Fan keluar dari toilet, dia baru saja selesai mandi. Kakinya melangkah, sedangkan tangannya mengusap-usap rambut yang basah menggunakan handuk. Dia tidak tahu harus melakukan apa setelah ini. Kemudian dia melihat Mahesa yang sedang bermain game online di kursi kerjanya.
Fan mendarat di sofa yang letaknya tak jauh dari Mahesa. "Kau tidak sekolah hari ini?"
"Tadinya aku sudah niat untuk pergi ke sekolah, tapi lima detik kemudian niatku tiba-tiba hilang." Mahesa menjawab dengan mata yang tetap fokus ke layar komputer.
"Kau lebih mementingkan game daripada pelajaran?" Tiba-tiba Fan bersikap tegas, bahkan tubuhnya sampai bangkit dari sofa. "Mau jadi apa kau saat dewasa nanti."
Mahesa menghentikan sejenak permainannya. Dia menoleh pada Fan, lalu memaku tatapan padanya. "Kenapa tiba-tiba kau bersikap seperti orang tua?"
"Benarkah, Aku terlihat seperti orang tua?" Fan kembali mendarat di sofa. Hembusan napas lolos dari bibirnya. "Aku tidak tau harus ngapain hari ini."
Mahesa kembali fokus pada permainannya. "Bukankah banyak pekerjaan yang harus kau selesaikan."
"Aku tau. Tapi aku tidak punya selera untuk menyelesaikannya hari ini."
"Kenapa?" Mahesa tidak pernah melihat Fan segelisah ini sebelumnya.
Fan belum menjawab, dia malah memejamkan mata, lalu mengatakan sesuatu yang Mahesa tidak mengerti.
"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus menemuinya hari ini."
Padahal baru kemarin dia memberi Reyna waktu untuk memikirkannya. Namun sekarang dia sudah tidak sabar dengan jawaban gadis itu.
Mahesa tidak menghiraukannya, dia tetap fokus pada permainan di komputer. Sampai akhirnya dia mencium aroma parfum yang membuat fokusnya teralihkan. Mahesa melihat Fan yang sudah berpakaian rapi dan hendak bergegas pergi. Kali ini Mahesa tidak bisa mengabaikannya. Dia sangat penasaran ke mana Fan akan pergi.
"Dia tidak pernah memakai parfum sebelumnya," ucap pemuda itu.
Mobil Fan pun melaju di jalanan, menuju ke sebuah alamat yang masih sangat dia ingat. Itu adalah rumah yang mempertemukan Fan dan Reyna pertama kali. Pekerjaan meretasnya malam itu sangat menguntungkan juga meresahkan, sebab bertemu dengan gadis yang sangat cantik. Reyna membuat Fan tidak bisa tidur semalaman, otaknya tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu.
***
Sementara itu di rumah Leena, terlihat Azalia dan Zein yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Mereka sudah menghabiskan waktu cukup lama di ibukota, dan sekarang mereka sedang berpamitan.
"Kami pamit pulang ya," ucap Azalia.
"Hati-hati di jalan. Kalau ke sini lagi jangan lupa mampir ke rumah," balas Leena.
"Iya, tenang saja." Azalia melempar senyum. Dua orang ibu itu pun saling berpelukan sebagai tanda perpisahan.
Zein menghampiri Azalia untuk mengajaknya berangkat. Tak lupa, dia juga memperingati Leena untuk berhati-hati pada setiap orang yang datang ke rumahnya. Meskipun kasus penembakan Gianna sudah terungkap, dan pelaku sudah ditangkap, tetap saja Leena harus waspada. Mereka tidak pernah tahu apa yang akan direncanakan orang-orang jahat itu, juga kapan mereka akan membalas dendam.
"Ayo berangkat." Zein merangkul pundak Azalia. Mereka sudah ingin melangkah, tetapi Zein hampir melupakan sesuatu.
"Oh, sebaiknya kau berhati-hati jika ada orang yang datang ke rumahmu. Mungkin saja pelaku penembakan putrimu punya koneksi di mana-mana," ucap Zein pada Leena.
"Oh, iya, benar, kau harus berhati-hati," tambah Azalia. Dia berkata seperti dirinya pernah berada dalam kondisi itu.
"Tentu saja, aku akan berhati-hati," balas Leena.
"Kau juga." Entah mengapa tiba-tiba Zein memperingati istrinya juga. Mereka tertawa kecil sebelum mengakhiri perpisahan itu.
"Daaah." Leena melambaikan tangan ketika melihat mobil besannya melaju meninggalkan halaman. Dia pun kembali menutup pintu dan masuk ke rumah.
***
Beralih pada Fan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup padat, akhirnya Fan tiba di rumah Leena. Dia berharap Reyna yang akan membukakan pintu.
"Oke, aku harus terlihat biasa saja." Fan berdehem kecil. Dia mulai mengetuk pintu.
Di dalam rumah, Leena yang sedang menonton TV mendengar suara pintu rumahnya yang diketuk. Dia terlihat agak khawatir. Dia pun teringat ucapan Zein dan Azalia beberapa menit yang lalu.
