Kedua bola mata perempuan itu mendelik dengan ekspresi wajahnya yang tidak percaya saat Lara menjawab pertanyaannya yang menurut Rhea tidak masuk akal. “Bagaimana mungkin kamu bisa menghadirkan dia yang tidak terlihat? Mustahil!” sahutnya penasaran sambil mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan. Entah mengapa sejak masuk ke rumah keluarga almarhum suaminya ini, dia merasa ada seseorang yang mengintipnya, memperhatikannya dari kejauhan, entah itu dari mana. Rhea tidak tahu pasti. “Apa itu dia yang tidak terlihat? Yang sedang memperhatikan aku?” batinnya resah, “apa aku sudah gila? Atau terbawa suasana di rumah ini?” Perempuan itu jadi semakin cemas.
Lara menyeringai kecil seraya berkata, “Apa yang menurutmu mustahil, akan aku buktikan sekarang juga di depanmu Dokter Rhea Shaquitta,” balasnya dengan nada menantang, “tapi sebelumnya aku mau tanya sama kamu.” Sebelah alis Rhea pun naik dan melengkung ke atas dengan ekspresi wajahnya yang semakin penasaran, sementara Bu Mayang dan Abisatya hanya terdiam, menyimak percakapan kedua perempuan yang berada di depan mereka.
“Kamu mau tanya apa?” tanya Rhea heran.
Lara tampak menyeringai senang sambil menyesap teh panasnya perlahan, semua orang menanti pertanyaan perempuan itu dengan harap-harap cemas, terutama Rhea yang jadi semakin penasaran dengan kelebihan yang dimiliki parapsikolog ini. “Aku mau tanya soal malam itu.”
“Malam itu?” sela Rhea heran, “malam yang mana?”
“Malam saat almarhum suamimu mau berangkat ke pesta bujang temannya,” sahut Lara tegas sambil meletakkan cangkir porselen itu di atas meja dan melirik ke Rhea yang tampak heran.
“Memangnya ada apa, Lara?” sela Bu Mayang.
Perempuan muda itu menarik kedua ujung bibirnya ke atas dan membentuk sebuah senyuman yang misterius lalu berkata, “Nggak ada apa-apa, Bu Mayang. Hanya saja malam itu, sebenarnya Rhea sudah punya intuisi yang tidak enak, bahkan berkali-kali membujuk suaminya, Abiwara untuk tidak usah pergi ke pesta itu. Bukan begitu Rhea?” tanya Lara sambil menoleh ke Rhea yang tampak kaget dan tidak percaya.
“Bagaimana dia bisa tahu? Aku ‘kan belum cerita ke siapa-siapa soal malam itu. Yang tahu hanya aku dan Kak Abi. Aneh!” batin Rhea heran.
“Apa benar begitu, Rhea? Apa bener malam itu kamu sebenarnya ngelarang Abi untuk pergi?” sela Bu Mayang yang jadi ikutan penasaran.
“Jawab saja, Rhea. Benar atau tidak yang aku bilang ini?” Tatapan Lara masih belum berubah, masih menatap lekat ke perempuan itu yang siang ini mengenakan blouse terusan selutut—bagian bawahnya tampak seperti payung, melebar dari pinggang ke lutut—yang terbuat dari bahan katun Jepang dengan motif bunga-bunga kecil, warna dasar putih gading.
Dokter muda itu pun mengangguk, mengiakan ucapan Lara. “Iya, benar. Apa yang dibilang sama Lara memang benar. Malam itu perasaanku nggak enak. Nggak tahu kenapa, aku merasa ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada Kak Abi,” sahut lirih sambil memikirkan sesuatu.
“Aku tahu, kamu pasti ingin tanya ke aku, ‘kan? Kenapa aku bisa tahu soal ini?” sela Lara sambil menyeringai lebar.
Rhea pun kembali mengangguk sambil menatap perempuan eksentrik itu dengan ekspresi wajahnya yang sangat ingin tahu. “Iya, benar. Aku memang ingin tahu, karena sampai hari ini aku belum cerita ke siapa-siapa. Bahkan Ibu sama Kak Satya pun belum aku beri tahu. Memangnya kamu tahu dari mana?”
“Aku mendapat vision itu dari kamu, Rhea. Saat kita berjabat tangan tadi, semua yang terjadi sama kamu yang ada hubungannya dengan Abiwara bisa aku ketahui,” sahut Lara santai, “bahkan aku juga tahu, kalau malam itu putrimu yang masih bayi, kalau nggak salah baru berusia 40 hari, ya?” Rhea kembali mengangguk, “malam itu putri kamu juga menangis terus-menerus, ‘kan?”
“Iya bener, Lara!” sela Bu Mayang sambil melirik ke Rhea lalu menoleh ke perempuan eksentrik itu lagi dan berkata, ”malam itu, Shira, putrinya Rhea dan Abi menangis tak henti-hentinya, aku sendiri juga heran, ada apa dengan bayi ini? Untungnya bisa ditenangin, meskipun cukup lama juga buat nenangin dia. Iya, ‘kan, Rhe?” Perempuan muda itu hanya mengangguk pelan. “Kok bisa gitu, ya, Lara? Apa itu berarti bayi itu juga mempunyai intuisi yang buruk? Sama seperti Rhea tadi?”
Lara mengangguk sambil menyeringai kecil, “kadang tanpa kita sadari, intuisi bayi atau anak kecil itu lebih kuat ketimbang kita yang dewasa ini. Pernah denger kasus tenggelamnya kapal selam Angkatan Laut yang baru terjadi kemarin? Waktu itu ‘kan ada salah seorang anak dari salah satu crew kapal selam yang menangis meraung-raung dan melarang ayahnya untuk pergi, tapi sang ayah tetep pergi hingga akhirnya terjadi kecelakaan kapal selam itu.”
Bu Mayang tampak mengangguk-angguk seraya berkata, “Iya, betul-betul itu! Saya juga pernah dengar ada seorang bayi yang menangis dan tidak bisa diamkan begitu saja saat kedua orang tuanya masuk ke dalam sebuah pesawat, karena sungkan dengan penumpang yang lain akhirnya mereka keluar dari pesawat itu. Tak berapa lama kemudian dikabarkan pesawat itu meledak di udara,” sela Bu Mayang penuh antusias, “jadi intinya kita jangan anggap remeh intuisi anak kecil, ya?” tanyanya penasaran.
“Bisa dibilang seperti itu, Bu!” sahut Lara, “karena bagaimanapun juga--…”
“Anak-anak kecil ini masih suci, jadi mereka masih punya intuisi yang cukup tinggi,” sela Abisatya yang sedari tadi jadi pendengar yang baik dan menyimak percakapan mereka. “Bukan begitu, Lara?”
Perempuan itu mengangguk, membenarkan ucapan Abisatya. “Tepat! Apa yang dibilang sama Abisatya itu benar adanya, anak-anak kecil ini masih suci. Maka tak heran kalau banyak mahluk tak kasat mata suka sama mereka, sehingga banyak orang-orang tua selalu melindungi anak-anak atau bayi-bayi mereka dengan gunting, peniti dan lain sebagainya,” jelas Lara sambil menoleh ke Rhea yang masih saja terdiam, mencoba menelaahnya dengan baik. “Seperti itu juga ‘kan yang kamu lakukan sama bayimu di rumah?”
“Rhea ….”
Perempuan itu tampak kaget dan sedikit tercengang saat Bu Mayang membuyarkan lamunannya sambil memegang tangannya. “Iyaa … ada apa?” tanyanya bingung sambil memperhatikan mereka satu per satu.
Bu Mayang tersenyum kecil. “Kamu ini kenapa? Nglamun, ya? Tadi Lara tanya sama kamu, di rumah ibu sana, kamu juga melindungi Shira dengan benda-benda tajam, ‘kan? Untuk melindungi dia dari mahluk yang tak kasat mata, ‘kan?”
“Itu, itu Ibuku yang melakukan, aku nggak tahu apa itu benar atau tidak, karena kata Ibu harus seperti itu, jadi aku nurut saja,” ucapnya lirih sambil mengingat-ingat benda-benda tajam apa saja yang diletakkan di bawah bantal Shira—putri tunggalnya.
Lara tampak menyeringai kecil seraya berkata, “Secara tidak sadar sebenarnya kamu mengakui keberadaan mereka, Rhea. Buktinya kamu menurut saja waktu ibumu meletakkan benda-benda tajam itu di sekelilingnya atau waktu kamu memindahkan Shira dari rumah ini ke rumah ibumu saat jenazah Abiwara hendak disemayamkan di sini. Benar begitu?”
Rhea kembali tercengang dan merasa heran dengan semua ucapan perempuan eksentrik ini, karena memang sebagian besar apa yang diucapkannya adalah benar dan hal itu belum pernah diceritakan ke orang lain, seperti permintaan ibunya yang meminta Shira agar dipindah ke rumah sang ibu agar tidak mendapat aura negative saat jenazah disemayamkan di sini. Bahkan sampai saat ini pun, dia belum berani membawa Shira pulang ke rumah ayahnya, karena pemakaman Abi belum genap 40 hari. Secara tidak sadar, Rhea mengakui dan menuruti semua itu. Itu artinya sebenarnya dia juga mengakui keberadaan yang tidak terlihat.
“Bagaimana Rhea, apa kamu mengakui dan membenarkan semua ini?” tanya Lara sambil menyalakan beberapa dupa lalu diletakkan di pojok-pojok ruangan. Aroma wangi dupa yang khas menguar di udara. “Abisatya, kamu siap ‘kan untuk menjadi mediasi?” Laki-laki mengangguk mantap.
“Lara, untuk apa semua ini? Kenapa harus pakai dupa segala?” tanya Rhea bingung sambil mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru ruangan. Aura magis mulai terasa, membuat bulu kuduknya merinding.
“Aku harus melakukan ini, Rhea. Karena pada saat pemanggilan roh, biasanya tidak hanya satu yang datang, tapi bisa beribu-ribu yang datang, apalagi mereka tahu kalau kita memanggil mereka. Bahasa kerennya banyak yang pengin eksis atau show off di depan kita, karena pada dasarnya mereka juga ingin curhat seperti kita. Jadi dupa-dupa ini sebagai tameng atau pelindung kita,” jelas Lara sambil melirik ke pintu, “nah, itu suamiku sudah datang. Abisatya, tolong bukakan pintu, biarkan dia masuk.”
Tepat pada saat itu bel di pintu utama berbunyi, ternyata indera pendengaran Lara memang benar-benar tajam. Abisatya bergegas menuju ke pintu utama dan benar saja, di depannya telah berdiri laki-laki yang tempo hari ditemuinya di rumah Lara saat dia sedang berkebun bersama seorang pemuda berusia dua puluhan.
“Selamat siang, Pak Abisatya?”
Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum kecil. “Iya, saya Pak Abisatya atau panggil saja Satya, itu sudah cukup. Ayoo, silahkan masuk, Lara sudah menunggu Anda.”
“Bondan! Panggil saja saya Bondan!” sahut laki-laki tua itu sambil mengulurkan tangannya ke depan, Abisatya pun membalas jabatan tangan pria itu, “kemarin, kita belum sempat berkenalan. Senang bisa ketemu lagi, Pak Satya. Dan oh iya, kenalkan ini Hutama atau panggil dia Tama, dia ini asisten saya.”
Abisatya mengangguk lalu menyilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sambil menutup pintu kembali. “Lara, Pak Bondan sudah datang!”
Perempuan itu menoleh dan tersenyum lebar lalu menghampiri sang suami dan mencium punggung tangannya. “Kalian sudah berkenalan rupanya?” Abisatya dan Bondan hanya saling menatap satu sama lain sambil menyeringai kecil. “Baik, Bu Mayang kenalkan ini suamiku Pak Bondan dan itu asistennya, Tama.” Bu Mayang dan Rhea pun berdiri menyambut tamu baru mereka. “Abah, kenalkan ini Bu Mayang, ibunya Abisatya dan itu Rhea, menantu Bu Mayang atau istri almarhum Abiwara,” jelas Lara sambil menunjuk kedua perempuan itu satu per satu.
“Senang bertemu lagi dengan Anda, Pak Bondan,” ucap Bu Mayang sambil mengangguk kecil, Rhea pun hanya tersenyum tipis.
“Sama-sama, Bu. Tempo hari, kita belum sempat berkenalan, ya. Saya minta maaf,” sahut Bondan sambil mengatupkan tangannya di depan d**a sebagai permintaan maaf, sementara pemuda yang disebut Tama tadi hanya terdiam sambil mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan.
Perempuan tua itu menyeringai lebar seraya berkata, “Oh, nggak papa, Pak Bondan. Yang penting sekarang kita bisa bertemu lagi di sini. Silahkan-silahkan duduk!” balasnya sambil menunjuk ke sofa kosong yang bisa di duduki.
“Terima kasih. Sepertinya ritualnya sudah mau dimulai?” tanya Bondan sambil beralih dan menghempaskan tubuhnya di sofa, Tama pun mengekor di belakang dan berdiri tepat di belakang Bondan.
“Iya, Abah. Kami baru akan memulai ritualnya. Tama, kamu nanti yang dupanya kalau sudah habis, ya. Jangan lupa untuk selalu dicek selama ritual berlangsung.” Pemuda itu hanya mengangguk, “aku sudah taruh dupanya di sudut-sudut ruangan.” Tama kembali mengangguk dan bergegas menuju ke sudut-sudut ruangan untuk mengecek dupa-dupa yang diletakkan Lara di sana. “Baik, kalau begitu kita mulai ritualnya, Abah?” Bondan pun mengangguk dan bergegas berdiri, mencari posisi yang tepat. “Di sini, Abah akan mencegat siapa-siapa saja yang akan datang ke ruangan ini, karena fokus kita cuma satu, kita hanya akan memanggil Abiwara untuk datang ke sini,” jelas Rhea sambil menatap ketiga kliennya satu per satu.
Rhea tampak cemas dan gelisah, karena baru kali ini, dia bersinggunggan dengan hal-hal mistis seperti ini. Apalagi suasana dan aroma wangi dupa yang menguar di udara, tampak begitu horror baginya. Ingin rasanya dia tidak percaya dengan semua ini, tapi dari apa yang dipaparkan oleh Lara barusan, bisa diterima akal sehatnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus mengakuinya kalau yang tidak terlihat itu memang ada dan mereka beraktifitas di sekeliling kita.
Saat itu dilihatnya Lara mulai memejamkan mata dan terdiam hingga beberapa saat, Bondan juga tampak berdiri kaku dengan matanya yang terpejam pula. Entahlah, apa mereka sedang ngobrol dari hati ke hati melalui telepati, Rhea tidak tahu. Yang pasti dia hanya bisa bersabar dan menunggu apa gerangan yang akan terjadi, sementara Abisatya terlihat semakin tidak nyaman, karena apa yang sering dilihatnya di rumah ini, kembali muncul di depannya kali ini, berjalan berlalu-lalang atau sekedar mengintip, ingin tahu apa yang terjadi dengan mereka, sedangkan Bu Mayang malah beralih ke dapur dan meminta Yani—asisten rumah tangganya—untuk menyiapkan dua cangkir teh lagi untuk tamu barunya dan mengisi lagi teko teh dengan seduhan teh yang baru.
Gadis itu pun menurut dan bergegas menyiapkan dua cangkir teh kosong lalu membawanya ke ruang tamu, kemudian mengecek teko porselen yang hampir habis dan segera membawa teko itu ke dapur, untuk diisi dengan seduhan teh yang baru. Bu Mayang juga kembali ke ruang tamu sambil membawa kudapan cake buatan Abisatya yang diambilnya dari lemari pendingin lalu menaruhnya di atas meja.
Tepat pada saat itu, pintu utama terbuka, tampak Mirza—anak Bu Mayang—berdiri di sana dengan tatapan bingung. Rupanya adik tiri Abisatya ini baru pulang kerja. Profesinya sebagai fotografer freelance di sebuah majalah ternama ibukota, membuatnya leluasa bergerak untuk mencari job-job photographi di tempat lain, seperti yang dilakukannya kali ini, dia baru saja pulang dari proyek motret pre-wedding salah satu kliennya.
“Ada apa ini?” tanyanya bingung.