Reyna tiba di apartemen kakaknya ketika hari sudah gelap. Sekarang dia berdiri di depan pintu apartemen, sedang menekan beberapa angka yang merupakan sandi agar dapat masuk ke apartemen itu. Reyna berhasil, pintu pun terbuka.
Dengan cara mengendap-endap, gadis itu masuk lalu menutup pintu dengan sangat pelan. Dia tidak ingin kakak atau kakak iparnya mengetahui bahwa hari ini dia pulang malam. Reyna juga masih harus waspada dengan kakaknya, Azzima, sebab tadi mereka bertemu di kampus. Dia berharap Azzima tidak pernah mengetahui kalau gadis yang dikejar-kejar oleh security kampus tadi adalah dirinya.
"Mereka sudah tidur?" Dia berbisik pada diri sendiri.
Tampaknya situasi aman, Reyna pun melangkah sedikit lebih cepat untuk masuk ke kamarnya. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti di depan pintu kamar. Dia mendengar sesuatu yang sangat …
"Aaahh."
"Giannah … kau tidak bisa berhenti sekarang?"
"Tidak."
"Ouchh!"
"Siapa yang menaruh obat p*rangsang di minumannya!"
"Aaaah."
… Menjijikan. Reyna segera menutup telinganya dan masuk ke dalam kamar. Bisa-bisanya suara Azzima dan Gianna terdengar sampai ke kamar Reyna.
"Oh, telingaku. Aku butuh headphone." Gadis itu buru-buru mencari headphone untuk menutup telinga, lalu menghidupkan musik dan mengeraskan volumenya.
"Huuft."
Reyna merebahkan tubuh di atas kasur setelah menghidupkan lampu tidur. Dia membuka ponselnya untuk melihat berita terbaru tentang Ryan, seorang jurnalis yang beberapa hari lalu terlibat insiden kecelakaan. Reyna membaca artikel dan mengetahui bahwa Ryan sudah keluar dari rumah sakit.
"Aku akan menemuinya besok," ucap Reyna sebelum memejamkan mata dan terlelap.
Hari pun berganti. Matahari pagi tampaknya telah membakar semangat Gianna. Reyna melihat kakak iparnya itu sedang bersenam di balkon apartemen.
Gianna mendengar suara pintu yang dibuka, dia melihat Reyna menghampiri. "Apa kau tidur dengan nyenyak semalam?" tanyanya.
"Em ... lumayan," jawab Reyna sambil meregangkan otot-otot tubuh yang kaku setelah tidur semalaman.
"Kelihatannya kakak juga bersemangat setelah aktivitas semalam," ucap Reyna.
"Ya, tentu saja, semalam sangat … tunggu, apa kami mengganggu tidurmu?" tanya Gianna setelah mengingat aktivitasnya dengan Azzima semalam.
Reyna tergelitik. "Tidak, setelah pukul dua pagi."
Gianna jadi malu sekarang. Mereka telah membuat Reyna tidak bisa tidur dengan nyenyak sampai pukul 2 pagi.
Malam itu sungguh cobaan bagi Reyna. Dia sudah mencoba untuk tidur setelah berkata bahwa besok dirinya akan menemui Ryan. Namun nyatanya Reyna tidak terlelap begitu saja, sebab suara dari kamar sebelah sangat mengusik jiwa dan raganya.
"Aku tidak sadar jika kami melakukannya selama itu," ucap Gianna, perutnya sendiri merasa geli sebab mengingat aktivitasnya bersama sang suami semalam.
"Aku juga." Reyna menggoda kakak iparnya.
Gianna tertawa. "Sudah, kau membuatku malu."
"Oh, ya, bagaimana dengan beasiswa kuliahmu?" Akhirnya Gianna mengganti topik pembicaraan.
"Suuutt." Reyna menyarankan kakak iparnya untuk berhati-hati saat bertanya tentang beasiswa, sebab dia tidak ingin Azzima mengetahuinya.
"Jadi kau masih merahasiakannya dari kakakmu," ucap Gianna.
"Kakak tau sendiri kalau Kak Zima itu tidak bisa menjaga rahasia. Dia pasti akan langsung memberitahunya pada mama."
"Baiklah, aku berada di pihakmu. Jadi bagaimana hasilnya?" tanya Gianna.
"Aku sudah memperbaiki data dirinya dengan data asli. Aku harap aku bisa diterima."
"Bagaimana kau melakukannya?"
"Em ... seseorang membantuku."
Gianna menatap adik iparnya itu penuh selidik. Dia bisa menebak, seseorang yang dimaksud Reyna itu pasti lelaki.
"Dia pacarmu?"
Reyna tertawa singkat mendengar tebakan tidak masuk akal dari kakak iparnya. "Tidak mungkin dia pacarku."
"Ayolah, jujur saja, tidak ada rahasia di antara kita." Gianna menggelitik perut adik iparnya.
Reyna sempat tertawa meladeni rasa ingin tahu kakak iparnya. Tetapi beberapa saat kemudian, wajah Reyna berubah menjadi murung. Dia akan memiliki hutang pada pria berinisial Fan itu.
"Kenapa?" Gianna tidak mengerti dengan perubahan raut wajah Reyna yang tiba-tiba murung.
"Menurut kakak mana yang harus aku pilih, seseorang yang aku cintai, atau seseorang yang mencintaiku?"
Gianna tidak menyangka jika akan membahas tentang ini bersama adik iparnya. Namun dia sadar jika adik iparnya pun kelak akan tumbuh dewasa. Pasti akan banyak masalah percintaan yang akan dia alami.
"Apa seseorang yang kau cintai juga mencintai mu?"
Reyna menunduk. "Aku tidak tau."
"Hei, tidak perlu sedih." Gianna mengusap punggung Reyna. "Kau masih memiliki waktu untuk mengetahuinya."
Reyna mengangkat wajah untuk mendengarkan nasihat kakak iparnya.
"Sebelumnya, kau harus mengerti lebih dulu alasan cinta itu tumbuh. Setelah kau tau, kau akan mengerti bagaimana rasanya."
"Aku sudah tau kenapa aku mencintainya," ucap Reyna.
"Benarkah?"
Reyna mengangguk yakin.
Gianna menyedot udara dengan giginya. "Baiklah, aku akan memberitahumu sesuatu. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu pandai mengatasi masalah ini. Tapi yang harus kau tau, aku lebih memilih orang yang aku cintai dibandingkan orang yang mencintaiku."
Seketika raut wajah Reyna kembali bersemangat. Dia setuju dengan pilihan kakak iparnya. "Baiklah aku setuju dengan pilihanmu!"
Gadis itu langsung berlari meninggalkan balkon dan menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap mengunjungi seseorang yang dia cintai.
"Tunggu, tunggu, aku belum selesai, hei." Gianna mencoba menghentikan adik iparnya, tetapi tidak berhasil. Dia sudah terlanjur mengatakan jawaban yang diinginkan Reyna.
"Dia tidak mengerti maksudku. Dulu aku seorang idol, tentu saja banyak orang yang mencintaiku. Itu sebabnya aku memilih orang yang aku cintai," ucap Gianna pada jemuran yang bergoyang.
Wanita itu menghela napas berat. "Aku harap dia tidak menangis saat pulang nanti." Gianna pun melanjutkan senam paginya.
***
Sekarang Reyna berada di sebuah apartemen yang ditempati oleh Ryan. Setelah melalui perjalanan yang cukup padat, akhirnya Reyna tiba di sana dengan selamat. Namun sekarang dia gugup. Bahkan keranjang buah yang berada di tangannya sampai bergoyang, menjadi bukti bahwa gadis itu sedang gemetar.
Dia pun berdehem. "Bagaimana aku memulainya. Oke, baiklah, tenangkan dirimu." Reyna menghembuskan napas damai.
Gadis itu memencet bel apartemen Ryan. Tak lama kemudian, seorang gadis muncul di hadapannya setelah pintu dibuka.
"Oh, Reyna." Bianca menyapa gadis di depannya.
Sementara Reyna membeku. Dia kalah cepat dengan Bianca. Padahal Reyna sudah bergegas secepat mungkin untuk tiba lebih dulu.
Mereka pun masuk dan duduk di kursi ruang tengah. Sementara Ryan tampak sedang mengambil minuman untuk mereka. Pria itu sudah bisa beraktivitas kembali, meski belum diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah.
"Kau datang sendiri?" Bianca bertanya pada Reyna.
"Apa kau tidak bisa melihatnya," jawab Reyna agak ketus.
Bianca tersenyum kecil. "Aku mengerti sekarang."
Reyna menghembuskan napas seraya memejamkan mata. "Kau sudah lama di sini?"
"Kau bertanya? Tentu saja." Bianca menaikkan satu alisnya. "Aku bahkan menginap di sini semalam," bisiknya dengan nada mendesak, membuat Reyna terkejut.
Sangat terkejut. Raut wajah Reyna bahkan tampak seperti orang yang tersambar petir di awal hari. Dia tidak ingin percaya, tetapi hatinya merasa sangat marah dan kecewa.
Ryan membawa nampan berisi tiga gelas minuman. Dia meletakkannya di meja, lalu dia pun bergabung bersama mereka.
"Kau terjebak macet?" tanya Ryan pada Reyna untuk membuka percakapan.
"Ya, sedikit," jawab Reyna.
"Bagaimana dengan kuliahmu?" Ryan bertanya lagi.
"Em, sebenarnya aku mengambil cuti."
"Cuti? Kau ada kegiatan di ibukota?" Ryan tampak ingin tahu.
"Ya, begitulah." Reyna tersenyum kaku. Sebenarnya dia ingin memberitahu Ryan tentang beasiswa yang dia ambil, tetapi dia tidak ingin Bianca mendengarnya juga.
"Aku mengurus semuanya sampai tidak sempat menjengukmu di rumah sakit, maaf," tambah Reyna.
Dia berbohong. Sebenarnya Reyna sangat ingin menjenguk Ryan di rumah sakit kala itu. Namun dia tidak memiliki keberanian. Jadi dia hanya bisa melihatnya dari luar ruangan dan memastikan bahwa pria itu tidak sendirian.
Bianca melipat lengan di depan perut. Dia ingin melihat, sejauh mana Reyna menginginkan Ryan. Setelah itu, dia bisa mempermainkan cinta mereka.
"Tidak masalah." Ryan menanggapi permintaan maaf Reyna dengan senyum khas teman baik.
Setelah bertanya pada Reyna, dia pun beralih pada Bianca. "Lalu bagaimana denganmu, Bi--"
"Kau tidak lupa bukan? Kita menghabiskan waktu mengobrol semalaman." Bianca memotong ucapan Ryan. Bahkan dia berpindah tempat dan duduk di samping Ryan untuk membuat Reyna yakin jika semalaman dia bersama dengan Ryan.
Mulanya Ryan terlihat bingung dengan ucapan Bianca. Namun karena dia menyukai Bianca, dan saat ini pun Bianca tidak biasanya berada sangat dekat dengannya, Ryan pun mengiyakan seluruh ucapannya.
"Oh, ya, kau benar." Ryan tersenyum canggung.
"Aku harus memastikan kondisimu baik-baik saja. Jadi malam ini aku akan menginap lagi di apartemen mu," ucap Bianca.
"Sungguh?" Tampak jelas raut gembira di wajah Ryan.
"Ya." Bianca menjawab dengan sangat serius.
Reyna merasa seperti obat nyamuk sekarang. Tidak hanya itu, jantungnya bahkan terasa remuk, mengapa dia tidak bisa bertahan dalam kondisi ini.
"Kau juga ingin menginap, Rey?" tanya Bianca, membuat Ryan mengerutkan wajah bingung.
"Oh, tidak, aku akan pulang sebentar lagi," jawab Reyna.
Dia pun menundukkan wajah untuk menghindari pemandangan yang sangat menyayat di depannya. Namun apa yang Reyna lakukan itu tidak ada gunanya. Dia melihat tangan Ryan yang membalas genggaman tangan Bianca.
Bianca selalu memiliki cara untuk membuat Reyna patah hati. Apa pun akan dia lakukan untuk membalas dendam. Tidak peduli pada siapa orangnya.
"Tidak perlu buru-buru," ucap Bianca. "Bukan begitu, Ryan?"
"Ya, nikmati saja," jawab Ryan yang sudah terbuai oleh kedekatannya bersama Bianca.
Reyna tahu, semua ucapan Bianca adalah bohong. Dia juga tahu bahwa Bianca hanya ingin menyakiti hati dan perasaannya menggunakan Ryan. Reyna sangat tahu kalau Bianca hanya menyukai kakaknya, Azzima.
Tetapi Reyna tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh dia sangat ingin menyelamatkan Ryan dari gadis jahat itu. Namun dia tidak memiliki keberanian, apalagi dengan kondisi dia tahu bahwa Ryan sangat menyukai Bianca.
"Kau tidak mau ngobrol dulu?" tanya Bianca.
Reyna menggelapkan tangan kanannya yang tersimpan di balik bantal kursi yang ia pangku. Dia pun mengangkat wajah, memberanikan diri, melakukan apa yang ingin dia lakukan.
"Aku mau bicara, tapi hanya dengan Ryan. Jadi, bisa kau pergi sebentar," ucap Reyna. Dia menatap Bianca dengan tatapan membunuh.
"Oh, begitukah? Baiklah, tidak apa-apa, aku akan ke belakang. Panggil aku jika sudah selesai." Bianca tetap mengulas senyum manisnya. Dia pun pergi meninggalkan mereka.
Hal itu membuat suasana di antara mereka menjadi sangat tegang. Raut wajah Ryan pun menunjukkan bahwa dia tidak suka Reyna mengusir Bianca. Kini hanya ada mereka berdua di sana.
"Kenapa kau mengusirnya?" Ryan langsung mengintrogasi Reyna setelah Bianca pergi.
Reyna merasa nyawanya baru saja meninggalkan raganya. Dia telah melakukan kesalahan besar bagi Ryan.
"Kau tau aku menyukainya. Seharusnya kau membantu aku, kan!" ucap Ryan. "Memangnya apa yang mau kau bicarakan?"
"A-aku, aku cuma mau memberitahu sesuatu," jawab Reyna terbata.
"Apa?" Ryan tampak tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Hal itu membuat Reyna jadi tidak sanggup melakukan apa yang ingin dia lakukan. Alhasil, dia melakukan apa saja yang bisa membuat Ryan tidak membencinya.
"A-aku melihat merk topi wanita terbaru di Top Shop. Kau harus membelinya, Bianca suka memakai topi belakangan ini." Reyna berhasil, membuat Ryan menghela napas lega, dan tidak jadi marah padanya.
"Jadi kau mengusirnya karena kau ingin aku memberikan kejutan untuknya?" tanya Ryan dengan wajah sumringah.
Reyna memaksa bibirnya untuk tersenyum. Kepalanya pun mengangguk meski kaku.
"Terima kasih, Rey. Aku akan segera membelinya," ucap Ryan dengan senyum tulus. "Dan maaf jika tadi aku terkesan marah padamu, aku tidak tau jika kau ingin memberinya ke--"
"Ya, tidak apa-apa. Kau tau aku sangat memperhatikan semuanya kan. Sebaiknya kau cepat memanggilnya, dan aku akan pergi sekarang. Aku harus menyelesaikan kegiatanku." Reyna pergi meninggalkan apartemen setelah memberikan senyum lebar pada pria bodoh itu.
"Tunggu, Rey." Ryan mencoba menghentikan Reyna yang sangat terburu-buru. Namun Reyna sudah membanting pintu apartemennya.
Ryan memejamkan mata, tubuhnya pun ikut terlonjak saat mendengar suara pintu yang dibanting oleh Reyna.
"Dia sangat terburu-buru," ucap Ryan yang sangat peduli.
____________
Akan update setiap hari di bulan ini, dan gratis. Jangan pergi setelah membaca, nantikan kisah mereka setiap hari.
Info seputar novel :
Ig : @taci_fey
FB : Taci Fey
Jangan sungkan untuk menyapa