Cermin bening di depan seorang gadis menampilkan pantulan rupa yang sangat cantik. Reyna sudah siap. Dia tinggal menunggu Ryan menjemputnya.
Gadis itu tidak berhenti menatap ke arah cermin untuk memastikan penampilannya sempurna. Ada banyak harapan tersimpan dalam hatinya. Senyumnya juga menunjukkan bahwa dia sangat berharap.
Tepat pukul sembilan pagi, ponsel Reyna bergetar, menerima pesan masuk dari seorang pria yang sejak tadi dia tunggu.
|Aku sudah tiba di depan lobi apartemen, kau bisa turun sekarang?| Ryan.
Tak ingin membuat pria itu menunggu, Reyna segera membalas pesannya, lalu bergegas meninggalkan kamar.
|Oke.| Send
Reyna melewati ruang tengah dengan wajah ceria penuh semangat. Kemudian dia bertemu dengan kakaknya. Segera Reyna menyembunyikan senyumnya. Gadis itu terpaksa menghentikan langkah karena terhalang oleh Azzima.
"Bukankah kau ingin pulang hari ini?" tanya Azzima yang melihat adiknya itu tidak membawa barang apa pun selain tas kecil yang hanya bisa diisi oleh ponsel dan dompet.
"Oh, Kak Zima tau dari siapa aku mau pulang hari ini?"
"Papa," jawab Azzima.
Reyna menghisap udara dengan giginya. Dia bingung harus menjawab apa. Sebenarnya juga saat ini dia sedang khawatir jika Azzima mengetahui bahwa dirinya akan pergi bersama Ryan.
"Em, sebenarnya aku masih ada urusan. Sepertinya aku tidak jadi pulang hari ini," jawab Reyna.
Azzima menatap adiknya itu penuh selidik. Sorot tajamnya menembus pupil mata Reyna, menggali dalam-dalam, mencari tahu sesuatu yang tersembunyi di balik senyum kakunya. Kemudian tatapan Azzima turun ke sepatu yang dikenakan Reyna. Dahinya berkerut, Azzima sangat yakin pernah melihat sepatu itu.
"Itu sepatumu?"
Reyna menunduk untuk melihat sepatunya. Dia bingung. Menurutnya tidak ada yang salah dengan sepatu yang dia kenakan.
"Memangnya kenapa?" Reyna jadi merasa ada yang tidak beres dengan sepatunya. Dia pun mengeceknya.
"Aku seperti pernah melihatnya," kata Azzima.
"Tentu saja kau pernah melihatnya. Kau yang membelikannya," ucap Reyna dengan bibir maju. Entah apa yang diinginkan kakaknya itu.
"Aku sedang buru-buru, aku berangkat," kata Reyna sambil melangkah meninggalkan kakaknya, menuju pintu keluar.
Azzima menoleh, matanya mengikuti ke mana arah kaki Reyna melangkah. Dia masih terfokus pada sepatu yang dikenakan adiknya itu. Sampai akhirnya dia ingat, sepatu itu sama persis dengan sepatu yang dikenakan oleh gadis yang kemarin dikejar-kejar oleh security kampus.
Kini Azzima yakin bahwa gadis yang kemarin itu benar-benar adiknya. "Seharusnya aku sudah tau sejak kemarin." Dia bergumam.
"Reyna." Azzima memanggilnya, tetapi adiknya itu sudah terlanjur keluar dan menutup pintu apartemen.
***
Reyna segera turun menggunakan lift. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu Ryan. Ketika tiba di lobi, dia melihat mobil pria itu sudah menunggu di depan. Reyna tersenyum dan segera melangkah.
"Hai," sapanya dengan senyum hangat ketika Ryan membuka kaca mobil.
"Masuklah." Ryan membalas senyumnya.
Reyna pun memutari mobil untuk masuk ke bangku di samping kemudi, dan mobil pun mulai melaju. Selama perjalanan yang singkat itu, Reyna hanya diam, tidak tahu mengapa dia sangat gugup untuk berbicara. Padahal ini kesempatannya untuk memberitahu Ryan tentang beasiswa yang dia ambil.
"Aku ingin mengajakmu makan di restoran ayam, sekaligus neraktir karena kau sudah membantuku kemarin." Ryan menyempatkan diri untuk menoleh pada Reyna.
"Oh, benarkah? Aku tidak merasa sangat membantu," jawab Reyna.
"Tentu saja kau sangat membantu. Selama ini aku selalu meminta tolong padamu karena kau cukup dekat dengan Bianca," ucap Ryan.
Reyna tidak menjawab, hanya tersenyum kecil, dan senyuman itu pun tampak terpaksa jika dilihat dengan detail. Beruntung Ryan sedang mengemudi, jadi pria itu tidak menyadarinya.
Memangnya apa yang dia sadari? Selama ini pun dia tidak sadar jika sebenarnya Bianca dekat dengan Reyna hanya karena wanita itu ingin Reyna menyampaikan pesan-pesannya pada Azzima. Sejak mereka berada di kampus yang sama, Bianca tidak pernah absen meminta pada Reyna untuk menyampaikan salamnya. Bodohnya Ryan tidak menyadari hal itu.
"Em, aku ingin mengatakan sesuatu." Reyna mulai membuka percakapan.
"Katakan saja."
"Tapi sebelumnya, aku ingin kau berjanji tidak mengubah apa pun di antara kita."
Ryan bergeming sejenak. "Apa itu masalah yang sangat serius?"
"Yaa, sedikit lebih serius." Reyna berusaha untuk tersenyum hangat.
"Baiklah, tapi, apa kau bisa menahannya sebentar. Aku harus menelpon Bianca."
Senyum Reyna itu masih bertahan sampai akhirnya pudar perlahan. "Kau mengajaknya juga?"
"Kau tidak keberatan kan?"
Beruntung Reyna masih bisa mengondisikan senyum dan raut wajahnya. Sudah terlanjur, dia tidak bisa membatalkan pertemuan ini begitu saja. Akan sangat ambigu jika Reyna melakukannya setelah mendengar Ryan akan mengajak Bianca. Dia tidak bisa menolak untuk pergi. Sekarang dia harus kembali berpura-pura di depan pria itu.
"Ya, tentu saja tidak. Hehe," jawab Reyna.
Ryan pun menelepon Bianca dan memberitahu wanita itu bahwa mereka sudah dekat. Kemudian mobil berhenti, Ryan menyudahi teleponnya. Lalu ….
"Oh, iya, Rey. Kau bisa pindah duduk di belakang kan?"
Meski itu terdengar sangat menyakitkan, tapi Reyna menekan perasaan itu dengan senyum tawanya.
"Kenapa tidak?" Gadis itu tersenyum santai sambil mengangkat kedua bahu, menunjukkan perasaan biasa saja pada Ryan.
Reyna segera keluar dan duduk di jok tengah, sendirian. Bianca tiba tak lama kemudian. Wanita itu masuk ke mobil dan menyapa.
"Hai. Apa aku terlalu lama?"
"Tidak, kami baru saja sampai," jawab Ryan.
Sepanjang perjalanan, sesekali Reyna mendapat tatapan aneh dari Bianca. Sungguh dia tahu tatapan apa itu. Reyna memutar bola matanya, memainkan ponsel, berpura-pura tidak melihat ke arah mereka.
Bianca sedang mempermainkannya. Entah sejak kapan wanita itu memiliki rencana seperti ini. Seharusnya Reyna tidak menunjukkan perasaannya terhadap Ryan.
Mereka mengobrol selama perjalanan. Namun Reyna tidak. Dia sedikit menyesal karena tidak membawa headphone. Sebelumnya Reyna tidak berpikir akan menjadi obat nyamuk di sini.
Gadis itu melihat ke luar jendela. Dia sengaja melakukannya. Reyna tidak ingin menyakiti hatinya dengan sengaja.
"Maaf aku melakukannya lagi." Reyna bergumam lirih dalam hati.
Dia meminta maaf pada sang hati di dalam raganya. Namun otaknya tampak sombong, organ itu sangat enggan untuk meminta maaf pada sang hati karena merasa dia bisa membuat Ryan jatuh cinta dengan caranya. Reyna mengetuk kepalanya, memarahi organ penting yang berada di dalam sana.
"Cepat minta maaf padanya!" titah Reyna pada otaknya.
Tanpa disadari, barusan gadis itu berkata dengan mulut, membuat dua orang yang duduk di jok depan mobil dapat mendengar suaranya.
Ryan melihat ke jok belakang melalui spion tengah. "Kenapa, Rey?" tanyanya peduli.
"Oh?" Reyna terperanjat.
Bianca yang mendengar suara Reyna pun segera menoleh ke belakang untuk melihat kondisi gadis itu.
"Memangnya aku bilang apa tadi?" Reyna sendiri tidak ingat dengan ucapannya barusan. Hal itu disebabkan sejak tadi dirinya bertengkar dengan hati dan logika.
Ryan tertawa, terdengar lucu sekali bagi Reyna. "Kau menyuruh seseorang untuk meminta maaf." Pria itu memberitahu Reyna apa yang tadi dia katakan.
"Oh." Reyna berpikir cepat untuk mencari alasan. Kemudian dia melihat Bianca yang menatapnya penuh penantian. Tiba-tiba saja sebuah ide melintas di benaknya.
"Aku harus meminta maaf pada kakakku," jawab Reyna.
"Kau berbuat salah padanya?" tanya Ryan lagi.
"Ya, aku berbuat salah. Dulu aku membujuknya agar tidak menikah dengan Kak Gianna. Tapi sekarang aku sadar bahwa Kak Gianna kakak yang baik. Sangat berbeda dari wanita yang sudah lama aku kenal. Untung saja kakak ku tidak menikah dengan wanita itu." Reyna memancarkan senyum smirk setelah sekilas menatap Bianca.
Kini tampak jelas raut geram di wajah Bianca. Dia kembali menghadap ke depan. Sementara Ryan tetap fokus mengemudi, lagipula dia tidak tahu tentang sircle sesungguhnya yang terjadi di antara mereka.
Meskipun kenyataan itu tidak berefek banyak terhadapnya, tetapi setidaknya Reyna merasa puas karena telah berhasil membuat Bianca terdiam. Dia merayakan kejeniusannya ini dengan melipat kedua tangan di depan perut. Juga dengan senyum smirk yang dia miliki.
***
Di pusat hiburan taman kota, Fan terlihat sedang duduk dan minum kopi di bangku taman yang kemarin Reyna duduki. Apa yang dia lakukan di sana? Meminjam WiFi toko kopi? Bisa jadi. Namun sebenarnya bukan itu masalah utamanya.
Entahlah, dia tidak tahu Reyna ada di mana saat ini, dan dia hanya bisa berharap bertemu Reyna lagi di taman ini.
Fan melihat ponselnya, tepatnya ke kolom chat gadis berinisial RA. Kemudian, dia menyadari sesuatu. Kenapa dia bodoh sekali? Kenapa dia tidak langsung melacak lokasi dengan nomor telepon gadis itu.
"Ah! Seharusnya aku memikirkan hal ini sejak kemarin!" Fan merutuki dirinya yang menjadi lemah dan bodoh sepanjang hari karena cinta.
Tanpa berlama-lama lagi, Fan pun segera mengutak-atik ponselnya, membuka sistem pelacak lalu menyambungkannya dengan perangkat yang dia miliki, juga perangkat yang dia tuju. Tak butuh waktu lama, Fan berhasil mendapatkan lokasinya dengan keakuratan hingga satu meter.
Fan melihat GPS di ponselnya, dia dapat tahu bahwa saat ini Reyna sedang berada di perjalanan.
"Mau ke mana dia?" Fan segera bergegas mengejarnya.
***
Di sisi lain, Zein tampak sedang mengemudi dengan santai. Dia sudah tiba di ibukota, hendak menyusul putrinya. Meski kemarin dia terdengar tidak niat untuk menjemput Reyna, tetapi dia adalah seorang ayah, tentu dia tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada putrinya. Namun sialnya, Zein tidak tahu kalau Reyna membatalkan kepulangan hari ini.
Dia baru tahu sekarang, setelah dirinya tiba di apartemen putranya.
"Dia berkata tidak jadi pulang hari ini?" Zein bertanya dengan intonasi naik. Hampir saja dia darah tinggi sebab ulah anak gadisnya.
"Memangnya Reyna tidak bilang sama Papa?" tanya Azzima.
Zein menarik napas dalam, lalu menghelanya singkat. Jelas sekali bahwa dia sedang marah. Namun dia menahannya.
Gianna yang menyadari suasana sedang tidak baik pun dengan hati-hati meletakkan dua gelas kopi di meja.
"Kopinya, Pa," ucapnya sopan.
"Terima kasih." Zein mengambil satu gelas miliknya, lalu menyeruputnya untuk meredakan amarah.
***
Pukul sembilan lewat lima puluh lima menit, mobil Ryan parkir di halaman sebuah restoran. Mereka bertiga turun dari mobil, masuk ke dalam restoran untuk memesan meja.
Reyna duduk dengan malas. Dia tidak ingin berada di tempat ini sekarang. Seharusnya dia tidak membatalkan rencana pulangnya. Kini dia sangat menyesal. Seandainya kemarin malam dia bisa memikirkan kemungkinan yang terjadi, mungkin dia tidak akan berada di sini.
"Kenapa aku selalu berpikir positif tentangnya." Reyna bergumam dalam hati. Matanya menatap lurus ke depan, melihat Ryan yang sedang sibuk memesan menu makan siang bersama Bianca.
"Kau pesan apa, Rey?"
Gadis itu memejamkan mata. Dia hampir saja tertangkap basah sebab memperhatikannya sejak tadi. Reyna pura-pura mengucak mata.
"Kau tidak apa-apa?" Ryan bertanya lagi.
Sebisanya Reyna menjawab dengan santai. "Tidak perlu khawatir."
Entah mengapa Bianca tersenyum sinis setelah mendengar jawaban Reyna. Dia meletakkan buku pesanan di depan gadis itu. "Kau mau pesan apa."
Reyna melihat buku yang barusan diletakkan Bianca. "Sebenarnya aku sudah makan," jawabnya.
"Benarkah?" Bianca terdengar tak percaya.
"Ya. Kakak ipar ku sangat pandai memasak. Dia tidak pernah absen menyiapkan sarapan setiap pagi untuk ku dan kakak ku," jawab Reyna, jelas sekali bahwa dia sedang menyudutkan perasaan Bianca terhadap kakaknya.
Lagi-lagi Reyna berhasil membuat Bianca menjadi bad mood. Dia menang lagi. Jujur, sebenarnya Reyna tidak suka membalas dendam. Namun wanita itu memaksanya.
"Kedengarannya kakak iparmu memang sangat baik." Ryan mulai masuk ke dalam pembicaraan, meski dia tidak tahu ada masalah apa di balik pembicaraan itu.
"Pastinya," jawab Reyna dengan senyum penuh keyakinan, membuat Bianca memutar bola mata sebal.