[2] Calon

1215 Kata
Setelah kembarannya pergi ke rumah pacarnya, Aldi pun masuk ke dalam kamar dengan perasaan masih gelisah. Memikirkan tentang pernikahan itu yang akan dilaksanakan sebulan lagi, membuatnya tidak bisa mengalihkan pikiran itu jauh-jauh. Aldi mengambil ponsel miliknya yang berada di kasur. Menekan nomer yang akan diteleponnya, dan menempelkan benda itu pada telinganya. "Hallo, Alan ada di rumah kamu?" "..............." "Alan katanya mau ke rumah kamu buat ngomongin pernikahan yang direncanakan Papa." "..............." "Nanti aku jelasin. Tapi aku mau tanya dulu sama kamu. Kamu pilih aku atau Alan?" "..............." "Kita ketemuan besok di kafe biasa. Kalo Alan ngomongin ini sama kamu dan orang tua kamu, setujuin aja dulu." "..............." "Yaudah kalo gituh aku tutup. Love you, Alena." Setelah sambungan terputus, Aldi menghempaskan dirinya pada kasur empuk miliknya itu. Menatap langit-langit kamarnya yang didesain khusus bergambar kartun kesukaannya, dan samapi sekarang pun ia masih menyukai kartun itu. "Maafin gue, Lan. Kali ini gue bakal nyakitin lo ... lagi." ●▪●▪● Pagi-pagi sekali setelah membersihkan diri dan sarapan bersama keluarganya. Arina sekarang berada di belakang rumahnya, ia sedang membantu sang Ayah mengurus perternakan kecil miliknya. Berbagai macam hewan peliharaan seperti, ayam, bebek, kelinci, kambing, dan juga burung di tempatkan di belakang rumahnya. Tapi sangkar burung beserta isinya di tempatkan di depan rumah, sekitar ada 6 sangkar burung. Jaelani itu memang sangat suka memelihara hewan. Jika punya banyak uang, pasti bisa memelihara singa dan gorila. Tapi sayangnya tidak mungkin bisa. Orang Misqueen mah bisa apa atuh. Darah Jaelani mengalir pada anak bungsunya. Melihat kebiasaannya setiap hari, membuat Arina terbiasa dan juga merasa senang bisa memelihara hewan ternak. Jika setiap kali menjual hasil ternak, Arina akan mendapatkan jatahnya yang telah membantu, meskipun tak seberapa tapi lumayan untuk jajan. Selain berternak, Jaelani juga mempunyai toko sembako yang sudah lama ia tekuni dan mencukupi kehidupan dan keluarganya selama ini. Ini berkat sahabatnya, Adam. "Beh, si kelinci ini kakinya kek di gigit deh," ujar Arina sambil menjewer telinga kelinci itu ke hadapan Jaelani. "Lah, ini kayak digigit kucing. Tapi kok bisa, ya?" "Lagian ya Beh, di rumah kita kagak punya kucing. Terus kan kandangnya di atas, mana bisa kucing manjat." "Udeh lu pisahin aja dulu dari temennya, ntar babeh yang urus dia." Arina kembali ke kandang kelinci yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya. Arina itu tubuhnya tidak terlalu tinggi, sekitar 155 cm. Sedangkan di bawah kandang kelinci itu adalah kandang milik si kelompok ayam. Menurut Jaelani, kandang kelinci di tempatkan di paling atas agar si kelincinya tidak buat lubang di tanah, makanya di tempatkan di kandang atas. Setelah menyimpan kelinci itu di kandang yang terpisah, Arina menghampiri kakaknya yang sedang memberi makan para bebek. Kebetulan hari ini Zaki sedang libur kerja. Jadi dia juga membantu agar Jaelani bisa cepet pergi ke toko. "Eh bang, itu ada telor satu. Ambil gih keburu keinjek!" Nah, kalau kadang bebek itu beda dari yang lain. Karena jumlah bebek yang lumayan banyak, jadi Jaelani hanya membuat pagar dari bambu yang tingginya sebatas pinggang, terus sengaja dibuat mengelilingi sehingga berbentuk lingkaran yang lumayan besar. "Dih, lo aja yang ambil sana. Gue masih sibuk nih." "Ogah. Gue masih trauma bang di patuk bebek." Zaki yang sedang berjongkok mebelakangi adiknya itu, menoleh pada Arina dengan tatapan tidak percaya. "Heh, perawan jadi-jadian! Lo liat patuknya bebek sama ayam, tajaman mana?" "Ayam," jawab Arina dengan polos. "Kalo lo dipatuk ayam juga gak bikin lo mati, apalagi bebek." Zaki kembali memberi makan para bebek itu. Arina mendengus kesal pada Zaki, dia gak ngerasain sih waktu dipatuk bebek. Emang iya sih gak sakit, tapi terkejutnya itu loh. Ia dipatuk tepat di pantatnya ketika sedang memberi makan bebek-bebek itu beberapa hari yang lalu. Jadi sampai sekarang ia tidak mau mengurus bebek lagi dan menyerahkan itu kepada Ayahnya. "Beh..." teriak Arina ketika melihat Jaelani yang sedang memberi makan kambing. "Bebeknya udah ada yang bertelur nih!" Jaelani yang sudah selesai, mendekati kedua anaknya yang berada di dekat kadang bebek itu. "Mana?" "Tuh!" tunjuk Arina. "Elu Zek, kenapa nggak lu ambil?" "Beh, Zaki kan lagi ngasih makan. Tuh si Arin yang lagi diem." "Harus dipindahin nih biar kagak bertelur sembarangan lagi," gumam Jaelani. Lalu masuk ke dalam kandang itu dan mengambil telur yang untungnya belum keinjek, lalu diberikan kepada Arina. Jaelani mendekati kerumunan bebek dan melihat-lihat, lalu mengambil salah satu bebek itu dan membawanya keluar. "Mau diapain, Beh?" tanya Zaki. "Mau gue pindahin biar gak bertelur sembarangan." "Lah, emang Babeh yakin kalo telur ini dari dia?" tanya Arina. "Jangan remehin Babeh, Rin. Udeh lu ikut sama gue sini." Saat akan mengikuti Ayahnya ke kandang yang khusus dibuat jika ada bebek atau ayam yang bertelur. Tiba-tiba suara Siti menggelegar merdu bagikan geraman harimau, menghentikan langkah mereka. "Ada apa sih?" geram Jaelani. Masalahnya pria itu takut jeritan Siti bakal terdengar oleh tetangga, kan kasihan. Siti berjalan dengan tegesa-gesa mendekati anak bungsunya. "Ya alloh, Rin! Elu udah mandi, tapi masih aja bau bangke. Sana mandi lagi, Key bentar lagi mau dateng." "Ngapain si Key ke sini? Dia aja nggak ngabarin Arin kalo mau ke sini, Mom." "Ya mau dandanin elu lah. Masa lupa sih, hari ini kan pak Adam sama anaknya mau dateng kerumah." "Yaalloh Siti, gue sampe lupa. Untung gue belum ke toko." "Yaudah abang telepon karyawan abang tuh, kalo abang gak bisa ke toko dulu. Dan elu Rin, cepetan mandi sono! Tiga jam lagi mereka dateng. Aye mau semuanya perpek biar gak malu-maluin. Elu Zek, bantuin Mimom di depan, ayok!" "Perfect, Mom! Kagak bisa bedain huruf f sama p apa?!" ralat Arina. Kesal juga karena hari ini ia harus bertemu dan membicarakan tentang perjodohan itu. "Lah ini bocah malah nyahut. Cepetan lu, sono!" Dengan malas Arina mengiyakan ucapan Siti. Sebelum ia masuk, ia memberikan telur bebek itu pada Siti. "Ngapain gue dikasih telor? Mau rikwes bikin kerak telor ape?" Jaelani segera merebut telurnya dari tangan Siti. "Enak aja lu. Mau gue ternak biar dapet duit." "Sewot aja si abang kalo sama aye." ●▪●▪● Sementara itu, ketiga laki-laki baru saja keluar dari rumah Alena. Mereka baru saja membicarakan tentang pernikahan yang sudah direncanakan Adam. Kedua orang tua Alena yang memang sudah mengetahui niat baik kedatangan mereka, langsung menyetujuinya. Sopir yang membawa mereka, membukakan pintu mobil. Setelah masuk semua, pria itu pun juga masuk dan duduk di kursi pengemudi. "Pak, sekarang kita mau ke mana?" tanya pria itu sopan. "Kita ke rumahnya Jaelani sekarang." "Loh Pa, katanya mau besok?" ucap Aldi tak terima. "Sekalian biar nggak ribet. Dan kamu juga bisa pendekatan dulu sama calon kamu. Papa juga udah ngabarin mereka." "Pa, jadi langsung ke rumahnya calon bang Aldi?" tanya si bungsu, Alan. "Iya," jawabnya disertai anggukan. "Kalo gituh Alan gak bisa ikut, Pa. Alan udah janji sama temen. Ntar di depan sana Alan turun aja." "Bener nih, Lan? Gak mau dianter dulu ke rumah buat ambil motor kamu?" "Gak usah, Pa. Lagian Alan janjiannya di kafe yang kita lewati tadi, ntar kalo pulang bisa nebeng sama Restu." Adam mengangguk. "Hati-hati." "Iya." Alan menepuk bahu kembarannya yang sejak tahu akan berkunjung ke rumah calonnya hanya diam. "Bang, ntar cerita ke gue gimana ceweknya. Sorry nih gue nggak bisa anter lo." "Hm." Saat di depan kafe, Alan pamit turun. Adam dan Aldi meneruskan perjalanan ke rumah Arina, dan di sana Aldi sangat merasa kesal dan belum siap untuk bertemu calonnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN