"Alya belum turun?" tanya Kinanthi saat melihat kursi Alya masih kosong. Hanya ada suami dan anak perempuannya yang sudah siap menyantap sarapan.
"Aunty masih tidur, Ma," jawab Tasya, gadis kecil berusia sembilan tahun, putri semata wayang Kinathi dan Reyhan yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Alya.
"Masih tidur di jam segini?" Kinanthi melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya Alya selalu rajin bangun pagi dan membantu Darsih, asisten rumah tangga di rumahnya untuk mempersiapan sarapan, lalu jam setengah tujuh pagi Alya akan mengantar Tasya sekolah.
"Pasti dia kesiangan gara-gara tadi malam pulang larut. Anak gadis pulang jam dua belas malam dan diantar cowok. Sepertinya adikmu sudah salah pergaulan. Bagaimana kalau lelaki yang kemarin itu berbuat yang tidak-tidak, atau--"
"Cukup, Mas. Jangan nakut-nakutin aku," ucap Kinanthi sembari menutup telinganya.
"Terserah kamu, Nan. Aku sudah peringatkan. Jangan terlalu memanjakan adikmu."
"Iya, Mas. Nanti aku nasehatin si Alya. Sekarang kamu dan Tasya sarapan dulu saja dan tolong nanti sekalian kamu antar Tasya sekolah." Keluarga kecil itu pun akhirnya sarapan tanpa Alya. Tepat pukul 06.30 Reyhan berangkat ke kantor sekalian mengantar sekolah putrinya.
Sementara Kinanthi beranjak ke kamar Alya. Berulang kali Kinanthi mengetuk pintu Alya dan berusaha membangunkan gadis itu. Namun, hasilnya nihil. Alya tidur sangat pulas seperti orang mati. Tadi malam gadis itu hampir tidak bisa tidur karena teringat perbuatannya bersama Axel. Alya merasa menyesal, tetapi percuma semua sudah terjadi.
***
"Kenapa memanggil terus, sih," ucap Alya kesal. Sudah sepuluh kali gadis itu menghubungi nomor Axel, tetapi ternyata nomor itu sudah tidak aktif bahkan sejak dua hari yang lalu.
Hari itu adalah hari ketiga sejak kejadian malam ternoda di Royal Hotel. Setelah kejadian itu, Axel hanya menghubungi Alya sekali dan itu pun cuma memberi kabar kalau dia sedang berusaha memperjuangkan hubungan mereka.
"Aku harus ke rumah Axel," gumamnya sembari meraih tas slempang yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Perasaan Alya tidak enak. Dia harus bertemu Axel. Alya melajukan motor metiknya menuju perumahan elit di kawasan Royal Residence.
"Cari siapa, Mbak?" tanya security yang berjaga di depan rumah mewah milik orang tua Axel itu.
"Axel ada, Pak?"
"Mas Axel? Mbak ini siapa? Temannya?" Bukannya menjawab pertanyaan Alya, Security itu malah balik bertanya.
"Iya, saya temannya. Tolong, Pak. Panggilkan Axel. Ini penting banget," mohon Alya.
"Tapi Mas Axelnya gak ada, Mbak."
"Nggak ada maksudnya bagaimana, Pak?"
"Mas Axel sudah berangkat ke Australia dua hari yang lalu." Alya terkejut mendengar jawaban Security.
"Nggak, Pak. Bapak pasti bohong. Axel! Kamu di mana? Ini aku Alya!" teriak Alya sembari menerobos masuk. Security mencoba menghadang gadis itu tetapi tidak berhasil. Alya berhasil masuk ke rumah mewah milik keluarga Axel. Seorang wantia paruh baya terkejut saat melihat Alya sudah ada di depan pintu.
"Kamu lagi? Mau apa kamu ke sini?" tanya wanita paruh baya itu dengan wajah sinis.
"Tante, tolong bilang sama Axel kalau aku mau ketemu."
"Axel gak ada. Dia sudah berangkat ke Australia untuk melanjutkan kuliah S2."
"Itu gak mungkin, Tante. Axel tidak mungkin pergi tanpa bilang apa-apa pada saya." Mendengar ucapan Alya, wanita paruh baya yang tak lain adalah mamanya Axel itu tertawa lebar.
"Memangnya kamu siapa? Kenapa Axel harus pamitan sama kamu, ha? Sebaiknya mulai sekarang kamu lupakan Axel. Karena dia sudah aku jodohkan dengan anak rekan bisnis kami. Mereka akan menikah setelah Axel menyandang S2.
"Tapi Axel sudah janji pada saya untuk--" Alya tidak melanjutkan ucapannya. Mana mungkin Alya mengatakan kepada wanita paruh baya itu kalau beberapa malam yang lalu Axel telah menghabiskan malam bersamanya. Axel telah menodainya.
"Lupakan semua janji Axel karena dia tidak akan pernah menepatinya. Axel anak yang patuh. Setelah pulang dari Australia, dia akan menikah dengan wanita yang telah kami pilihkan. Jadi, jangan pernah bermimpi untuk menjadi istri Axel." Hati Alya hancur setelah mendengar ucapan mamanya Axel. Alya merasa sedih karena dihina diusir oleh wanita paruh baya itu. Alya merasa sangat putus asa.
***
"Mas, Alya belum pulang. Aku sudah meneleponnya berkali-kali tapi tidak diangkat, mana di luar hujan deras," ucap Kinan saat menelpon suaminya yang masih meeting di luar. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Reyhan masih sibuk menemui klien. Kebetulan malam itu dia kedatangan rekan bisnisnya dari Amerika sehingga Reyhan menemaninya ngopi di restoran hotel.
"Sudahlah, Kinan. Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan Alya. Dia itu sudah dewasa. Nanti juga pulang sendiri," balas Reyhan lewat sambungan telepon.
"Tapi, Mas perasaanku tidak enak. Tadi aku sudah telepon Sisil, teman akrabnya. Sisil bilang tadi Alya memang sempat ke rumahnya. Alya nangis dan bercerita kalau pacarnya pergi ke Australia. Kata Sisil, Alya putus asa, tetapi sudah sejak Magrib tadi Alya pamitan pulang dari rumah Sisil. Sekarang sudah jam sembilan malam dan Alya belum sampai di rumah, Mas. Aku takut terjadi apa-apa sama dia."
"Kamu tunggu saja, Nan. Dia pasti pulang kayak tempo hari itu."
"Nggak, Mas. Perasaanku mengatakan Alya tidak akan pulang. Aku ijin mau cari dia."
"Kamu mau cari dia di mana, Kinan? Di luar hujan deras. Jangan pergi!" larang Reyhan.
"Tapi, Mas. Aku harus pergi. Aku sudah melacaknya lewat GPS. Alya itu adikku satu-satunya. Hanya tinggal dia keluargaku yang tersisa. Aku tidak mau kehilangan dia. Aku takut terjadi sesuatu dengan Alya. Di keluar hujan sangat deras. Plis, izinkan aku mencari Alya, Mas," mohon Kinanthi membuat Reyhan menghela napas berat.
"Ya sudah, terserah kamu," balas Reyhan kesal, lalu menutup panggilan. Lelaki itu kesal karena Kinanthi tidak pernah menuruti ucapannya kalau itu berhubungan dengan Alya. Rasa sayang Kinanthi terhadap Alya yang berlebihan, membuat Reyhan sering merasa tersisihkan oleh istrinya sendiri. Alya selalu menjadi bahan perdebatan antara dirinya dengan Kinanthi.
Sementara itu Kinanthi bersiap untuk mencari Alya dengan berbekal GPS yang terhubung dengan ponsel adiknya. Beruntung Alya tidak mematikan ponselnya, sehingga Kinanthi bisa melacak keberadaan adik semata wayangnya itu. Wanita itu melihat melalui GPS kalau posisi adiknya ada di kawasan Wonokromo.
Setelah menitip pesan kepada Darsih, asisten rumah tangganya untuk menjaga Tasya, Kinanthi meluncur meninggalkan rumahnya menggunakan mobil Honda Jazz warna merah pemberian sang suami di hari ulang tahunnya beberapa bulan yang lalu.
Mobil Honda Jazz warna merah yang dikendarai Kinanthi meluncur membelah jalanan Kota Surabaya di bawah guyuran air hujan. Wanita itu terus mengawasi GPS yang terhubung dengan ponsel Alia sembari mencoba menghubungi gadis itu lewat telepon. Namun, sudah berkali-kali panggilan Kinan tidak juga direspon oleh Alya, hingga pada panggilan yang kesekian kalinya akhirnya Alya menjawab telepon kakaknya.
"Halo Alya, syukurlah akhirnya kamu menjawab telepon Kakak. Kamu di mana, Al. Kakak bingung nyariin kamu. Kamu ada di Wonokromo, kan?"
"Kakak pulang saja. Jangan nyari Alya. Nanti Alya bakal pulang, kok."
"Tapi Alya, ini sudah malam. Kakak sedang meluncur ke sana. Kita pulang bareng-bareng, ya."
"Nggak, Kak. Jangan ke sini. Aku akan pulang. Kakak jangan ke sini."
"Tapi Alya, Kakak belum tenang kalau ... aaaaaaaaa." Panggilan terputus bersamaan dengan jeritan Kinanthi. Mobil yang dikendarai Kinanthi membanting setir ke kiri karena menghindari batang pohon yang roboh di tengah jalan akibat angin kencang saat hujan. Kinanthi tidak menyadari kalau di depannya ada batang pohon yang roboh karena dia sibuk bertelepon dengan Alya.
Saat menyadari kalau ada batang pohon yang roboh di tengah jalan, wanita itu sudah tidak bisa mengendalikan mobilnya serta tidak sempat menginjak rem, sehingga refleks Kinanthi membelokkan setir ke kiri. Akibatnya kecelakaan tunggal tidak dapat dihindari. Mobil Honda Jazz merah itu menabrak sebuah pohon besar yang ada di pinggir jalan.
"Halo, Kak Kinan. Kakak kenapa? Halo ... Kak Kinan!" teriak Alya panik karena tiba-tiba panggilannya dengan Kinanthi terputus.