"Siapa itu?" Leena bergumam sendirian. "Penjahat?"
Leena mengambil salah satu sandal rumah dan menyimpannya di genggaman. Dia berjalan mengendap-endap menuju pintu. Leena sungguh berpikir bahwa yang berada di depan rumahnya adalah seorang penjahat.
Sementara itu di depan, Fan tampak gugup, dia pun berputar untuk memunggungi pintu rumah Leena. Dia sedang mencoba untuk terlihat biasa saja. Namun sial, Leena yang sedang mengintip melalui jendela melihat gerak-gerik Fan yang tampak sangat mencurigakan.
Perlahan, Leena membuka pintu rumahnya tanpa sepengetahuan Fan.
Sementara Fan terdengar baru saja menghembuskan napas. "Baiklah, aku bisa mengatasinya."
Leena mendelik tertegun setelah mendengar suara Fan, dia sangat yakin bahwa pria itu adalah penjahat. Langsung saja, saat Fan memutar tubuhnya, dengan brutal Leena memukuli pria itu dengan sandal di tangannya.
"Pergi kau dasar pengintai! Aku tau kau anak buah Devin!" seru Leena.
"Aw! Apa? Hei, berhenti." Fan mencoba menghentikan wanita itu. Namun tindakannya itu justru tambah menyebabkan masalah.
"Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku! Tolong! Ada pencuri di rumahku, tolong!" pekik Leena.
"A-apa? Hei, aku bukan pencuri." Fan protes.
"Tolong!"
"Hentikan."
"Pergi dari rumahku!"
"Baiklah, baiklah, aku pergi." Tak mau dipukul dan diteriaki pencuri, akhirnya Fan pun memutuskan untuk lari.
***
"Hha."
Fan menghembuskan napas panjang sebab tidak berhasil menemui Reyna, dan malah mendapatkan pukulan serta teriakan dari ibu-ibu.
Sekarang dia sudah berada di sebuah toko kopi di pusat hiburan taman kota. Fan duduk di kursi yang tersedia di depan toko. Sambil melihat orang-orang yang lalu lalang, dia menyesali kebodohannya.
"Apa aku terlihat bodoh sekarang? Kenapa aku tidak langsung menghubunginya, bukankah aku punya nomor hpnya!" Dia bahkan memarahi dirinya sendiri.
Di tempat yang tidak terlalu jauh, Reyna melangkah dengan perasaan kesal. Dia tidak akan menangis, tidak akan! Sejak tadi otaknya memerintahkan hal itu. Padahal sudah jelas bahwa hatinya sedang remuk dan hancur.
"Memangnya aku siapa? Temannya, teman baiknya!" Reyna menendang lantai paving di bawah kakinya, marah.
"Kenapa aku bodoh sekali!" Dia terlihat sangat bingsal, persis seperti gadis yang patah hati tetapi tidak mau mengakuinya dengan berpura-pura tegar. Maka dari itu dia marah.
Reyna mendarat di bangku taman lalu melipat kedua tangannya, dia masih terlihat marah. Sampai akhirnya dia tidak kuat lagi menahan nyeri di d**a. Gadis itu menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Sementara itu dari tempatnya minum kopi, Fan melihat seorang gadis yang tampak sangat kesal duduk di bangku taman. Dia sangat yakin itu Reyna, dia pun menghampirinya. Ketika dia tiba di depan gadis itu, samar-samar Fan mendengar suara isakan. Namun Fan tidak dapat memastikan apakah gadis itu benar-benar menangis, dia tidak bisa melihat wajahnya sebab Reyna menunduk sambil menutup wajah.
Reyna bertahan dalam posisi itu cukup lama. Dia tidak sadar jika sedang menangis. Dia juga tidak sadar jika di depannya sudah ada seorang pria yang sedang membungkuk sambil memiringkan kepala untuk mengintip wajahnya.
Sampai akhirnya Reyna mendongak hendak menghirup oksigen dalam-dalam agar hatinya lega. Namun bukannya lega, dia malah tambah syok sebab melihat wajah Fan berada di depannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu.
"Aaa!" Reyna berteriak dan reflek menampar wajah pria itu.
"Aw." Fan tertampar mundur.
"Apa yang kau lakukan sejak tadi!" protes Reyna. Dia sangat kaget, bahkan sekarang posisinya sudah tidak lagi duduk. Dia berdiri menghadapi Fan.
"Sudah berapa kali aku dipukul hari ini." Fan memegangi pipinya yang memerah.
Sedangkan Reyna tidak tahu harus bertingkah seperti apa. Dia tidak suka orang lain melihatnya menangis karena patah hati. Reyna sangat membenci kondisi seperti ini.
"Kau membuntutiku lagi!" tuduh Reyna spontan. Raut wajahnya terlihat sangat marah. Fan dapat melihatnya sendiri.
"Tidak." Fan menggeleng jujur.
"Bohong!" Reyna tidak percaya pada wajah polosnya.
"Sungguh, aku tidak membuntutimu hari ini," ucap Fan. Mereka terpaku sejenak.
"Tapi sepertinya aku tau apa yang terjadi padamu," sambung Fan.
Reyna membuang pandangan dari pria itu. Perasaan sedih, marah, kesal, kecewa, semua berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Dia tidak bisa mengendalikan diri.
"Kau sedang menangis patah hati?" tebak Fan, bermaksud untuk bercanda. Namun hal itu malah membuat Reyna tambah marah dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.
"Rey." Fan mencoba menghentikan gadis itu, tapi tidak bisa. Alhasil dia pun mengikuti dan berjalan di sebelahnya.
Setelah melihat kembali wajah Reyna, Fan pun yakin bahwa tebakannya tadi benar. Kini dia mencoba untuk menghibur gadis itu.
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Semua orang pernah patah hati," ucap Fan.
"Kau tidak sendirian. Sepertinya aku pun sedang menunggu untuk patah hati. Haha." Fan mencoba cara apapun untuk membuat gadis itu tertawa. Namun Reyna tidak menanggapinya, dia sedang menahan diri untuk tidak marah.
"Kau mengerti maksudku bukan?" tanya Fan, sebuah permainan kata yang merujuk pada suatu masalah, sebenarnya Fan sedang mengingatkan Reyna tentang jawaban atas ajakan menikahnya kemarin.
Reyna masih berusaha untuk menahan ledakan amarahnya. Fan membahas tentang masalah itu di waktu yang tidak tepat bagi Reyna. Bagaimana mungkin dia bisa menanggapinya dengan baik.
"Jadi … kau akan menerimanya … atau menolaknya?" tanya Fan ragu.
Karena sudah tidak tahan lagi, Reyna pun menghentikan langkah, membuat Fan ikut berhenti di sampingnya.
"Apa kau tidak mengerti kondisiku saat ini?" Reyna bertanya dengan nada penuh penekanan.
Namun Fan malah menjawabnya dengan nada menyenangkan. "Ya, tentu saja aku mengerti, maka dari itu aku mengingatkanmu."
Reyna menahan otaknya yang ingin meledak. Seluruh wajahnya sudah memerah sebab api yang berkobar di dadanya.
"Aku akan menikahimu besok. Kau mau mahar apa? Aku akan menyiapkannya dari sekarang." Fan bertanya tanpa mempedulikan ekspresi Reyna yang sudah tidak karuan sebab mendengar ucapannya.
Sumpah demi *s**u monyet* Reyna ingin meneriaki pria itu sekarang juga.
"Di mana kau menaruh otakmu! Apa kau tidak sadar, aku tidak suka padamu! Aku sangat tidak suka bertemu denganmu! Bahkan aku tidak suka kau berjalan di sampingku! Pikirkan saja mahar yang akan kau beli untuk nenekmu! Seharusnya aku tidak pernah bertemu dan membuat kesepakatan denganmu! Aaargh! Pergi jauh-jauh dariku dan jangan pernah kembali! Aku tidak akan menikah dengan siapa pun!"
Bayangan itu hilang seketika. Reyna membuka kedua matanya dan mengembalikan pikirannya.
"Gila!" Hanya itu yang bisa Reyna katakan sekarang. Dia melangkah lebih cepat untuk meninggalkan Fan.
"Rey," panggil Fan, tapi tidak mendapat respon.
"Lihat saja, besok aku akan datang ke rumahmu dan melamarmu!" teriak pria itu sebelum melihat Reyna berlari.
Dari kejauhan, Reyna yang mendengar suara Fan pun langsung menggeram kesal. "Aarrghh!"
Fan menggaruk kepalanya. Dia kebingungan sekarang, perkataannya sedikit berlawanan dengan keberanian yang dia miliki. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membujuk Mr. Alessandro?"
"Hha." Pria itu menghela napas panjang.
Semuanya Fan lakukan semata-mata hanya untuk menghibur Reyna. Meski tak berhasil membuat gadis itu tersenyum, setidaknya Fan lega karena telah berusaha. Kini raut wajahnya berubah menjadi sendu.
Apa yang terjadi?
Sebenarnya, Fan sudah tahu jika sejak tadi Reyna sangat kesal padanya, dan mungkin membencinya. Fan dapat mengetahui isi hati seseorang hanya dengan melihat ekspresi dan bagaimana caranya menatap. Sekarang Fan menjadi sangat ragu dengan jawaban Reyna.
"Mungkin dia memang tidak menyukaiku," ucap Fan.
Dia meninggalkan tempatnya dan segera pulang ke rumah. Dalam langkah yang sedikit rapuh itu, Fan masih menyempatkan diri untuk menghirup aroma parfum di bajunya, memastikan bahwa sejak tadi hidung Reyna tidak menderita karena bau tak sedap.
Padahal sejak tadi hidung Reyna tersumbat karena tangis.
Sebuah bus menepi di hadapan Reyna. Sebelum naik dan masuk ke dalam bus, gadis itu mengusap wajah dan hidungnya.
______________
Aku harap pesan-pesan tersirat maupun tersurat yang terkandung dalam bab ini dapat tersampaikan dengan baik.
Begitulah nasib orang yang mencintai tanpa dicintai. Info update seputar novel ada di :
Ig : @taci_fey
FB : Taci Fey