Bu Mayang terperanjat saat menatap putranya berdiri di dekat pintu utama dengan tatapan bingung. Mirza pun jadi penasaran saat melihat tamu-tamu ibunya yang sedang berdiri mematung sambil memejamkan mata, aroma wangi dupa pun terasa semakin kuat dan menguar di udara.
“Mirza, kenapa pintunya nggak kamu tutup?” ujar Bu Mayang sambil menghampiri putra tunggalnya dan menutup pintu utama tersebut lalu menguncinya.
“Ibu, ada apa ini? Ada acara apa?” tanya pemuda itu heran.
“Ini bukan acara! Sudah, sana kamu masuk saja ke dalam!” desis perempuan tua itu lirih sambil menggeret lengan laki-laki itu. Namun, Mirza menolak.
“Nggak mau, ah! Aku jadi penasaran, pengin tahu ada apa? Ini kayaknya berbau mistis-mistis gitu deh. Iya, ‘kan, Bu?” bisiknya lirih sambil menyeringai senang, “boleh ‘kan, Bu?” pintanya dengan wajah memelas. Kalau sudah begini, Bu Mayang hanya bisa mengangguk, mengiakan permintaan putranya.
Mirza yang pada dasarnya suka sekali dengan berbagai macam hal yang berbau horror, menjerit senang karena sang ibu mengijinkan dia untuk tetap berada di ruangan ini, untuk menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Tapi inget, ya, Mir. Jangan bikin ulah atau buat macem-macem! Lihat aja, oke?” Pemuda itu mengangguk senang sambil berjalan menghampiri sang kakak yang masih terdiam termangu, sementara Bu Mayang kembali ke tempat duduknya.
“Keren, nih, Kak,” bisiknya lirih di telinga Abisatya, “ini proses pemanggilan arwah, ‘kan? Keren! Hampir sama seperti yang aku lihat di medsos, keren!”
Abisatya mendesis sambil menaruh jari telunjuk di tengah bibirnya yang merah. “Sssttt …! Diem! Nggak usah bawel!” bisiknya lirih sambil menoleh ke Mirza yang menyeringai kecil. Di depan mereka tampak Lara mulai membuka mata, begitu pula Bondan. Lara kemudian meminta Rhea mendekat padanya. Perempuan itu tampak ragu dan bingung saat Lara memintanya mendekat. Dari tempatnya berdiri, Abisatya bisa melihat sosok yang menyerupai Abiwara telah hadir di sebelah Lara, sosok itu menoleh ke arahnya sambil tersenyum senang, sementara sosok-sosok yang lain tampak ingin ikut tampil di depan mereka. Namun, ditahan oleh Bondan.
“Rhea, kemarilah!” Dengan perasaan was-was perempuan itu menghampiri Lara sambil bertanya-tanya dalam hati, “buka telapak tanganmu, coba kamu rasakan sebelah sini. Rasakan dengan mata yang terpejam,” ujar Lara sambil memegang tangan Rhea dan memintanya untuk merasakan suatu energy positif yang ada di sebelah Lara. Rhea pun menurut, meskipun dalam hatinya tidak ingin mudah percaya begitu saja, tapi rasa penasaran mulai menyelimuti dirinya. “Bagaimana? Apa yang kamu rasakan? Katakan saja pada kami,” lanjutnya sambil membimbing tangan Rhea agar dapat merasakan kehadiran almarhum Abiwara.
“Di sebelah sini,” ujar Rhea sambil menunjuk ke sebelah Lara berdiri tadi, “di sini rasanya dingin, aku merasa nyaman di sini, rasanya damai, tenang, tapi kalau di sini,” lanjutnya sambil meraba-raba sesuatu, yang sebenarnya secara tidak kasat mata, itu adalah sosok Abiwara, “kalau di sini aku merasakan hawa panas, tidak senyaman yang tadi, yang di sini ini rasanya mau marah,” ujar Rhea lagi sambil meraba-raba sesuatu yang tidak kasat mata.
“Sekarang buka matamu!” Rhea pun membuka matanya sesuai permintaan Lara, “kamu tahu energy positif apa yang baru kamu rasakan tadi?” Perempuan itu menggeleng pelan dengan ekspresi wajahnya yang bingung dan penasaran, “itu adalah energy positif dari sosok almarhum suamimu. Kamu sendiri bilang tadi, ‘kan? Kalau kamu merasa nyaman, damai ketika merasakannya.” Rhea terengang tidak percaya. “Kamu ingin melihatnya secara langsung? Kalau iya, aku akan membuka mata batin kamu, agar kamu bisa berinteraksi secara langsung dengan almarhum suamimu. Bagaimana?”
Rhea yang masih ragu dan bingung mencoba mencari kepastian dari beberapa pasang mata yang hadir di sana. Ditatapnya sang ibu mertua dan saudara iparnya satu per satu, mereka pun mengangguk dan memberikan dukungan ke perempuan itu agar mau dibuka mata batinnya. “Apa setelah itu, aku akan bisa melihat terus yang tidak terlihat?”
“Kalau kamu tidak berkenan, kami akan segera menutupnya setelah kamu selesai berinteraksi dengan almarhum Abiwara, karena memang sangat riskan kalau mata batin seseorang terbuka terus, karena yang tidak terlihat ini pasti akan mengincar kamu,” lanjut Lara.
“Bagaimana, kamu siap untuk melakukannya?”
Semua mata menatapnya, menanti jawaban sang dokter muda yang masih terlihat ragu-ragu dan tidak percaya, hingga akhirnya Rhea pun mengangguk dan menuruti permintaan perempuan eksentrik itu. Semua orang yang hadir di ruangan itu menghela napas lega, terutama Abisatya. Laki-laki itu puas karena mantan istri saudara kembarnya ini akhirnya bisa diyakinkan untuk bertemu dengan almarhum sang suami. Saat itu tampak Lara meminta Rhea untuk rileks sambil membaca doa yang diyakininya, sementara perempuan itu berusaha membuka mata batin sang dokter muda.
“Bagaimana, Rhea? Apa yang kamu lihat di depanmu kali ini?”
Masih dengan mata terpejam, perempuan itu tampak mengerutkan keningnya ke tengah dan masih terlihat ragu dengan apa yang dilihatnya. “Aku hanya melihat sesosok orang,” sahut Rhea kemudian setelah berapa lama dia terdiam dan membuat semua orang tegang, “kalau dilihat dari postur tubuhnya, memang sih, sepertinya mirip sama Kak Abi. Tapi aku nggak yakin kalau dia itu Kak Abi,” lanjutnya pesimis.
“Kamu bisa tanya ke dia, Rhe,” sela Lara, “coba kamu tanya, kasih dia pertanyaan yang hanya kamu dan dia yang tahu. Nggak ada seorangpun yang tahu tentang hal ini. Anything, pertanyaan apapun itu,” jelasnya mantap.
Perempuan itu kembali berpikir keras. “Pertanyaan yang hanya aku dan Kak Abi yang tahu?” batinnya bingung, “pertanyaan apa, ya?” Rhea mencoba mengingat-ingat moment indah mereka berdua saat Abiwara masih ada di sisinya, tiba-tiba perempuan itu teringat pada suatu benda yang hanya suaminya yang tahu. “Oke, aku punya satu pertanyaan untuknya. Apa benda terakhir yang aku beli dan apa warnanya?”
Lara menghela napas dalam dan mencoba menerima jawaban dari sosok yang menyerupai Abiwara. “Baik, kata Abiwara, benda terakhir yang kamu beli itu adalah lingerie warna merah Maroon,” sahut Lara sambil terdiam sesaat, “lingerie itu kamu beli secara online di Valeria Secret, tapi sampai saat ini lingerie itu belum kamu pakai,” lanjut perempuan eksentrik itu, “bahkan label harganya masih menempel, belum kamu buang.” Rhea tercengang dan hanya bisa mengangguk membenarkan ucapan Lara soal lingerie yang baru dibelinya. “Karena Abiwara tidak suka kamu menghambur-hamburkan uang dengan membeli lingerie mahal seperti itu, dari luar negeri lagi secara online.”
“Iyaa, iyaa, benar!” sahut Rhea haru.
“Kalian berdua malah sempet bertengkar gara-gara lingerie ini dan kalau nggak salah, kamu beli lingerie itu satu minggu sebelum Abiwara kecelakaan.”
Rhea kembali mengangguk dan sedikit terhuyung ke belakang, membuat Bu Mayang berlari dan memegang pundak sang menantu, agar tidak jatuh. Perempuan muda itu segera memeluk sang ibu mertua dan menangis sesenggukkan di pundaknya.
“Tenang, tenang, Rhe. Kamu mau ketemu sama Abiwara, ‘kan?” Bu Mayang berusaha menenangkan menantu satu-satunya. Rhea mengangguk mantap, tidak ada keraguan lagi di hatinya. Kerinduannya akan sosok Abiwara, membuat semua rasa ragu itu menguap begitu saja.
“Baik, kali ini aku akan menghadirkan Abiwara di hadapanmu, Rhe. Kamu bisa membuka matamu sekarang,” ujar Lara sambil meminta Abisatya mendekat padanya, “Abisatya, kemarilah. Kita akan menggunakan tubuhmu sebagai mediasi, agar Abiwara bisa hadir di depan Rhea.” Laki-laki itu mengangguk dan bergegas menghampiri Lara, sementara Bu Mayang membimbing Rhea untuk duduk lagi di sofa.
“Waah seru ini! Ini yang aku suka!” gumam Mirza senang sambil menyeringai lebar lalu ikutan membuat teh panas untuk dirinya sendiri dan menyesapnya perlahan. Laki-laki itu tampak antusias dan bersemangat melihat adegan selanjutnya.
Lara meminta Abisatya untuk rileks dan tenang. Tak lama kemudian tampak sinar putih berpendar begitu terang di belakang Abisatya, semua orang tercengang saat melihat sosok yang menyerupai Abiwara muncul di depan mereka. Sosok itu tersenyum sambil menatap keluarganya satu per satu, Rhea segera berdiri dan menghampiri sosok itu dengan penuh harap. Kedua bola matanya berkaca-kaca, riak kecil itu mulai menggantung di kelopak mata.
“Ayo, Abiwara, kamu bisa masuk ke tubuh Abisatya sekarang.” Tanpa menunggu lama, Abiwara segera masuk ke dalam tubuh saudara kembarnya yang sudah siap menerima. Tubuh Abisatya pun berguncang perlahan dan sinarnya tampak menyinari tubuh laki-laki itu. Tak lama kemudian, Abiwara yang masuk ke dalam tubuh Abisatya, membuka mata dan tersenyum senang. “Bagaimana, Abiwara? Kamu suka punya tubuh lagi?”
Sosok yang ada di dalam tubuh Abisatya itu mengangguk sambil memperhatikan kedua tangannya seraya berkata, “Aku merasa seperti hidup kembali,” ujarnya senang dan menoleh ke Rhea yang menatap haru padanya. “Rhea ….”
“Kak Abi?” Perempuan muda itu bergegas menghampiri mantan suaminya yang kali ini hadir kembali di depannya, “apa kamu benar, Kak Abi?” tanyanya sambil membelai wajah laki-laki yang sangat dirindukannya. Abiwara pun mengangguk dan memeluk sang istri erat. Membuat semua orang yang ada di sana jadi terharu, terutama Bu Mayang yang menitikkan air mata hingga kedua matanya sembab, sementara Mirza masih saja tercengang dan merasa takjub dengan apa yang dilihatnya.
“Rhea, kamu baik-baik saja, ‘kan? Kamu sehat-sehat saja, ‘kan?” tanya Abiwara diikuti anggukan sang istri yang masih dalam pelukkannya.
“Aku baik-baik saja, Kak. Aku sehat, Shira juga,” sela Rhea di sela-sela isak tangisnya, “kami sangat merindukanmu, Kak,” lanjutnya sedih, “jujur, aku nggak pernah nyangka, kalau kita akan bertemu kembali.” Rhea jadi teringat kejadian 9 tahun yang silam, saat pertama kali bertemu dengan almarhum suaminya ini.
♥♥♥♥
“Bu Dokter! Bu Dokter! Tolongin teman saya, Bu Dokter.”
Pagi itu saat Puskesmas baru saja buka dan pasien yang datang juga belum begitu banyak, tampak beberapa orang laki-laki datang tergopoh-gopoh sambil menggendong seorang teman mereka yang tampak pucat pasi. Semua orang yang ada di Puskesmas kaget dan bingung, para perawat pun bergegas menolong pasien tersebut dan membaringkannya di tempat tidur.
“Badannya panas sekali! Saya ukur suhu badannya dulu,” ujar salah seorang perawat.
“Saya akan ukur tensinya!” sela perawat yang lain, “Bapak-bapak yang lain silahkan tunggu di luar, ya. Kami akan segera menangani!” ujarnya tegas.
“Tapi Bu Dokternya mana, Suster? Kenapa Bu Dokternya belum datang?” tanya salah seorang dari teman si pasien yang tampaknya kenal dengan Bu Dokter yang bertugas di sana. Puskesmas itu memang kecil, tempatnya pun sangat terpencil di sebuah pedesaan atau lebih tepatnya kampung nelayan, karena dekat dengan lokasi wisata pantai di daerah Pangandaran, sehingga hanya dua dokter yang bertugas di sana.
“Pak, sabar. Tunggu saja, Bu Dokternya pasti datang,” sela salah seorang pasien perempuan yang juga menunggu di sana, “tadi katanya Bu Dokter harus nangani orang yang mau melahirkan, jadi pagi-pagi sekali Bu Dokter ke rumahnya. Sabar, ya, Pak,” lanjut perempuan paruh baya itu.
“Oh, begitu, ya, Bu,” sahut laki-laki itu, “terima kasih, Bu.” Perempuan paruh baya itu hanya mengangguk, sementara pria itu bergegas bergabung dengan teman-temannya yang lain yang menunggu si pasien di depan ruangan yang bertuliskan IGD.
“Bagaimana? Apa Pak Sanusi sudah ditangani dengan baik?” tanya salah seorang pria yang baru saja datang dan menemui rombongan bapak-bapak itu, sepertinya mereka dari rombongan proyek, karena tak jauh dari lokasi Puskemas, ada sebuah resort hotel yang sedang dibangun di dekat pantai.
“Sudah, Pak. Tapi Bu Dokternya belum datang, katanya Bu Dokter sedang menangani orang yang mau melahirkan, jadi Pak Sanusi ditangani sama suster, sementara dokter yang satunya lagi nangani pasien yang antri ini, Pak,” sahut salah satu dari mereka sambil menunjuk beberapa pasien yang duduk-duduk di bangku, menunggu giliran dipanggil.
“Tapi Pak Sanusi sudah tertangani dengan baik, ‘kan?” tanya pria itu lagi yang terlihat begitu cemas dari balik helm proyeknya yang masih terpasang di kepala.
“Iya, Pak. Tenang, tadi Pak Ahmad juga sudah bilang ke susternya kalau ada luka bernanah di kakinya, mungkin itu yang menyebabkan Pak Sanusi demam karena infeksi,” sahut pria yang lain. “Nah itu, Pak! Bu Dokternya datang!”
Abiwara Darmais segera berbalik dan melihat seorang dokter muda tampak berjalan terburu-buru memasuki pelataran Puskesmas tersebut. Dilihat dari penampilan dan gestur tubuhnya, perempuan ini terlihat begitu familiar buatnya, meskipun ada tambahan kacamata yang menggantung di ujung hidung. Laki-laki itu masih tetap mengenalinya. Perpisahan mereka selama 9 tahun lamanya, tidak membuat Abiwara lupa pada sosok manis yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya setiap malam.
“Rhea? Rhea Shaquitta?”
Dokter muda itu menoleh sambil membenarkan kacamatanya seraya bertanya, “Siapa, ya?” tanyanya penasaran sambil memperhatikan pria yang berdiri menjulang di depannya. Diperhatikannya baik-baik laki-laki itu, sepertinya dia kenal dengan suara dan penampilannya. “Kak Abi? Kak Abiwara?” tanyanya semakin penasaran sambil mendekat ke arah pria itu yang tersenyum lebar padanya.
“Apa kabar Dokter Rhea Shaquitta?”
“Iih, bener ‘kan, kamu Kak Abi, ‘kan?”
“Dokter Rhea, pasien di dalam menunggu untuk tindakan operasi kecil,” sela salah seorang perawat saat melihat kedatangan Rhea.
Kening perempuan itu mengerut ke tengah dan semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh salah satu susternya. “Apa? Operasi kecil? Memang ada apa?” tanyanya heran.
“Silahkan dicek dulu, Dok. Mari masuk ke dalam!” Suster itu kembali menimpali ucapan Rhea. Dokter muda itu pun menurut dan mau tak mau harus meninggalkan Abiwara yang baru saja ditemuinya tadi.
“Kak Abi, aku masuk dulu ke dalam, ya,” ujarnya canggung dan kikuk, sementara Abiwara hanya mengangguk pelan sambil menyeringai kecil, “Kak Abi, masih ada di sini, ‘kan?” Pertanyaannya benar-benar konyol dan memalukan, membuat Rhea jadi semakin salah tingkah di depan laki-laki itu.
“Aku pasti akan menunggu di sini, Rhea. Tenang aja, karena pasien yang mau kamu tangani itu salah satu karyawanku. Dia adalah tanggung jawabku.” Dokter muda itu merasa lega dan bergegas masuk ke dalam ruang yang bertuliskan IGD.