8. Nasehat Papa

1567 Kata
"Setidaknya kau tetap harus memesan sesuatu, Rey." Ryan memaksa Reyna untuk memesan. "Oke kalau kau memaksa." Sekilas Reyna tersenyum, lalu tangannya membalik lembar tebal di dalam buku menu, mencari camilan yang dia suka. Reyna memesan roti isi dengan daging ayam pilihan, juga kentang goreng yang dimasak bersama terung dan dibuat menjadi camilan krispi. Dia memberikan buku menunya pada sang pelayan resto setelah selesai memilih. Mereka mengobrol selama makanan dibuat. "Kau sedang sibuk mengurus apa di ibukota?" tanya Ryan pada Reyna. "Aku." Reyna mengerjap, menahan jawabannya, dia tidak mau Bianca mengetahui tentang ini. Tapi Reyna tidak memiliki jawaban lain. "Aku sedang menunggu pengumuman seleksi beasiswa di kampus daerah sini," jawab Reyna. "Jadi kau ingin pindah kampus? Itu berarti kau akan mengulang dari awal," ucap Ryan. "Iya aku tau. Awalnya aku sangat antusias menunggu pengumumannya. Tapi sekarang aku tidak terlalu berharap diterima." Ryan mengerutkan kening tak mengerti. Begitupun dengan Bianca. Sejak tadi dia fokus menyimak, menunggu waktu yang tepat untuk menyudutkan Reyna, lalu membuat sayap-sayap gadis itu patah. "Kenapa?" tanya Ryan. "Karena aku sudah tidak berharap." Ryan menanggapinya dengan canda tawa. "Padahal kau selalu berkata padaku untuk tidak berhenti berharap." Reyna ikut tersenyum kecil, lalu dia mengalihkan tatapan ke arah Bianca. Dia sadar, sejak tadi Bianca memperhatikannya. Setelah memanfaatkan waktu menunggu untuk mengobrol, akhirnya makanan mereka siap. Reyna makan dengan khidmat. Kemudian, di tengah-tengah waktu makan, entah apa yang membuat Bianca tiba-tiba pindah ke kursi kosong di samping Ryan. Wanita itu menawarkan Ryan untuk mencicipi menu yang dia pesan. Reyna melirik tajam dengan posisi wajah menunduk menikmati camilannya. Dia benar-benar muak dengan tingkah menyebalkan yang diciptakan oleh Bianca. "Bagaimana?" Bianca baru saja menyuapi Ryan, dia menanyakan pendapat pria itu tentang rasa dari makanannya. "Enak," jawab Ryan, tatapannya lurus ke arah Bianca. Belakangan ini Ryan merasa Bianca sedikit berbeda. Sebelumnya Bianca selalu bertingkah biasa saja layaknya teman, tapi akhir-akhir ini wanita itu bertingkah seolah mereka sangat dekat. Hal itu membuat Ryan semakin berharap padanya. Reyna mendorong mundur kursinya untuk bangkit dari posisi duduk. "Aku harus setoran ke toilet," ucapnya sebelum meninggalkan meja. Ryan dan Bianca melihat Reyna yang berjalan sangat terburu-buru. Meski yang mereka lihat itu sama, tetapi apa yang mereka pikirkan berbeda. "Dia pasti sangat kebelet," ucap Ryan. Sedangkan Bianca tersenyum menang. Dia tahu bahwa Reyna pergi sebab tidak ingin melihat dirinya bersama Ryan. Reyna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dia melihat seorang gadis bodoh yang ingin meneteskan air mata. Apa yang terjadi padanya? Bukankah sebelum ini dia berkata sudah tidak berharap? Reyna tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Dia berkata seperti itu karena berharap dia bisa melakukannya, juga berharap Bianca berhenti mempermainkan Ryan. Reyna memang sedang patah. Namun dia merasa lebih patah ketika melihat Ryan dipermainkan oleh orang yang dicintainya. Begitulah rasanya berada di posisi orang yang mencintai. Sementara itu di depan, seorang pria baru saja masuk ke restoran. Fan menyapu pandangan ke seluruh penjuru, tapi dia tidak menemukan gadis yang dia cari. Padahal Fan sudah berada di titik lokasi yang Reyna tuju dalam GPS. Fan mengusap layar ponselnya untuk membesarkan titik. GPS itu memberitahunya bahwa Reyna berada beberapa langkah darinya. Fan pun mendongak, melihat ke arah tanda toilet di sisi restoran. Dia menyimpan ponselnya, lalu bergegas ke sana. Lima belas menit lamanya Reyna berada di dalam toilet, mengulur waktu sampai perkiraannya tepat, tentang Ryan dan Bianca yang sudah selesai makan. Reyna keluar dari toilet setelah melihat jam digital yang melingkar di lengan nya menunjukan angka tepat lima belas menit. Dia sudah menyiapkan segudang alasan jika mereka bertanya mengapa dirinya sangat lama di toilet. Fan yang sejak tadi menunggu di sudut pintu toilet pria akhirnya melihat Reyna keluar. Dia segera menutup kepalanya dengan topi hoddie, lalu dengan tenang dia mengikuti gadis itu. Reyna kembali ke mejanya, dan dia hanya melihat Bianca di sana. Ke mana Ryan? Reyna tidak tahu. Dia pun menghampiri Bianca. "Kenapa lama sekali?" tanya Bianca. "Aku buang air besar." Reyna berdusta. Bianca tertawa sinis, dia tahu Reyna berbohong. Wanita itu melipat kedua lengan di depan perut, melihat wajah Reyna yang tampak terpuruk. "Aku tau kau berbohong," ucap Bianca. "Apa kau menangis melihat Ryan mencintaiku?" Reyna mendongak, sorotnya tajam menusuk tatapan wanita di hadapannya. "Aku juga tau kalau kau ingin berkuliah di ibukota karena Ryan. Aku harap kau diterima. Jadi kau bisa bertemu kami setiap hari." Bianca tersenyum sinis, lalu bergegas meninggalkan kursinya. "Oh, iya, satu lagi. Aku yang menyuruh Ryan untuk mengajakmu bergabung dengan kami hari ini," ucap Bianca, masih dengan senyum sinisnya. "Tenang saja, aku akan tetap mengundang mu kalau kau sudah berkuliah di sini." Reyna terpaku di tempat duduknya, sedangkan Bianca melenggang pergi. Kini gadis itu benar-benar hancur. Dia melakukan segalanya untuk mengejar seorang pria, sampai-sampai mengabaikan perintah ibu dan ayahnya. Reyna merasa sangat malu pada dirinya sendiri. Dia menangis lagi dengan bodohnya. Dia sudah menyusahkan kedua orang tuanya akibat keinginannya. Dia selalu merengek meminta apa yang dia inginkan, tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang tuanya. Dia bahkan bersikap tidak jujur pada orang tua yang mempercayainya. Reyna ingin marah dan menjerit sekarang juga, tapi dia sadar kalau dirinya masih berada di restoran. Sejak tadi Fan memperhatikannya, mendengarkan obrolan mereka diam-diam, kini dia tahu apa yang diinginkan Reyna. Dia tidak tega melihat gadis itu menangis. Fan hendak menghampirinya, tapi dia berpikir ulang. Bagaimana jika dia malah membuat Reyna sangat marah seperti kemarin. Kemudian, Fan melihat seorang pria paruh baya melangkah menghampiri Reyna, lalu berdiri di samping meja yang menadah kepala gadis itu. Fan tertegun, apalagi ketika menyadari pria itu melihat sekilas ke arahnya. Buru-buru Fan menyembunyikan wajah. "Mr. Alessandro," gumamnya. "Sejak kapan dia di sini." Reyna mengangkat kepala setelah merasakan keberadaan seseorang di dekatnya. Dia berpikir itu adalah pelayanan resto yang hendak membereskan meja. Ketika mendongak, tubuh Reyna terlonjak mundur, matanya membesar terkejut, melihat papanya tiba-tiba berada di sini. Gadis itu segera mengusap wajahnya. "Papa. Sejak kapan Papa di sini?" Zein diam saja, masih menatap putrinya itu penuh iba. Reyna menatap papanya dari atas sampai bawah, lalu matanya mengerjap sekali. Dia menyentuh kemeja papanya, memastikan bahwa pria itu benar-benar ada dan bukan halusinasinya. "Papa?" "Jadi ini urusan yang membuatmu tidak jadi pulang hari ini." Akhirnya Zein bersuara. Reyna sedang berusaha menahan bibirnya yang bergetar ingin menangis. Tak sanggup lagi untuk menahan, Reyna langsung memeluk tubuh papanya dan menenggelamkan wajah di *d**a* pria itu. "Aku pikir Papa tidak akan menjemput," kata Reyna yang masih hanyut dalam pelukan. Suaranya tergugu sebab menahan air mata. Zein bernafas, memejamkan mata, lantas mengusap kepala putrinya, lembut. "Mana mungkin Papa membiarkan gadis keras kepala ini pulang sendirian." Reyna semakin ingin menangis akibat kata-kata yang keluar dari mulut papanya. Dia menyadari hal itu. "Sudah jangan nangis. Dia bukan pria yang harus kau perjuangan," kata Zein. Reyna tidak percaya jika papanya mendengar semua yang dikatakan Bianca. Dia merasa sangat malu dan sedih. "Papa jangan bilang sama mama," cicit Reyna. "Kenapa?" "Aku tidak mau mama sedih melihat putrinya seperti ini." Zein merangkul bahu Reyna, menuntun gadis itu keluar dari restoran. Mereka menuju mobil sambil mengobrol. "Papa tau dari mana aku di sini?" "GPS." Reyna mendongak untuk melihat raut wajah papanya, tampak serius. "Papa bisa melacak lokasiku?" "Bahkan lokasi pria yang membuatmu menangis," jawab Zein. Reyna merasa terhibur dengan lelucon papanya. "Papa tidak bercanda," kata Zein. "Papa tidak perlu memarahinya, aku yang akan memarahinya sendiri." "Memangnya kau punya apa?" "Punya papa." Reyna tertawa, membuat Zein menepuk-nepuk kepalanya. Mereka masuk ke dalam mobil. Zein mengemudikan mobil menuju ke apartemen putranya. Dalam perjalanan itu Reyna bertanya banyak hal pada sang papa. "Kalau papa disuruh memilih, papa akan pilih yang mana, mencintai atau dicintai?" "Memangnya siapa yang berani menyuruh papa?" Zein malah mengembalikan pertanyaannya, membuat wajah Reyna berubah menjadi datar dengan bibir manyun. "Mama," jawab Reyna akhirnya. "Aku tau pasti Mama yang menyuruh papa menjemputku hari ini, kan?" tuding gadis itu, mencibir pada papanya. "Baiklah, papa pilih mencintai," jawab Zein. Seketika otot-otot tubuh Reyna melemah. "Kenapa semua orang memilih mencintai," bingungnya. "Ada tantangan tersendiri di dalamnya." "Tantangan apa? Menyakiti perasaan?" Reyna tidak setuju. "Memangnya dulu mama tidak mencintai papa?" tanyanya. "Tentu saja tidak, dia bahkan ingin melompat dari mobil papa untuk pergi." "Mama benar-benar melompat?" Reyna histeris. "Tidak. Papa menurunkannya di jalan." Kini Reyna menjadi manyun. "Papa jahat." "Dia yang meminta." Zein tertawa kecil. Perutnya tergelitik jika mengingat masa-masa itu. "Lalu kenapa sekarang mama mencintai papa?" Zein bergeming beberapa saat. Sebenarnya dia tidak tahu dengan pasti, tapi satu yang dia ingat. "Dulu papa memaksanya untuk mencintai papa." "Jadi paksaan bisa membuat seseorang membalas cintanya," pikir Reyna. "Tidak, Reyna, kau wanita kau tidak boleh melakukannya," titah Zein. "Aku tidak akan melakukannya," jawab Reyna yang sudah terlanjur menyerah. "Lalu bagaimana dengan niat kuliah di ibukota yang tidak mendapat persetujuan dari papa dan mama?" Zein mulai mengintrogasinya. "Aku tidak akan mengambil beasiswanya meskipun aku diterima," ucap Reyna. "Aku minta maaf karena diam-diam mendaftar tanpa persetujuan papa sama mama." Zein menoleh sekilas. "Kau harus mengambilnya." Reyna terkejut. "Kenapa tiba-tiba papa menyuruhku untuk mengambilnya?" "Kuatkan hati dan pikiranmu, kau mengambil beasiswa itu bukan karena seorang pria. Kau tidak boleh hanya bergantung pada keinginanmu. Kau juga harus memikirkan bagaimana kondisi orang-orang di sekitarmu. Sekarang papa mau kau mengambil beasiswa itu karena papa bangga pada pencapaianmu." Reyna tersentuh dengan ucapan papanya. Dia jadi bisa membuka hati dan pikiran lebar-lebar. Selama ini dia hanya bergantung pada apa yang dia inginkan, tanpa peduli dengan apa yang diinginkan orang lain atas dirinya. Reyna percaya masih ada orang yang ingin dirinya berhasil. "Papa benar. Sepertinya aku harus meminta maaf pada seseorang," ucap Reyna. ________ Stay tune dan jangan lupa tap love.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN