6. Proses Mencintai

2063 Kata
Sulit dipercaya bahwa tadi dirinya benar-benar menangis. Reyna tidak pernah sedramatis ini sebelumnya, dan hal yang dia lakukan pada Ryan tadi bukan pertama kali baginya. Dia sudah sering membantu Ryan untuk mendapatkan perhatian Bianca, dan Reyna selalu berharap setiap kali Ryan tidak berhasil mendapatkannya. Namun hari ini tampaknya Reyna sudah bosan. Bus berhenti di halte tak jauh dari Apartemen Gongsan. Reyna turun, lalu melangkah dengan banyak pikiran, menuju ke apartemen kakaknya yang dia tinggali. Kejadian hari ini membuat Reyna tidak semangat lagi menunggu pengumuman beasiswanya. Gadis itu menutup pintu apartemen setelah tiba di dalam. Ada Gianna yang sedang menonton TV sendirian di sofa. Namun Reyna tidak tertarik untuk menghampiri, bahkan menoleh pun tidak dia lakukan. Dia langsung menuju ke kamar dengan tubuh lesu. "Kau sudah pulang, kenapa cepat sekali?" Pertanyaan dari kakak iparnya pun tak dia jawab. Reyna ingin tidur saja sepanjang hari ini. Melihat raut wajah dan gestur tubuh adik iparnya, membuat Gianna berpikir bahwa hal itu telah terjadi. Apa yang dia katakan tadi pagi menjadi kenyataan, Reyna benar-benar menangis saat pulang. Gianna menegakkan tubuh untuk menoleh pada Reyna yang terus melangkah. "Apa dia membuatmu menangis?" Tetap tidak ada jawaban dari gadis yang sedang dilanda kegelisahan itu. Suara pintu kamar yang ditutup menjadi bukti dari kondisi hatinya yang sedang berkecamuk. "Hha." Reyna menghembuskan napas berat. "Aku akan pulang besok." Dia sudah memutuskan. Reyna akan kembali berkuliah di kampus lamanya, dan meninggalkan ibukota. Dia pun membereskan semua barang-barangnya. Alasannya berada di ibukota adalah Ryan. Dia ingin berkuliah di ibukota agar bisa bertemu Ryan setiap hari. Dia rela mengambil cuti di kampus lamanya agar bisa mendaftar beasiswa di kampus yang ada di ibukota. Semua itu dia lakukan semata-mata hanya untuk Ryan. Sekarang dia sudah menyerah, dia tidak akan melakukannya lagi. Reyna meraih ponselnya, lalu mencari kontak yang harus dia hubungi. Papa. Suara tunggu panggilan terdengar beberapa kali sampai akhirnya seseorang di seberang telepon menjawab. "Halo." "Pa, aku akan pulang besok." "Besok?" Suara Zein terdengar sedikit meninggi. "Jadi Papa harus kembali lagi ke ibukota besok? Kenapa tidak bilang lebih awal, Papa sama mama baru saja pulang dari sana, dan sekarang masih di jalan." Reyna menghembuskan napas panjang. Dia mendengar suara papanya yang tampak kesal. Mungkin dia bisa menganggapnya wajar. Dia membuat orang tuanya kesusahan. "Oke … oke, aku akan pulang sendiri." Tut. Reyna menutup panggilannya. Dia tidak sedang marah, suaranya juga tidak meninggi sedikit pun. Sejak tadi dia bicara seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup. Sementara itu di seberang telepon, tepatnya di dalam mobil yang sedang melaju. Zein menyadari panggilannya yang diputus. "Halo, Reyna, hei." Pria itu menghela, lantas menaruh kembali ponselnya di dashboard. Azalia yang semula tertidur pun terbangun sebab mendengar suara suaminya. "Kenapa, Mas?" tanyanya. Zein melirik istrinya yang entah sejak kapan sudah bangun. "Tidak apa-apa," jawabnya. "Reyna yang menelpon? Kenapa?" tanya Azalia lagi. