Bab 1. Malam yang Ternoda

1031 Kata
"Hentikan, Xel. Ini salah, ini gak boleh," cegah Alya saat jemari nakal Axel mulai membuka satu demi satu kancing depan bajunya. Tak dapat dipungkiri, Alya sudah hanyut dengan sentuhan dan buaian Axel. Ditambah lagi suasana di luar kamar hotel tempat mereka chek in yang hujan deras menambah suasana menjadi syahdu dan romantis. "Nggak, Al. Kita harus lakukan. Hanya ini satu-satunya cara agar Papa dan Mama aku menyetujui hubungan kita." Axel tidak mengindahkan ucapan Alya. Lelaki tampan itu terus mengendus leher jenjang Alya dan memberikan beberapa tanda merah di sana. "Tapi, bagaimana kalau aku hamil?" Alya mulai khawatir. Sebenarnya dia sangat takut, batinnya berperang. Apakah yang dia lakukan saat ini benar? Meski hatinya menolak, tetapi tidak dengan tubuhnya. Sentuhan-sentuhan Axel telah membuatnya mabuk kepayang. "Kalau kamu hamil, justru akan lebih bagus. Papa dan Mama akan langsung menikahkan kita." Satu desahan lolos dari mulut Alya membuat Axel bersemangat melanjutkan aksinya. Lelaki tampan itu membuka baju Alya, sehingga kini pemandangan indah terpampang sempurna tanpa terhalang sehelai kain pun. Sontak Alya langsung menyilangkan kedua tangan untuk menutupi bagian dadanya. "Jangan, Xel! Aku mohon, hentikan. Kita nggak seharusnya nglakuin ini." "Terus apa, Al? Kamu punya solusi untuk hubungan kita? Kamu lebih memilih aku dijodohkan dengan anak rekan bisnis Papa, begitu?" tanya Axel kesal. Hasratnya sudah memuncak ingin menikmati ujung merah muda yang begitu menggoda untuk dikecup. "T-tapi bagaimana kalau setelah melakukan ini orang tuamu tetap tidak menyetujui hubungan kita?" "Aku jamin, Papa dan Mama aku akan menyetujui, apalagi kalau kamu hamil. Kamu tahu Mbak Raya, kakak aku, kan? Dulu hubungannya dengan Mas Rangga ditentang oleh Papa dan Mama, tetapi saat Mbak Raya hamil anak Mas Rangga, mereka langsung dinikahkan. Bahkan sekarang Mas Rangga diberi kedudukan penting di perusahaan Papa. Jadi, apa kamu masih ragu, hmm?" Axel mencoba meyakinkan Alya. "Aku, tidak terlalu yakin, Xel. Aku--" "Plis, Alya. Berkorbanlah sedikit untuk hubungan kita. Kamu mencintai aku, kan? Kamu ingin kita bisa menikah dan hidup bersama selamanya, bukan?" Alya terdiam. Menikah dengan Axel adalah tujuan hidupnya selama ini. Alya adalah anak yatim piatu dan hidup menumpang di rumah kakaknya yang sudah berkeluarga. Gadis itu memang ingin segera bisa mandiri dan tidak menjadi beban keluarga kakaknya. Axel pun melepas bajunya hingga tidak tersisa satu kain pun membungkus tubuhnya. Axel beralih melepas satu demi satu pakaian bawah Alya. Kini keduanya sudah sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Selanjutnya, tanpa meminta persetujuan Alya, lelaki tampan itu mendaratkan ciuman panas di bibir mungil Alya. Alya yang tadinya masih terdiam karena didera rasa bimbang, akhirnya membalas ciuman Axel. Merasa mendapatkan lampu hijau, Axel menciumi bagian sensitif Alya hingga membangkitkan gairah wanita itu. "Lakukan sekarang, Xel! Aku sudah tidak tahan," rancau Alya membuat Axel tersenyum puas. "Baiklah, Sayang." Axel pun mulai melakukan penyatuan. Namun, tiba-tiba Alya menjerit kesakitan. "Tahan, Sayang. Aku jamin sakitnya cuma sebentar. Setelah itu kamu hanya akan merasakan kenikmatan," bisik Axel sembari menggigit lembut telinga Alya. Jerit tangisan Alya sudah tidak terdengar lagi, berganti desahan kenikmatan yang semakin membuat Axel bersemangat menikmati surga dunia bersama gadis itu. Hingga akhirnya, tubuh keduanya bergetar karena bersamaan mencapai puncak kenikmatan. Alya bahkan sempat mencakar punggung Axel karena gemas. Keduanya pun terkapar setelah selesai dengan perang kenikmatan. Keringat bercucuran membasahi tubuh keduanya. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih karena kamu mau berkorban agar kita bisa bersama. Aku janji, aku akan menikahimu," ucap Axel sembari mengecup puncak kepala Alya, lalu mendekap tubuh polos gadis itu ke dalam pelukan. Alya hanya mengangguk dan berharap semua janji-janji Axel akan menjadi kenyataan. "Suara dering telepon dari ponsel Alya membuat keduanya melepas pelukan. Masing-masing segera memunguti baju-baju mereka dan memakainya kembali. Alya meraih ponselnya dan melihat ke layar benda pipih itu. Ternyata sudah ada lima panggilan tak terjawab dari Kinanthi, kakak satu-satunya. "Halo, Kak," sapa Alya setelah menggeser tombol hijau ke atas. "Ya ampun Alya, kamu di mana. Ini sudah malam, lho. Kakak khawatir banget," balas wanita dari seberang telepon yang tidak lain adalah Kinanthi. Satu-satunya keluarga Alya yang tersisa di muka bumi ini. Kedua orang tua mereka telah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan pesawat. Sedangkan kerabat yang lain tinggal di luar pulau. Semenjak itu, Alya tinggal menumpang di rumah suami Kinanthi. "Iya, Kak. Sebentar lagi Alya pulang. Kakak tidur saja dulu. Alya baik-baik saja." "Ya sudah, hati-hati. Cepat pulang." Kinanthi pun mengakhiri panggilannya. "Xel, kita harus segera pulang. Aku gak mau bikin Kak Kinan cemas." "Oke, kamu siap-siap dulu. Kita chek out," balas Axel sembari membereskan barang-barang mereka. Keduanya pun meninggalkan Royal Hotel, saksi bisu malam ternoda bagi Alya. Mobil Ferrari merah yang dikendarai Axel melesat menembus derasnya hujan meninggalkan area parkir hotel. Sebenarnya dalam hati kecilnya, Alya menyesal karena melakukan dosa besar itu. Namun, disisi lain hanya itu yang bisa dia lakukan agar orang tua Axel menyetujui hubungan mereka. Tepat pukul dua belas malam, mobil Ferrari merah milik Axel berhenti di depan rumah suami Kinanthi. Hujan lebat telah berganti menjadi gerimis. "Mau aku antar masuk?" tawar Axel. "Nggak perlu, Xel. Aku bisa sendiri. Lagian hujannya juga sudah mulai reda," tolak Alya. Gadis itu hendak turun, tetapi Axel menahan pergelangan tangannya. "Terima kasih untuk malam ini, Al. Aku janji akan secepatnya memperjuangkan hubungan kita kepada Papa dan Mama. Secepatnya aku akan menikahi kamu." "Aku tunggu kabar baik darimu secepatnya, Xel." Setelah berkata demikian, Alya turun dari mobil dan berlari menuju rumah suami kakaknya. Sementara mobil Ferrari merah yang dikendaraai Axel telah meninggalkan halaman rumah itu. "Jam berapa ini? Kenapa baru pulang?" Alya terkejut saat suara bariton seorang lelaki menyambut kepulangannya. Lelaki yang tidak lain adalah Reyhan, suami Kinanthi itu menatap Alya dengan perasaan kesal. "Maaf, Om. Tadi sebenarnya acara sudah selesai jam sepuluh malam, tetapi karena hujan deras kami nunggu sampai agak reda," bohong Alya. Gadis itu memang terbiasa memanggil kakak iparnya dengan panggilan Om karena usia mereka yang terpaut banyak. Usia Reyhan saat ini sudah 35 tahun sedangkan Alya baru menginjak dua puluh tahun. "Lain kali kalau kamu pulang malam lagi, aku akan kunci pintunya. Biar kamu sekalian tidur di luar," tambah Reyhan dengan nada kesal, lalu meninggalkan Alya yang masih mematung di depan pintu. Sikap Reyhan memang selalu dingin terhadapnya. Alya sendiri tidak tahu apa penyebabnya. "Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? Cepat masuk dan kunci pintunya," titah Reyhan tanpa menoleh ke arah Alya. "I-iya, Om."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN