"Axel! Kamu b******k! Aku benci kamu!" teriak Alya histeris sambil berdiri di atas jembatan Ujung Galuh. Gadis itu berteriak-teriak melampiaskan kekesalannya di bawah guyuran air hujan yang begitu deras. Tak ada satu orang pun yang menghiraukannya, meskipun mereka melewati jalanan di jembatan itu. Malam semakin gelap orang-orang yang berlalu-lalang di jembatan itu hanya ingin cepat pulang ke rumah agar bisa segera berteduh dari lebatnya hujan.
Alya menangis dan berteriak histeris. Gadis itu putus asa setelah tahu Axel telah meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Setelah malam indah yang mereka lewati bersama, lelaki itu pergi begitu saja tanpa memenuhi janji-janji manisnya. Setelah mengambil kehormatan Alya, tanpa dosa lelaki itu terbang ke Australia tanpa meninggalkan pesan. Alya merasa telah ditipu. Alya merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia karena pernah percaya dengan seorang lelaki bernama Axel.
"Kamu tega sekali, Xel. Kamu lelaki paling b******k yang pernah aku kenal. Menyesal aku pernah kenal dan jatuh cinta padamu. Menyesal aku telah memberikan kehormatan yang aku junjung tinggi kepadamu. Kamu pergi setelah apa yang kamu perbuat terhadapku. Bagaimana kalau aku hamil? Aku akan membuat Kak Kinan malu. Aku akan mencoreng nama baik keluarga Om Rey. Aku tidak berguna. Lebih baik aku mati saja daripada membuat orang-orang yang menyayangiku malu karena perbuatanku."
Alya melangkahkan satu kakinya di pagar pembatas jembatan. Kedua matanya fokus menetap sungai yang ada di bawah jembatan. Sungai besar yang mungkin akan bisa membawanya hanyut ke dunia lain.
"Maafkan Alya, Kak Kinan. Alya belum bisa membalas kebaikan Kak Kinan. Tetapi setidaknya dengan kepergian Alya, Kak Kinan dan keluarga Om Rey tidak akan malu karena perbuatan Alya. Selamat tinggal, Kak Kinan. Alya mau menyusul Ayah dan Ibu ke surga," tangis Alya sembari melangkahkan satu kakinya yang lain hendak melompat. Namun, seketika dering telepon dari dalam tas mengurungkan niatnya untuk melompat ke dasar jembatan. Gadis itu tahu kalau sejak tadi Kinanthi berusaha menghubungi ponselnya.
"Sebelum pergi, aku harus menjawab telepon Kak Kinan terlebih dahulu. Agar dia tidak khawatir, agar malam ini dia bisa tidur dengan tenang tanpa memikirkan untuk mencariku," batin Alya sembari merogoh ponsel dari dalam tasnya yang sejak tadi berdering karena ada panggilan dari Kinanthi.
"Halo Alya, syukurlah akhirnya kamu menjawab telepon Kakak. Kamu di mana, Al. Kakak bingung nyariin kamu. Kamu ada di Wonokromo, kan?" Kinanthi memberondong Alya dengan banyak pertanyaan begitu gadis itu menggeser tombol hijau ke atas di layar ponselnya.
"Kakak pulang saja. Jangan nyari Alya. Nanti Alya bakal pulang, kok." Alya berusaha membuat Kinanthi tenang.
"Tapi Alya, ini sudah malam. Kakak sedang meluncur ke sana. Kita pulang bareng-bareng, ya."
"Nggak, Kak. Jangan ke sini. Aku akan pulang. Kakak jangan ke sini."
"Tapi Alya, Kakak belum tenang kalau ... aaaaaaaaa."
"Halo, Kak Kinan. Kakak kenapa? Halo ... Kak Kinan!" teriak Alya panik. Beberapa saat hanya terdengar suara berisik dan gaduh dari ponsel Alya. Sepertinya sambungan mereka belum terputus.
"Halo, apa yang terjadi, Kak? Kak Kinan jawab aku! Kakak masih mendengarku, kan?" tanya Alya lagi.
"Selamat malam, Mbak. Pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan. Mobilnya menabrak pohon besar di tepi jalan." Ucapan seorang laki-laki dari ponsel Kinanthi mengejutkan Alya.
"Apa? Tidak mungkin, Kak Kinan!" Alya berteriak histeris.
"Kami akan membawanya ke rumah sakit Palang Merah," lanjut lelaki itu.
"Iya, Mas. Lakukan yang terbaik untuk kakak saya. Saya segera ke sana." Alya segera memasukkan ponsel ke dalam tasnya setelah panggilan terputus dan meluncur ke rumah sakit Palang Merah dengan motor metiknya. Gadis itu tidak peduli meski hujan deras mengguyur tubuhnya. Perasaan bersalah telah menyelimuti dirinya. Kinanthi celaka karena mencari dirinya.
Setelah sampai di depan IGD Rumah Sakit Palang Merah, Alya segera menghubungi Reyhan. Lelaki yang sedang menemani kliennya di hotel itu terkejut dan segera meluncur ke rumah sakit Palang Merah untuk melihat kondisi sang istri. Sementara Alya mondar-mandir dengan perasaan cemas di depan ruang IGD menanti kabar dari dokter yang sedang menangani Kinanthi.
"Ini semua gara-gara kamu. Kamu selalu bikin masalah. Kamu sudah bikin Kinan celaka," ucap Reyhan marah saat tiba di rumah sakit Palang Merah. Alya hanya berdiam tanpa berani membantah karena memang semua yang dikatakan oleh kakak iparnya itu adalah benar.
"Bisa nggak, sih, kamu sehari saja tidak menyusahkan kakakmu? Kalau sampai terjadi apa-apa pada Kinan maka aku tidak akan pernah memaafkanmu," ancam Reyhan membuat alias semakin takut.
"Keluarga Ibu Kinanti," ucap seorang lelaki berseragam putih yang baru saja keluar dari pintu ruang IGD. Reyhan dan Alya segera mendekat.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?" tanya Rehan tidak sabar.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Ibu Kinanthi mengalami pendarahan di kepala yang cukup serius sehingga kami tidak bisa menolongnya."
"Apa maksud Dokter? Tolong bicara yang jelas dan jangan bertele-tele," balas Reyhan tak sabar.
"Kami minta maaf, Pak. Ibu Kinanthi sudah meninggal dunia." Seketika dunia Reyhan terasa runtuh mendengar ucapan dokter. Lelaki itu berlari menerobos masuk pintu ruang IGD dan memeluk jasad istrinya yang telah ditutup selimut putih. Tanpa bisa dicegah, Rehan menangis. Lelaki itu tidak menyangka kalau istrinya akan pergi secepat ini.
Begitu pun Alya. Tubuh gadis itu merosot ke lantai seolah tak bertulang. Kinanti meninggal dunia karena dirinya. Alya mengutuk dirinya sendiri.
***
"Tasya sekolah diantar Onty, ya," tawar Alya saat keponakan perempuannya itu hendak berangkat sekolah. Hari itu sudah satu bulan semenjak meninggalnya Kinanti, kesedihan memang masih menyelimuti Rehan dan Tasya, begitu juga Alya. Namun mereka sudah menjalani kehidupan seperti biasanya. Selama satu bulan ini, Tasya menolak diantar Alya ke sekolah. Gadis kecil itu lebih memilih diantar Andi, sopir pribadi yang sengaja dipekerjakan oleh Reyhan untuk mengantar jemput putrinya.
"Semenjak meninggalnya Kinanti, baik Tasya maupun Reyhan sangat membenci Alya. Bahkan mereka tidak mau berbicara dengan Alya. Keduanya menganggap Alya sebagai penyebab kematian Kinanti. Hal itu tentu saja membuat Alya sangat sedih.
"Kamu yang sabar, ya, Al. Ibu yakin mereka tidak bermaksud membenci kamu," ucap Dewi, ibunda Reyhan sembari mengusap lembut punggung Alya. Sejak Kinanthi meninggal, Dewi sengaja tinggal di rumah Reyhan untuk menemani Tasya yang masih syok dengan kepergian mamanya. Dewi sangat mengerti perasaan Alya. Wanita paruh baya itu berusaha menghibur Alya agar tetap sabar menghadapi anak dan juga cucunya.
"Alya mau pergi saja dari rumah ini, Bu. Alya mau ngekos saja. Kehadiran Alya di rumah ini sudah tidak diharapkan lagi oleh Om Rey dan juga Tasya," ucap Alya sembari menangis.
"Jangan, Sayang. Kamu harus tetap berada di rumah ini. Hanya kamu satu-satunya adik dari Kinanthi. Semasa hidupnya, Kinanthi sangat menyayangi kamu. Kinanthi tidak akan tenang di surga jika kamu terlunta-lunta sendirian di luar. Tetaplah tinggal di sini, ya. Ibu sudah meminta Reyhan untuk menikahi kamu."
"Apa, Bu? Menikah? Om Rey dan saya?" Alya syok mendengar ucapan Dewi.
"Iya, Al. Aku sudah memikirkan hal ini masak-masak. Jika kamu tetap tinggal di sini tanpa ikatan pernikahan, tidak akan baik karena kamu dan Reyhan bukanlah mahram. Namun jika kamu pergi dari rumah ini, ibu tidak akan bisa memaafkan diri ibu sendiri karena almarhumah kakak kamu tidak akan pernah tenang di alam sana. Jadi, Ibu minta Reyhan untuk menikahi kamu. Lagi pula, hanya kamulah yang tahu apa yang dibutuhkan Reyhan dan Tasya. Kalian sudah lama tinggal bersama. Ibu yakin kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Reyhan dan ibu yang baik untuk Tasya," jelas Dewi panjang lebar.
"Tapi, Bu. Om Rey tidak akan setuju. Om Rey sangat membenci saya," tolak Alya. Gadis itu sadar, selama ini sikap Reyhan terhadap dirinya begitu dingin, bahkan sebelum kematian Kinanthi. Apalagi setelah Kinanti meninggal. Reyhan semakin membencinya karena menganggapnya sebagai penyebab kematian Kinanthi.
"Kata siapa Reyhan tidak mau? Ibu sudah membicarakan hal ini dengannya beberapa waktu lalu dan dia menyanggupinya. Reyhan akan turun ranjang dengan menikahimu. Ibu sudah mengatur semua. Minggu ini kalian akan menikah." Ucapan Dewi kontak membuat Alya melebarkan kedua matanya. Gadis itu masih tidak yakin kalau Reyhan setuju menikah dengannya.
"Tapi, Bu--"
"Kamu masih tidak percaya, Al?" tanya Dewi memotong ucapan Alya.
"Rey, kemarilah sebentar!" panggil Dewi saat kebetulan Reyhan keluar kamar hendak berangkat ke kantor.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Reyhan setelah mengikis jarak dengan keduanya tanpa melihat ke arah Alya.
"Kamu sudah setuju, kan, kalau minggu ini menikah dengan Alya?"
"Iya, Bu. Reyhan setuju. Ibu atur saja semuanya. Reyhan berangkat kerja dulu. ya. Assalamualaikum." Reyhan menjabat dan mencium punggung tangan ibunya, lalu bergegas pergi ke kantor.
"Waalaikumsalam," jawab Dewi sembari tersenyum. Sementara Alya merasa kesulitan menelan ludahnya yang seolah mengental di tenggorokan mendengar jawaban Reyhan tadi. Rasanya Gadis itu masih tidak percaya kalau Reyhan dengan mudahnya menerima pernikahan mereka.