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapat jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan. "Dia mau pulang besok." Akhirnya Zein mengalah dan memberitahu istrinya. "Berarti besok Mas Zein harus kembali lagi ke ibukota," ucap Azalia yang tidak ingin anak gadisnya pulang sendirian. "Hhaa." Zein menghela napas panjang. "Menjadi seorang papa tidak semudah kelihatannya." Azalia terkekeh dengan mata terpejam, dia sudah ingin melanjutkan tidur siangnya, tetapi suaminya itu malah membuat lelucon yang mengingatkannya pada masa lalu di mana Zein tidak ingin memiliki anak. "Mas Zein mau aku yang menjemputnya sendiri?" "Tidak. Baiklah, kau di rumah saja besok." "Tidak masalah. Aku akan menunggu suamiku pulang dari menjemput anak gadisku. Hhee." Azalia memejamkan matanya dan kembali tidur. *** Di jalanan yang lengang, Fan memacu kecepatan mobilnya. Dia kecewa dengan hari ini, dan dia kecewa dengan kebodohannya. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta? Mereka bisa melakukan apa saja, tidak peduli bahkan saat harus terlihat bodoh. Fan menginjak pedal gas mobilnya, menambah kecepatan untuk melupakan kebodohan hari ini. Kemudian, tiba-tiba saja seorang pria berlari hendak menyebrang di depannya. Beruntung Fan masih fokus sehingga dia bisa langsung menginjak rem dan menghentikan laju kendaraan. Pria itu tampak gusar mencari tumpangan. Di bahunya tersampir sebuah tas hitam yang cukup besar. Fan melihatnya kebingungan. Entah apa yang membuat pria itu tampak sangat terburu-buru, lalu mengetuk-ngetuk kaca jendela mobilnya. "Hei, bisa beri aku tumpangan. Aku akan membayarmu. Ini sangat penting." Pria itu mendekatkan wajah ke kaca mobil untuk melihat ke dalam. Fan semakin bingung. Dia tidak tahu apakah pria itu orang jahat yang sedang dikejar-kejar warga karena telah mencuri, atau orang baik yang sedang menyelamatkan harta bendanya dari pencuri. Fan melihat pria itu sangat terdesak. "Kau dengar aku? Aku penumpang yang baik. Aku akan membayarmu. Aku tidak sempat lagi untuk mencari taksi." Pria itu tidak berhenti mengetuk-ngetuk kaca mobil Fan, bahkan sesekali dia memukul kacanya karena panik. Yah, meski memang mobil Fan bukanlah mobil mewah yang biasa ditumpangi oleh orang-orang bergengsi, tetapi tetap saja Fan tidak mau mobil peninggalan ayahnya ini lecet, apalagi rusak. Maka dari itu dia membuka kunci mobilnya untuk pria itu. Pria di luar menyadari bahwa pintunya sudah bisa dibuka. Dia pun masuk dan mengucapkan, "Terima kasih." Kemudian, beberapa orang berpakaian hitam-hitam tiba di dekat mobil Fan. Pria itu terkejut dan menyuruh Fan untuk segera menjalankan mobilnya. "Ayo jalan, cepat!" Fan tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mengapa dia mengizinkan pria itu masuk ke mobilnya, juga mengapa dia menuruti perintah pria itu untuk jalan. Mobil yang dikendarai oleh Fan pun kembali melaju dengan kecepatan tinggi, membuat orang-orang itu tertinggal. "Apa-apaan ini. Kejar mobil itu!" seru salah satu dari orang-orang yang tertinggal di belakang. Di dalam mobil, sesekali Fan menoleh ke arah pria itu untuk memastikan bahwa dia tidak akan melakukan apa-apa. Dia pun bertanya padanya, "Siapa kau? Dan mengapa orang-orang itu mengejarmu?" "Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk berkenalan, tapi baiklah aku akan memperkenalkan diri. Aku Jamie Foxx, 30 tahun, aku memiliki keahlian untuk menghipnotis seseorang, dan mereka yang mengejar tadi adalah orang yang mencuri barang milikku." "Menghipnotis?" Fan tertegun. "Jadi tadi kau menghipnotisku agar aku membuka kunci mobilnya?" tudingnya berdasarkan data perkenalan pria itu. "Tidak, yang benar saja, aku tidak bisa menghipnotis orang jika terdesak," ungkap Jamie. Fan menghela napas khawatir. Dia tidak bisa mempercayai pria di sampingnya ini begitu saja. "Tenang saja, aku tidak akan berbuat macam-macam padamu," ucap Jamie sebab melihat Fan tampak khawatir. Mendengar ucapan itu keluar dari mulut seorang pria, membuat Fan merasa geli, sangat geli. "Di mana aku bisa menurunkanmu?" kata Fan tak mau berbasa-basi. "Aku tau ini sangat tidak masuk akal. Tapi, apa kau bisa memberiku tempat tinggal." Fan terkejut untuk kedua kalinya. "Dengar, dengar dulu. Sebagai gantinya aku akan menawarkan kerjasama denganmu." "Kerja sama apa?" tanya Fan. "Tapi sebelum itu aku harus tau apa pekerjaanmu. Bagaimana caramu mendapatkan uang?" "Apa maksudmu! Aku tidak butuh kerja sama denganmu." "Eh, tunggu dulu, tuan yang belum memperkenalkan diri. Aku melihat dari mobil lamamu ini, aku tau kau membutuhkan uang," ucap Jamie, menilai keuangan Fan berdasarkan mobil yang dikendarai pria itu. Fan tidak menatap pria di sebelahnya setelah tahu bahwa pria itu bisa menghipnotis. Dia fokus pada jalanan di depan. "Kau tau keahlianku sangat berguna dalam bidang apapun bukan?" ucap Jamie. Dia sedang mencoba untuk membuat Fan yakin. "Aku bisa menghasilkan uang tanpa keahlianmu," kata Fan. "Tapi kau bisa menghasilkan lebih banyak uang dengan keahlianku." Jamie Foxx tidak akan menyerah untuk berbisnis. Fan diam dan berpikir. "Pikirkan baik-baik, kau tidak akan pernah mendapat kesempatan kedua," ucap Jamie. Fan masih diam dan berpikir. "Bayangkan jika kau memiliki banyak uang, kau bisa menikahi setiap gadis yang kau inginkan." Jamie tidak berhenti menghasut pria itu. Sampai akhirnya Fan menyadari sesuatu. Dia menoleh dan menatap Jamie penuh selidik. "Kau sedang menghipnotisku!" Jamie tertegun. "Orang yang dihipnotis tidak akan menatap dan berkata seperti itu." Fan kembali fokus pada jalan di depannya. Dia berpikir, ada banyak hal yang ingin dia lakukan, khususnya bersama Reyna jika dia berhasil menikahinya. Namun Fan tidak tahu apakah dia bisa membuat gadis itu bahagia dengannya atau tidak. Fan tidak memiliki apa-apa selain cinta. "Dia tidak bisa dihipnotis." Jamie bergumam setelah gagal membuat Fan berada dalam pengaruhnya. Menit berikutnya, Fan setuju untuk bekerja sama dengan Jamie. "Aku akan bekerjasama denganmu." "Kau serius?" Jamie lebih terkejut karena Fan menyetujuinya tanpa harus dipengaruhi. "Ada satu lagi yang akan bergabung," ucap Fan setelah mengingat Mahesa. "Oke sekarang kita lewat sini." Jamie menunjuk jalan yang menuju ke pemukiman warga. "Rumahku bukan ke arah sini," ucap Fan. "Pertama kita harus menghilangkan jejak lebih dulu dari anak-anak yang mengejarku." Jamie tidak lupa jika mereka sedang dikejar. Tak sempat berpikir, Fan pun langsung mengikuti arah yang ditunjuk Jamie. Benar saja, mereka berhasil kabur dari orang-orang yang mengejar di belakang. Dari spion Fan melihat orang-orang yang mengejar itu mengambil jalan lurus. Mereka tiba di rumah sederhana milik Fan. Dia memperkenalkan Jamie dengan Mahesa. "Dia Mahesa, dia akan mengabdi padaku seperti dia mengabdi pada tanah air negeri," ucap Fan. "Siapa dia?" Mahesa menunjuk Jamie. "Jamie." "Kita akan mencari lebih banyak uang mulai besok," ucap Fan. "Uang? Aku juga ikut?" Mahesa menunjuk diri sendiri tak percaya. "Memangnya kau tidak mau uang?" Jamie hendak menghipnotisnya. "Tentu saja mau," jawab Mahesa tanpa harus berpikir panjang. Jamie tidak percaya, mudah sekali mengajak anak SMA untuk bergabung. Sementara Fan tertawa. "Dia butuh uang, kau tidak perlu susah-susah menghipnotisnya untuk bergabung." "Jadi dia bisa menghipnotis," ucap Mahesa. "Hei, aku belum tau siapa namamu," ucap Jamie pada Fan yang hendak masuk ke ruangan. "Jangan panggil aku Fan di tempat umum. Nama asliku Savean," ucap Fan memperingati. Kalau tidak sesuatu yang buruk akan terjadi. Akan banyak orang yang mengetahui sosok aslinya, dan mereka akan menjadi Mahesa yang seterusnya. Dulu Mahesa memohon pada Fan untuk diajari karena dia tahu nama Fan adalah peretas terkenal di jaringan komputer. Mahesa beruntung sebab menjual laptopnya hingga akhirnya bertemu dengan Fan. "Jadi kau penerus dari peretas terkenal bernama Fin itu?" Jamie tampak terkejut. "Dia ayahku," jawab Fan. "Aku sudah menebaknya. Sekarang dimana ayahmu?" tanya Jamie. Fan tidak menjawab, dan Jamie akan tau sebentar lagi. "Suut." Mahesa memperingatinya agar tidak bertanya lagi. Dia memberi isyarat pada Jamie bahwa ayah Fan sudah lama meninggal dunia. Mood Fan akan hancur jika seseorang bertanya tentang ayahnya. "Oke aku mengerti." Jamie pun menutup mulut. Di kamarnya, Fan memandangi sebuah foto berukuran 4x3. Foto itu menampilkan gambar ayahnya. Dia sangat merindukan pria itu. Mulai besok Fan akan menghasilkan uang dengan caranya sendiri. "Aku yakin ayah juga pernah melakukan hal ini. Ayah juga harus tau, aku sedang mencintai seorang gadis, dan aku akan mencari uang untuk menikahinya," ucap Fan. Jamie, Fan, dan Mahesa pun mulai membuat rencana malam itu. Mereka akan beraksi besok malam. *** Di apartemen, Reyna benar-benar tidak keluar lagi dari kamar. Azzima yang sedang makan malam bersama Gianna pun bertanya, "Reyna akan pulang malam lagi hari ini?" "Tidak, dia ada di kamarnya. Dia sudah pulang sejak siang." "Dia tidak keluar dari kamar sejak tadi?" "Aku akan memanggilnya." Gianna bergegas ke kamar adik iparnya untuk mengajak gadis itu makan. Di kamar, Reyna merasakan ponselnya bergetar. Dia membuka mata dan mencari keberadaan ponsel itu. Mata kantuknya samar-samar membaca nama orang yang menelepon. Ryan. "Sekarang apa?" Reyna tampak tak semangat menjawabnya. "Halo." "Kenapa menelponku tengah malam seperti ini?" tanya Reyna. "Aku pikir ini belum tengah malam. Apa kau tidur sejak sore?" Reyna melihat jam, ternyata masih pukul tujuh malam. Gadis itu menghela. Dia benar-benar tidur seharian. "Kau mau apa?" tanya Reyna. "Em, aku tidak sempat mengobrol denganmu tadi siang, kau sangat terburu-buru. Jadi, aku ingin mengajakmu bertemu besok. Kau ada waktu? Sudah lama juga tidak mengobrol denganmu di luar." Mendengar nada suara Ryan yang merasa bersalah, membuat Reyna sedikit membuka kembali hatinya. "Bertemu besok?" tanya Reyna memastikan. "Iya, aku akan menjemputmu." Entah ada apa dengan suara Ryan, suara itu membuat Reyna melupakan kesedihannya hari ini. Begitu cepat dia memaafkan kesalahan orang yang dia cintai, yang padahal sangat menyakiti hatinya. "Kau ada waktu kan?" tanya Ryan. "Ya, ada." "Oke, aku akan menjemputmu jam sembilan pagi. Sampai jumpa besok." Tut. "Yes! Aku harap dia menyadari bahwa Bianca tidak akan pernah mencintainya!" Reyna tampak bersemangat dengan wajah bangun tidurnya. Gadis itu membuka pintu kamar dengan antusias, membuat Gianna yang ingin menghampirinya terkejut. Tidak ia sangka Reyna akan pulih secepat itu. "Yeay!" seru Reyna. "Baguslah kalau dia sudah tidak menangis," ucap Gianna. ______________ Mencintai seseorang yang mencintai orang lain adalah takdir yang memilukan, tapi kau akan sangat bahagia jika pada akhirnya dia juga mencintaimu. (Reyna Alessandro) Novel ini adalah spin off dari novel Cinta Satu Atap, dan sekuel kedua dari Novel Azalia Istri Seorang Mafia. Jangan lupa follow akunku dan tap love.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN