bc

Home Sweet Home

book_age12+
477
IKUTI
2.7K
BACA
family
brave
drama
comedy
sweet
bxg
city
chubby
lonely
brothers
like
intro-logo
Uraian

"Home sweet home hanya mantra buat mereka yang memiliki rumah untuk pulang. " Abel Rekarsana.

"Ternyata itu bukan rumah, melainkan hanya tempat Babang untuk singgah." Razkana Maynard.

"Entah mengapa kini, rumah nampak seperti neraka." Dariel Samantha Maynard.

Tiga orang anak dengan tiga masalah yang berbeda. Namun, yang selama ini mereka cari bukan sesuatu yang sulit. Mereka hanya mencari, rumah, untuk mereka pulang.

Abel yang baru merasakan kasih sayang orang tua.

Razkana yang baru mengetahui asal-usulnya.

Dan, Dariel yang mulai merasakan indahnya dunia luar.

Ketiganya masih terlalu dini untuk merasakan pahitnya mencari arti itu semua. Bisakah mereka bertahan untuk tetap berada di posisi berdiri disaat mereka mulai menyerah?

Akankah akhirnya mereka bisa menemukan rumah untuk pulang?

Cover by Me.

Font from Dafont.

chap-preview
Pratinjau gratis
1
"Bel! Bel! Bangun!" Seorang anak laki-laki melenguh pelan dari tidurnya dan terpaksa membuka kedua kelopak matanya saat merasakan gangguan seseorang pada tidur indahnya. Berguman lirih, anak itu bangkit dari tidurnya sambil mengucek kedua matanya. "Apa?" tanya serak khas suara bangun tidur. "Olang-olang pake baju item itu datang lagi!" "Olang-olang? Apaan, tuh?" tanya Abel bingung. Beberapa kali, ia menggunakan telapak tangannya untuk mulut yang terbuka karena rasa kantuk itu masih tersisa. Anak perempuan yang sengaja membangunkan Abel dari tidurnya itu mendadak gemas setengah mata pada tingkah laku Abel. Padahal anak laki-laki itu sudah tahu bahwa ia cadel. Dirinya dengan sengaja memukul kepala anak laki-laki itu karena kekesalannya. Puk... "Aduh!" ringis Abel membuat kantuknya lenyap seketika. Tangan mungilnya mengelus pelan kepalanya yang menjadi korban kegemasan anak itu. "Sakit tauk, Kinta!" sunggutnya dengan bibir mengerucut. "Olang-olang yang mau usil kita itu datang lagi, Abel!" Kali ini Abel tidak mengatakan apa-apa lagi pada anak perempuan itu. Dengan langkah cepat ia berlari menuju halaman luar. Jantungnya berdegub kencang saat mendengar ucapan dari Kinta, bahkan ia tidak memperdulikan lagi teriakan dari teman perempuannya itu. Orang-orang yang mau usir kita itu datang lagi, Abel! Sesampainya Abel di depan pintu Panti. Matanya menangkap seorang wanita paruh baya tengah bersujud pada seorang wanita yang kini membelakanginya. Abel bisa mendengar isak tangis wanita itu dan juga ucapan permohonannya yang membuat hatinya tersayat. Beginikah hidup mereka?  Anak-anak Panti yang lain ternyata sudah berkumpul semua di belakang wanita paruh baya itu. Mereka semua menangis membuat hati Abel kembali tersayat. Terkutuklah dirinya yang baru bangun tidur saat-saat seperti ini. "Bunda..."  Abel bergerak mendekat ke arah Bunda Panti yang masih menangis, tangannya terulur untuk mengelus punggung wanita yang tengah mengenakan daster lusuh itu. Sungguh, ia tidak bisa menahan lebih lama matanya untuk tidak membanjiri pipinya dengan air mata. Bunda Panti yang merasakan usapan lembut pada punggungnya menoleh, mendapati anak Panti yang selalu menyemangatinya setiap ada masalah membuat tangisnya kembali pecah. "Kita akan diusir, Nak..." Abel memeluk Bunda Panti dengan erat. Meminta wanita paruh baya itu berhenti bersujud. Matanya berkaca-kaca siap akan melencurkan bening-bening kristal. Ia tetaplah anak kecil berumur sembilan tahun yang tak bisa untuk tidak menangis, mengetahui rumahnya bersama teman-temannya akan digusur. "Bunda jangan nangis," ujar Abel dengan suara kecil. Perlahan ia mulai bisa mengatur tangisannya menjadi isakan-isakan kecil. Abel berpikir, jika ia terus menangis, hal itu tidak akan membuat semuanya berubah. Ia harus mencara cara agar Rumah ini tetap menjadi rumahnya dan teman-temannya. Abel menarik nafasnya panjang, lalu tatapannya beralih pada kaki jenjang yang mengenakan sepatu tinggi itu. Abel tidak tahu apa itu namanya, ia hanya tahu sendal jepit biasa yang selalu digunakan Bunda Panti jika ingin berpergian. Abel melepaskan pelukannya pada Bunda Panti. Lalu perlahan ia mendekat ke arah kaki jenjang itu. Hatinya kembali bergetar hebat, tangisnya siap kembali pecah sebantar lagi jika ia tidak menahannya.  Perlahan Abel menundukan kepalanya dan bersujud di kaki jenjang itu. Semua anak Panti terkejut dengan sikap Abel. Anak itu, tidak pernah sekalipun meminta bantuan. Tidak pernah sekalipun pernah merengek. Tidak pernah sekalipun menangis karena masalah kecil. Tidak pernah sekalipun memohon kepada orang-orang jika ia bisa melakukannya sendiri, karena mereka tahu Abel adalah sosok anak yang kuat. Dan, kali ini semuanya terkejut dengan Abel yang bersujud di kaki jenjang itu sambil meneteskan air mata. Bunda Panti pun ikut terkejut. "Nyonya..." Abel bersuara lirih dan serak. Ia harus bisa menahan air matanya agar bisa berbicara jelas. Abel pernah membaca, bahwa orang-orang keren seperti wanita itu tidak suka bertele-tele dan berbicara tidak jelas. “Nyonya, saya sangat momohon kapada anda untuk tidak menggusur Rumah kami." Abel menarik nafasnya sekali lagi. Ia bisa, tegasnya dalam hati. "Saya akan melakukan apapun, asalkan anda tidak menggusur rumah kami."  Anak laki-laki itu hampir saja terjungkal ke belakang ketika tubuh wanita pemilik kaki jenjang itu berbalik. Ia meringgis pelan, lalu tatapannya beralih ke arah Bunda Panti yang kini menatapnya khawatir. Ia mengelus senyum kecilnya, berharap itu bisa mengakatakan bahwa ia baik-baik saja. "Benar kamu mau melakukan apapun?"  Abel mendongak saat mendengar suara tegas itu. Mulutnya sedikit terbuka saat melihat seorang wanita dengan tinggi semampai, rambut hitam panjang dengan ujung bergelombang, kulit putih bak seperti boneka berbie milik Kinta. Wajah wanita itu sangat cantik. Matanya bulat hitam dengan sepasang alis mata yang lentik. Hidung kecil mancung dan bibir berwarna merah muda. Abel mungkin tidak akan berhenti untuk terus memuji wanita dihadapannya sekarang, jika saja ia tidak mengingat wanita inilah yang akan menggusur Panti. Wanita yang Abel cap, sebagai wanita yang tidak memiliki hati. Abel tidak tahu apa yang terjadi pada mukanya setelah bangun tidur, bertambah tampan atau burukkah? Sebab wanita yang ia cap tak memiliki hati itu nampak sangat terkejut saat melihat Abel. Terlihat dari bola matanya yang membesar dan mulutnya yang terbuka. Tapi, detik berikutnya wajah itu kembali menjadi datar, sedatar papan triplek yang memisahkan dinding ruangan mereka. Sehingga sekarang wanita itu sudah terlihat kembali seperti biasa. "Benar?" ulang wanita itu kembali membuat Abel tersentak akan ucapannya tadi. Abel menunduk. Ia memang berani untuk anak seusianya. Tapi, tatapan wanita itu sangat tajam membuat Abel menjadi gugup dan sedikit takut. "I-iya, Nyonya." Abel tak menyesali janjinya untuk melakukan apapun agar Panti ini tidak digusur. Ia bahkan akan sangat senang jika ia bisa membantu Bunda Panti dan teman-temannya. "Kalo begitu, saya ingin mengadopsimu sebagai anak." *** Seorang wanita dengan pakaian formal memasuki mobilnya dengan helaan nafas yang berat. Keringat dingin yang memenuhi dahinya, ia bersihkan dengan tisu yang berada di dashboard mobilnya. Berulang kali ia mengatur nafasnya agar kembali teratur. Wanita itu mengalihkan pandangannya saat mendengar nada panggilan dari ponselnya yang berada didalam tasnya. Dengan tangan yang masih bergetar, wanita itu merogoh tasnya yang berada disampingnya lalu menggeser bulatan hijau pada ponselnya. " “Hmm.” "Kamu beneran jadi ngegusur Panti itu?” "Enggak, Mas.” Karena aku menemukan dia. Sambungnya dalam hati. "Syukurlah. Mas kira kamu benaran mau gusur Panti itu.” Bangunan itu sebenarnya sudah dijual pemilik aslinya pada perusahaan mereka beberapa tahun yang lalu, awalnya mereka tak akan melakukan apapun pada Panti itu. Namun, ketika Aya ingin melakukan perluasan pada bagian portokan miliknya, ia ingin menggusur Panti Asuhan itu. "Iya." Terdengar helaan nafas berat dari si penelpon yang nampaknya seorang laki-laki dewasa, suaranya berat namun terdengar sangar lembut. Tampaknya lelaki sudah kebal dengan sifat datar wanita itu sehingga bisa dengan cepat menghilangkan kekecewaannya.   "Baiklah, suamimu ini akan menunggumu malam nanti. Bye-bye My Sweet Aya. I love you!" "Too." "Adopsi?" Entah apa yang terjadi dengan fungsi otak mungil Abel. Berkali-kali anak itu menyebut kata 'adopsi' sambil mondar-mandir di kamar Panti. "Adopsi?" tanyanya lagi sambil menghadap triplek pemisah dengan ruangan sebelah. "Adopsi? Artinya Abel nanti bakal punya Ayah Ibu? Punya keluarga gitu?" tanyanya dengan kening berkerut. Kinta yang sedang duduk di kasur Abel hanya bisa mengangguk saat melihat keanehan Abel. Si Anak Jenius itu nampak seperti anak bodoh yang tidak naik kelas— seolah tidak mengetahui apapun sekarang. Beda sekali dengan Abel yang mereka juluki buku berjalan. "Iye, Bel. Seratus jawaban kamu!” Abel menghempaskan pantatnya di atas kasur, lalu menjatuhkan tubuhnya sambil menutup kedua matanya. Namun, belum sampai sedetik anak lelaki itu membuka matanya kembali. Ia tak suka gelap. Ia benci ketika merasa sendirian dan kegelapan membuatnya menjadi sendirian. "Akhirnya setelah kejadian itu ada lagi yang mau ngadopsi Abel," ujarnya lirih. "Tapi, kenapa harus Tante Triplek itu, sih?"  protesnya rada kesal. "Datar banget mukanya itu, Abel juga takut sama matanya. Tajem, mungkin setara sama pisau dapur kita,” komentarnya. Kinta berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Ckk, jangan belburuk sangka dulu, deh, Bel. Siapa tahu emang wajahnya gak bisa slow, tapi aslinya baik." "Orang baik mana yang mau gusur Panti Asuhan, Kinta?" Kinta mengatupkan bibirnya saat mendengar pertanyaan Abel. Ia merasa selalu kalah saat berdebat dengan anak itu. Selalu ada saja perkataan Abel yang membuat otaknya menjadi buntu. Haissh! Sebenarnya Kinta dan yang lain juga kaget dengan permintaan wanita tadi. Mereka berfikir jika Abel akan dijadikan pengamen-pengamen di jalanan seperti di sinetron. Tapi, Bunda Panti menjamin bahwa Abel akan baik-baik saja. "Kamu bisa nolak kok, Bel." "Gak ada kata mundur di kamus Abel kalo udah maju." Kinta mendengus. "Seterah. Aku mau mandi dulu." Anak perempuan itu bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu keluar kamar, ia belum mandi sedari tadi pagi rupanya. Tapi, sebelum ia benar-benar keluar. Kinta mengucapkan sesuatu yang membuat hati Abel bergetar. "Intinya. Apapun yang terjadi sama kamu nanti. Panti Asuhan dan kami, akan tetap menjadi rumah untuk Abel pulang." "Abel nanti sering-sering ya main kesini, jangan lupain Bunda sama anak-anak Panti yang lain." Bunda Panti—-Ibu Mawar menatap sendu Abel yang kini tersenyum kecil sambil memegang koper berwarna biru. Tas ransel berwarna abu-abu ia sampirkan pada punggungnya. "Gak akan, Bun," ujar Abel dengan senyum yang lebar. "Ini rumah Abel, kalo rumah itu tempatnya untuk pulangkan?" tanyanya sendu. Bunda Panti tersenyum lembut. Sedikit merasa tak rela melihat salah satu anak yang ia asuh dari kecil harus meninggalkannya. Tapi, apa boleh buat. Semua harus dilakukan demi Panti ini tetap berdiri kokoh. Bukannya Bunda egois, namun Abel yang sendiri menawarkan dirinya walau Bunda Panti mengatakan bahwa mereka bisa mengontrak di rumah kecil ketika diusir dari sini. "Pokoknya jangan lupain Bunda sama teman-teman,” ulang Bunda Panti tegas. "Siap, Bunda!" angguk Abel dengan semangat. Lalu tatapannya beralih ke arah gerbang Panti Asuhan, ketika sebuah Mobil hitam metalic yang nampak mewah memasuki halaman Panti Asuhan. "Mobilnya bagus," celetuk Kinta yang yang berada di sampingnya. Abel menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya jika sedang gugup.  Pintu mobil itu terbuka, seorang wanita dengan pakaian formal keluar dari sana. Melihat wanita itu, Abel mengerucutkan bibirnya. Masih bingung alasan wanita itu ingin mengadopsinya. Padahal ada anak Panti yang lain, dengan ketampanan yang lebih darinya. Tapi, Abel berfirasat bahwa kedua orang tuanya ini bukanlah orang tua biasa. Maksudnya, setelah satu bulan sejak kedatangan wanita yang Abel tidak ketahui namanya itu untuk menggusur Panti lalu tiba-tiba beralih ingin mengadopsinyai. Padahal jika dijabarkan mungkin prosesnya akan membuat kalian pusing. Oke, akan Abel ceritakan proses pengadopsian yang ia menggertu. Pertama, pasangan yang akan mengandopsi akan melakukan wawancara, serta mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan, inspeksi ke rumah oleh Dinas Sosial dan barulah sang anak dibawa ke rumah orang tua adopsi sebagai masa percobaan. Belum selesai sampi disitu, jika semuanya berjalan dengan baik, maka akan dilakukan sidang, izin pengangkatan anak, sidang lagi, baru keputasan akhir. Itu semua mungkin bisa dihabiskan selama berbulan-bulan. "Sudah siap?" Abel menggigit bawahnya lagi, lalu mengangguk. Mata Abel yang semula menatap lantai keramik, kemudian beralih ke arah mobil lagi, saat pintu pengemudi terbuka. Seorang laki-laki dengan kemeja berwarna hijau telur asin, dengan lengan yang digulung hingga ke siku berjalan ke arah mereka. Namun lagi-lagi, Abel dibuat heran ketika pria itu juga terkejut sambil menatapnya. Padahal tadi Abel sudah berkaca selama sejam untuk melihat penampilan, nyatanya ia tidak bertambah ganteng ataupun buruk. "Kalo sudah siap, kita akan segera berangkat." Abel mengangguk mendengar suara wanita itu. Tatapannya pun kembali ke arah Bunda Panti dan teman-temannya, sesi pelukan dan tetesan air mata menghiasi itu semua. Dibantu oleh pria itu, koper Abel dimasukan kedalam bagasi. Ia kemudian disuruh duduk dibangku belakang. Setelah pria itu sudah masuk kedalam mobil, tatapannya beralih ke arah isterinya. Namun, wanita itu malah mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Mobil pun berjalan, namun hanya keheningan yang menyelimuti perjalanan mereka. Abel sedari tadi tidak berhenti bergerak, gugup membuatnya menjadi tidak nyaman. Walaupun begitu, bibir Abel sudah gatal ingin bertanya nama mereka. Entah salah Abel atau mereka, sampai sekarang ia belum tahu nama Ayah dan Ibunya itu. "Abel?" Abel mendongak, matanya bertemu dengan mata hitam tajam namun mampu membuat Abel damai. "Iya?" "Kenapa? Abel gak nyaman?" Abel menggeleng. Sambil menggigit bibir bawahnya anak itu berujar pelan. "Maaf, nih, Om. Abel sampai sekarang, belum tahu nama Om dan Tante." Laki-laki itu menangkat alisnya. "Kok panggilnya Om sama Tante?" "Emang kenapa?" tanya Abel polos. Laki-laki itu terkekeh, namun kemudian menggeleng. "Gak. Sekarang kami sudah menjadi orang tua Abel. Jadi Abel mau panggil Bunda—-Ayah? Papa-Mama? Mommy-Daddy? Papi-Mam—-? "Ayah-Ibu," kompak Abel dan Aya yang semulannya sedang melihat pemandangan jalan raya. Laki-laki tersenyum dalam diam, entah mengapa. Ia sudah merasa ada kesamaan antara Abel dan Isterinya. Semoga saja anak itu bisa membawa kebahagian untuk mereka. Dan, mereka bisa memberikan yang terbaik untuk Abel. "Eh, O—-Ayah. Namanya siapa, dari tadi gak dijawab-jawab terus." Abel mengerucutkan bibirnya kesal, pertanyaan yang sedari tadi ia tanyakan belum dijawab juga sampai sekarang. "Oh, Iya." Laki-laki itu tertawa. "Nama Ayah itu Arga kalo nama Ibu itu Aya." Abel mengangguk dengan kening berkerut. "Jadinya triple A ya?" tanya anak itu sama sambil terkekeh. "Betul juga. Arga, Aya dan Abel."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Wedding Organizer

read
46.7K
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
200.0K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Mas DokterKu

read
238.7K
bc

Rujuk

read
909.8K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

MY DOCTOR MY WIFE (Indonesia)

read
5.0M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook