mungkin terus bersama kan!" "Lo nggak boleh dimiliki siapa pun, lo itu milik gue!" lantangnya dengan sedikit marah, kalimatnya lo milik gue seolah sebuah pernyataan bahwa dirinya tak ingin Melanie dimiliki orang lain. Melanie tertegun dengan perkataan Ruben. Ada rasa senang dan juga bingung yang terselip di hatinya. Tapi bukankah Ben sangat egois, jika dia jatuh cinta pada wanita lain tapi juga menginginkan dirinya tak di.iliki lelaki lain. Atau sebenarnya Ben menyadari perasaannya terhadap wanita itu! Ben sendiri terdiam karena kalimatnya tadi. Ia bahkan tak tahu apa yang telah ia ucapkan, ia merasa seperti mengatakan bahwa dirinya tak ijinkan Melanie dimiliki orang lain karena gadis itu miliknya. Mereka saling diam. Bertatapan dalam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN