Chapter 09

2544 Kata
Ardhan merenggangkan otot-ototnya karena merasakan pegal di sekujur tubuh serta pusing di bagian kepalanya. Ardhan duduk di tempat tidur menoleh ke arah dua perempuan yang masih tertidur. Fany tidur dengan sangat serakah, hampir seluruh sisi tempat tidur dipakai oleh tubuh mungil gadis itu membuat Fany bebas berguling ke sana kemari. Jatah tempat tidur Rara bisa dibilang cukup lebar, wanita itu masih dapat menggerakkan tubuh walaupun tidak bebas. Sedangkan Ardhan, jatah sisi tempat tidur nya hanya cukup untuk badannya saja, tanpa bisa bergerak sedikitpun sehingga menyebabkan badannya sakit semua. Ardhan duduk menghadap ke arah jendela membelakangi Rara dan Fany. Tanpa Ardhan ketahui Rara sudah bangun memperhatikan nya. Ketika Ardhan hendak beranjak Rara langsung menutup matanya pura-pura masih tidur padahal sudah bangun. Di balik celah matanya yang terbuka sangat sedikit, Rara bisa melihat Ardhan sedang membangunkan Fany untuk bersekolah. "Fany sekolah ayo bangun." Ucap Ardhan lembut sambil mengelus pipi gempal Fany. Fany merengek menggelengkan kepala karena rasa kantuknya sangat kuat sehingga membuat Fany enggan untuk bangun. "Papa tinggal ya kalo gak mau bangun juga, bener gak mau bangun nih?" Fany menghentakkan sebelah kakinya di tempat tidur dengan posisi terlungkup dan mata yang masih terpejam, perbuatan Fany barusan membuat Ardhan langsung mengerti jika Fany tidak ingin bangun. "Fa-" "Hueeek," Ardhan terkejut saat tiba-tiba saja mendengar suara ingin muntah. Ardhan memutar tubuhnya untuk melihat Rara yang sudah berlari ke kamar mandi. Ardhan berlari menghampiri Rara yang sedang berusaha mengeluarkan cairan dari dalam mulut. "Kamu gak papa?" Tanya Ardhan sambil memijat tengkuk Rara. Rara menggeleng dan berkumur-kumur. Setelah memastikan jika Rara tidak ingin muntah lagi, Ardhan membantu Rara kembali ke tempat tidur dan mendapati Fany sudah bangun. "Aku ambilin minum, ya." Rara mengangguk. Ardhan kembali ke kamar ketika sudah mengambil segelas air putih dan membantu Rara untuk minum. Rara menjauhkan tangan Ardhan dari gelas seolah berkata jika ia bisa minum sendiri. Ardhan mengalah duduk di hadapan Rara, pandangan Ardhan beralih ke arah Fany yang masih duduk. "Dari tadi Papa bangunin Fany nya gak bangun-bangun, giliran denger Mama muntah baru deh Fany bangun. Lain kali Papa suruh aja ya Mama muntah biar Fany bangun nya gak susah." Ucap Ardhan seraya tertawa kecil. Rara melirik Ardhan tanpa berhenti minum. "Fany bangun sekolah." Kata Rara. "Ayo Fany mandi." Rara menatap Ardhan. "Kenapa?" Tanya Ardhan ketika menyadari Rara menatapnya. "Fany gue yang mandiin." "Kan kamu masih lemes abis muntah. Aku aja, kamu jangan mikir yang enggak-enggak. Biar aku aja yang mandiin Fany." Ucap Ardhan. "Ya udah terserah." Ardhan mengangguk lalu menggendong Fany. Setelah selesai memandikan Fany, tugas Ardhan selanjutnya memakaikan Fany seragam sekolah diinstruksikan oleh Rara. "Di kasih minyak telon dulu, leher Fany juga di kasih bedak." Kata Rara mulai menginstruksi. Rara memperhatikan kegiatan Ardhan dari tempat tidur. "Singlet nya dulu baru seragam sekolahnya." "Itu kebalik, bagian leher yang pendek di depan, bukan yang panjangnya." "Dasi nya juga di pake dong. Mentang-mentang lo selalu gak pernah pake dasi di sekolah jangan lo terapin juga ke Fany." "Ya udah namanya juga lupa, Ra." Akhirnya Ardhan berbicara karena sejak Rara ngomong Ardhan hanya mengangguk saja. "Baju Fany di rapihkan, terus rambutnya di sisir." Ardhan mengacungkan jempolnya ke arah Rara. "Gak ma-" "Sssttttt..." Ardhan menyuruh Fany diam saat gadis kecil itu hendak protes karena Ardhan menyisir rambutnya tidak seperti Rara. Jika biasanya poni Fany selalu menutupi keningnya, kali ini Ardhan mengenyampingkan poni Fany dengan rambut yang masih agak basah jadi mudah di atur. Ardhan menjepit ujung poni Fany dengan jepit rambut karakter hello kitty. "Nah, keliatan makin cantik lho." Ucap Ardhan tersenyum puas dengan hasil kerjanya pada rambut Fany. Fany menatap kesal Ardhan karena ia tidak suka jika poni nya dikesampingkan. Ardhan tertawa gemas melihat ekspresi Fany. "Penjepit rambut Fany dikit banget ya." Kata Ardhan memperhatikan kotak kecil yang hanya berisikan beberapa jepit rambut. "Yang lainnya masih di rumah lama." Sahut Rara, Ardhan tidak menyangka jika Rara mau menyahut perkataan nya padahal Ardhan berbicara kepada dirinya sendiri. "Oh, pantes dikit banget." "Ya udah ntar Fany pulang sekolah kita beli ya jepit rambut untuk Fany." Ucap Ardhan kepada Fany. Fany mengangguk kecil karena ia masih kesal dengan Ardhan. "Fany ngambek sama Papa nih?" Ardhan membungkukkan tubuhnya di hadapan Fany. "Enggak." Balas Fany tanpa menatap Ardhan. "Fany kalo ngambek sama kayak Mama, pelit ngomong." Ardhan terkekeh sendiri. Rara melirik Ardhan, secara tidak langsung laki-laki itu menyindirnya. "Fany gak ngambek." Ucap Fany. "Bagus dong kalo gak ngambek, nanti gak jadi cantik lagi kalo ngambek." Fany berjinjit untuk melingkarkan tangannya di leher Ardhan. "Ntar kita beli ya jepit rambut untuk Fany." Kata Ardhan sambil menciumi pipi Fany. "Oke." "Mama mau ikut?" Tanya Ardhan kepada Rara. Rara diam memperhatikan Ardhan. "Mama ikut gak?" Ulang Ardhan. Rara menggeleng, "enggak." "Ya udah, berarti Papa sama Fany aja yang beli. Fany di sini dulu Papa mau mandi." Ardhan mendudukkan Fany di dekat Rara lalu keluar pergi ke kamarnya untuk mandi. 15 menit kemudian Ardhan sudah kembali ke kamar Rara, durasi waktunya untuk mandi sudah sangat singkat jika biasanya paling cepat Ardhan mandi sekitar 30 menit, namun sekarang hanya 15 menit dikarenakan ia harus mengantar Fany ke sekolah. Ardhan memakai pakaian biasa, celana jeans hitam, kaos putih oblong dan memakai jaket berwarna hijau tua serta sepatu berwarna putih. Ardhan keluar lagi dari kamar Rara ketika laki-laki itu mendapatkan panggilan telepon. Rara sempat memperhatikan penampilan Ardhan lalu menoleh ke arah Fany yang sedang bermain game di iPad. "Fany," panggil Rara. Fany tidak menoleh karena asyik main. "Fany liat Mama dulu." Rara pun mengambil iPad tersebut membuat Fany kesal ingin berteriak namun mulut Fany sudah di bekap. "Dengerin Mama, ntar tanya sama Papa. Papa kerja atau gak, jangan bilang kalo Mama yang nanya. Kalo Papa jemput Fany kasih tau Mama Papa ada ngobrol gak sama Bu guru Fany. Jangan bilang ke Papa kalo Mama yang nanya, jangan bilang kalo Mama ngomong gini." Kata Rara sudah menjauhkan tangannya dari mulut Fany. "Fany denger gak?" Tanya Rara saat Fany tidak berbicara apa-apa melainkan berusaha mengambil iPad dari tangan Rara. "Iya dengel." Rara mengangguk dan menyerahkan iPad tersebut. "Iya dalam waktu dekat ini saya akan ke sana." Ardhan masuk ke kamar masih berbicara melalui telepon. Ardhan menyimpan ponselnya di kantong celana memakai tas Fany di sebelah tangannya membantu Fany turun dari tempat tidur. "Jangan di bawa, mainnya nanti lagi kalo Fany udah pulang sekolah." Ucap Ardhan saat Fany ingin membawa iPad. "Aku anter Fany dulu ya." Kata Ardhan, Rara mengangguk. Ardhan menggendong Fany, Fany menatap Rara yang sedang mengoceh kepadanya. Fany beralih menatap Ardhan dan mulai berbisik-bisik. Rara memejamkan mata ketika Fany membisikkan sesuatu kepada Ardhan tepat di depannya. Ardhan berbalik untuk menutup pintu kamar Rara, Rara menatap jengkel saat Ardhan tersenyum kepadanya, begitu juga dengan Fany. Ketika kedua orang itu sudah pergi, Rara memukul pelan kepalanya, rasanya ia sangat ingin berteriak melihat tingkah Ardhan dan Fany yang semakin hari semakin mirip. Sama-sama ngeselin. Ardhan mengikuti arah langkah Fany yang sedang memperhatikan satu persatu aksesoris rambut. Tidak hanya aksesoris rambut saja yang ada, aksesoris lainnya juga ada, bahkan mainan untuk anak pun tersedia lengkap di toko yang mereka datangi. "Pah, ini." Fany menunjukkan kotak yang berukuran tidak terlalu panjang dan terdapat gambar piano mainan di luar kotak itu. "Papa yang pegang, ya." Fany mengangguk dan kembali berjalan dengan masih memakai seragam sekolahnya. "Fany." Ardhan dan Fany yang sedang melihat-lihat kotak mainan lainnya menoleh ke asal suara. Fany langsung mendekat kepada Ardhan, Ardhan menatap lekat pria yang ada dihadapannya. Seperti pernah melihat, batinnya. "Kamu yang pernah datang ke rumah bersama Rara, kan?" Tanya pria itu. Ardhan mengangguk dengan ragu, ia masih bingung dengan pria tersebut. Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangan. "Saya Gunawan, orangtua Rara dan Fany." Ardhan langsung ingat siapa sosok laki-laki itu. "Oh iya saya pernah lihat om." Balas Ardhan mengulurkan tangan ikut tersenyum. "Fany ini Papa." Kata Gunawan, Fany bersembunyi di belakang Ardhan tidak mau menatap orang yang sangat asing menurut nya. "Sepertinya dia tidak mengenali saya." Ardhan menatap iba pria paruh baya itu. Ardhan bisa melihat jika Gunawan sangat ingin berbicara dengan Fany. "Wajar Fany gak kenal karna Fany belum pernah ketemu sama om, mungkin ketemu waktu Fany masih kecil banget ya om?" Gunawan tersenyum kecil. "Sampai saya tidak tahu kalau Fany sudah sekolah, dan saya tidak bisa menghadiri acara wisuda Rara." "Papa pulang." Ucap Fany sambil menarik-narik jemari Ardhan. "Tadi Fany manggil kamu apa?" Tanya Gunawan. "Ceritanya panjang om, gimana kalo kita cari tempat untuk ngomong sekalian makan siang juga." Ujar Ardhan dan di balas anggukan oleh Gunawan. "Saya sama Rara udah nikah, om." Gunawan diam memperhatikan Ardhan. Sekarang mereka sudah berada di tempat makan yang cukup sepi. "Apa saya sudah tidak di anggap lagi sebagai ayah Rara sehingga Rara menikah saya tidak diberitahu?" Ardhan menggeleng, "bukan gitu om. Saya harap om gak ikutan benci sama saya, saya udah lancang banget." Ardhan diam sejenak lalu kembali berbicara. "Saya udah ngelakuin hal yang gak wajar ke Rara jadi saya bertanggungjawab dengan cara nikah sama Rara, sebelum Rara hamil." Tanpa rasa takut Ardhan terus membalas tatapan pria yang duduk dihadapannya. Sorot mata Gunawan menjadi menajam setelah mendengar pernyataannya. "Jadi sekarang kalian sudah menikah?" Tanyanya santai. Ardhan tidak menyangka jika reaksi Gunawan sangat tenang, tidak sepertinya yang lainnya marah bahkan memakinya. "Iya om, saya sama Rara udah nikah." Jawab Ardhan. "Rara dan Fany tinggal sama kamu?" Tanya Gunawan seraya memperhatikan penampilan Ardhan. "Iya om, tinggal di apartemen saya." "Saya pikir masih di rumah, saya sempat ke rumah yang Rara tempati tapi rumah itu sudah di jual." Ardhan menoleh ke arah Fany yang sedang makan kentang goreng dengan lesu karena merasa ada orang asing di dekat mereka jadi Fany tidak bersemangat. "Saya benar-benar menyesal sudah meninggalkan Rara dan juga Fany. Saya memang ayah yang jahat pergi begitu saja membiarkan Rara mengurus Fany sendirian sedangkan mertua saya tinggal di luar negeri. Tidak seharusnya saya lebih memilih perempuan itu dan mengorbankan kehidupan anak-anak saya. Rara pasti benci sekali dengan saya." Katanya dengan raut wajah penuh penyesalan. "Masih ada kata maaf untuk om, Rara pasti mau maafin om. Dan masih ada kesempatan untuk om buat jadi ayah yang baik untuk mereka." Gunawan mengangguk, "semoga saja, saya minta bantuan kamu ya. Tolong dekatkan saya dengan Rara dan juga dengan Fany." "Pasti om, saya pasti bantu." "Soal Fany manggil saya dengan sebutan Papa karna waktu itu Fany pernah liat temen-temen sekolahnya di anter sama orangtua mereka. Terus Fany bilang kalo dia gak punya Papa sama Mama, jadi saya nawarin diri ke Fany untuk jadi Papa nya Fany, dari situlah Fany manggil saya Papa. Saya akan bilang ke Fany kalo Papa Fany yang sebenernya itu om, bukan saya." Ucap Ardhan. "Terima kasih." Kata Gunawan sambil tersenyum. "Iya om sama-sama." "Papa pulang." Terdengar suara Fany yang sibuk meminta pulang. Ardhan mengangguk. "Maaf om saya sama Fany mau pulang. Om ke sini naik apa? Sama siapa?" Tanya Ardhan sambil membersihkan mulut serta tangan Fany menggunakan tisu. "Saya sendirian ke sini, hanya ingin jalan-jalan saja karna saya bingung harus bagaimana. Saya ke sini naik transportasi umum." Ardhan menatap Gunawan yang sepertinya sedang ada masalah. "Kalo gitu om pulang nya sama saya aja, biar saya anter ke rumah om." Gunawan menggeleng. "Saya sudah tidak punya rumah lagi. Saya ditinggalkan oleh istri dan anak saya. Sudah dua kali saya ditinggalkan." Katanya sambil tertawa kecil. "Bukannya saya gak mau ngajak om ke apartemen saya, tapi kayaknya Rara belum siap untuk ketemu sama om sekarang. Saya bakal bicara sama Rara soal om..." Ardhan mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "Ini ada uang buat om, terus ini kartu nama saya, di situ ada nomor telfon dan ada beberapa nama juga alamat hotel. Om dateng aja ke salah satu hotel yang ada di kartu itu, tunjukkin kartunya ke resepsionis abis itu om bakal dapet satu kamar hotel dari resepsionis nya." Ucap Ardhan. Gunawan memperhatikan Ardhan yang sudah berdiri dari atas sampai bawah. "Semua hotel ini punya kamu?" Tanyanya. "Punya ibu saya om, tapi saya yang ngurusin. Om tenang aja ibu saya gak bakal marah kok karna saya udah menggratiskan satu kamar hotel buat om, om juga Papa nya Rara, kan." Gunawan tertawa sambil mengangguk. "Sekali lagi terima kasih. Rara tidak salah pilih laki-laki." Ardhan tersenyum, setelah selesai berbincang Ardhan pergi terlebih dahulu karena Fany sudah rewel. "Mamaaa..." Pekik Fany sambil berlari ke arahnya memegang kotak mainan. Rara tidak membalas sapaan Fany, Rara malah jalan melewati Fany. "Mama!!!" Pekikkan tadi sudah berubah menjadi teriakan. "Jangan teriak-teriak!" Kata Rara. "Mama lagi kesel itu sama Fany karna Fany udah bilang ke Papa kalo Mama kepo Papa kerja apa gak terus Papa ada ngobrol gak sama Bu gurunya Fany." Ucap Ardhan tiba-tiba saja berdiri di dekat mereka. Rara menenggak habis minumannya lalu pergi ke dapur, padahal ia baru saja keluar dari dapur tapi balik lagi. Ardhan mengikuti Rara dari belakang tak lupa ia membawa Fany. "Bilang sama Mama tadi Papa kerja gak, terus tadi Papa ada ngomong-ngomong gak sama Bu gurunya Fany." Kata Ardhan kepada Fany dan sesekali melirik Rara yang sibuk sendiri. "Ma, tadi Papa gak kelja." Adu Fany sesuai dengan permintaan Rara saat mereka berdua berada di kamar. Rara diam masih sibuk memotong buah. "Terus tadi Papa ada ngomong-ngomong sama Bu guru gak?" Bukan Rara yang bertanya, melainkan Ardhan. "Ada. Bu gulu pegang tangan Papa." Ucap Fany seraya duduk di lantai ikut sibuk seperti Rara, bedanya Fany sibuk dengan kotak mainannya berusaha membuka kotak itu. Ardhan fokus memperhatikan ekspresi Rara dari ambang pintu dapur, ia sempat menangkap jika Rara melirik Fany setelah Fany berbicara kalimat terakhir tadi. "Ada yang mau kamu tanya lagi sama Fany?" Tanya Ardhan sudah duduk di samping Rara. "Motong buahnya gak usah emosi gitu, nanti jadinya tangan kamu yang ke potong. Udah berhenti motong buahnya." Ujar Ardhan mengambil pisau dari tangan Rara. "Daripada lo yang gue potong?" Tanya Rara kesal sendiri. "Jangan, aku masih pengen liat dia dulu." Rara menoleh ke arah Fany ketika Ardhan mengelus perutnya. Seolah-olah membuang muka. "Kapan kamu check up?" Tanya Ardhan mengambil buah yang sudah Rara potong. "Hari Jumat, tiga hari lagi." Jawab Rara tanpa menatap Ardhan. "Aku temenin. Dokternya ada kapan?" "Sore." Ardhan mengangguk. Melihat sikap tenang Rara, rasa jahil muncul di diri Ardhan. Membuat Rara kesal adalah hal yang ia sukai, dari dulu sejak mereka pacaran. "Ntar malem aku tidurnya di mana nih?" Tanya Ardhan tanpa henti memakan buah. "Terserah sih mau di mana." "Kok jawabnya terserah? Berarti kamu pengen ya aku tidur di kamar kamu lagi." Ardhan mencolek dagu Rara sambil tersenyum. Rara menyingkirkan tangan Ardhan, "ya udah tidur di kamar lo aja sana." "Kalo misalnya aku mau tidur di kamar kamu lagi?" "Udah dibilang terserah." "Jangan terserah dong. Aku tanya ya, aku boleh gak tidur di kamar kamu lagi? Jangan jawab terserah." Ardhan menatap lekat Rara dari samping. Rara menatap sekilas Ardhan dan mengangkat kedua bahunya. "Boleh atau enggak?" Jujur saja Rara ingin Ardhan tidur bersamanya walaupun mereka tidak bersebelahan. Tapi rasa gengsi Rara terlalu kuat sekarang ini membuatnya susah untuk mengakui. "Ra," "Kalo lo mau ya udah, kalo enggak ya udah. Terserah lo." Ucap Rara beranjak dari duduknya. "Kok terserah lagi sih? Kan aku udah bilang jawabnya jangan terserah." Rara berbalik menatap Ardhan, "lebih milih gue ngomong terserah atau lebih milih gue diem aja gak ngomong sama sekali?" Ardhan tersenyum manis, "of course i choose you to be my last breath." "Hueeek.." "Eh beneran muntah apa pura-pura muntah nih." Gumam Ardhan memperhatikan Rara yang sedang menutup mulutnya, tak lama wanita itu berjalan ke wastafel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN