Mayang Sakit

1219 Kata
##Bab 5 Mayang Sakit Bola mata Mayang tampak berputar, kelihatan seperti ia sedang mencari alasan. “Aku mau ke dokter gigi, Mas. Maaf ya, selama ini aku perawatan gigi nggak bilang-bilang,” sahut Mayang. Mataku menyipit sambil memegang kedua pipinya, lalu kubuka rongga mulutnya. “Mana? Nggak ada gigi yang ditambal, ngerawat apanya, Sayang?” tanyaku keheranan. Pipinya aku remas sambil becanda dengannya. “Mas, perawatan gigi memang harus ada yang ditambal?” tanya Mayang balik, sepertinya ia sudah pandai memutar balikkan fakta. Aku tersenyum tipis, kemudian mengelus-elus rambutnya ya selalu diikat dengan karet jepang. “Ya sudahlah, hati-hati di jalan, kalau butuh apa-apa telepon aja, ya. Oh ya, kamu ke dokter gigi memakai asuransi kantor, kan?” tanyaku lagi. “Iya, Mas,” jawabnya sambil tersenyum merekah. Aku segera bergegas berangkat ke kantor. Ada Pak Wijaya yang telah menunggu kehadiranku di ruang meeting. Takkan kubiarkan pekerjaan yang saat ini menjamin keluarga, harus turun lagi seperti dulu. Pak Wijaya mengancam itu, hari ini kegiatan meeting harus lebih baik dari kemarin. Jika tidak, habislah mata pencaharianku . “Gitu dong, meeting selesai dengan baik, mulus seperti jalan tol!” papar Pak Wijaya memuji sekaligus menyindirku. Kemudian, ia mengajak untuk masuk ke ruangannya. “Terima kasih, Pak. Semalam saya sudah mengorek sedikit informasi dari Mbok yang bekerja di rumah,” jelasku. Belum juga duduk aku sudah bicarakan persoalan rumah tangga bersama bos yang selalu care pada keluargaku. “Iya, bagaimana kelanjutannya? Apakah sudah menemukan titik terang tentang istrimu?” tanya Pak Wijaya penasaran. “Utang, Pak. Kata Mbok Ani, istriku bayar utang pada wanita yang bernama Rika, entahlah utang apa. Tapi, ada keganjalan lagi, katanya ibuku sering memarahi Mayang, Pak.” Aku menutup kedua wajah ini dengan kedua tanganku. Bahasa tubuh mengutarakan perasaan yang sedang bimbang dalam menghadapi kemelut rumah tangga ini. “Apa jangan-jangan, Mayang tertekan dengan Ibumu? Maaf Ardan, setahu saya, jika urusan rumah tangga sering diikut campur mertua, maka istri lah yang jadi korban,” pungkasnya membuat jantung ini seketika bergetar hebat. Apa iya ibu seperti itu? “Ada lagi keanehan Mayang, semalam ia bertanya tentang cinta, bertanya apakah ia merepotkan, dan juga tanya tentang persalinan Caesar apakah ia termasuk wanita sempurna,” terangku seketika membuat Pak Wijaya menggebrak meja. “Benar ini, istrimu ada tekanan batin oleh ibumu, coba untuk saat ini jauhkan ibumu dengan Mayang!” seru Pak Wijaya memberikan sedikit saran yang mencengangkan. “Menjauhi Mayang dari Ibu? Mana bisa, Pak! Nanti ibuku marah dan melaknat aku pastinya,” jawabku jujur. Sebab, aku tahu betul ibuku itu seperti apa. “Ya sudah, terserah kamu saja, pilih memisahkan ibumu dan Mayang untuk sementara, atau mengorbankan hati istrimu yang terluka?” tanya Pak Wijaya. “Pak, ini kan masih menduga-duga, saya belum tahu apakah ada konflik antara ibuku dan Mayang. Kalaupun iya, saya juga harus tahu konflik mereka itu apa? Dan Mayang tertekan oleh apa?” tanyaku dengan sejuta pertanyaan yang muncul di kepala. “Ya sudah, coba kamu hubungi orang yang bersangkutan utang, jangan bilang seorang Ardan belum mendapatkan nomer telponnya,” ejek Pak Wijaya. “Sudah, Pak. Saya akan hubungi Rika, dan menanyakannya langsung,” jawabku sembari merogoh saku celana. Kemudian, menghubungi Rika. Nada sambung berkali-kali terhubung, tapi tidak ada jawaban darinya. Kuputar kembali nomer kontaknya, hingga lima kali tersambung tapi tetap saja Rika tidak mengangkatnya. Akhirnya kututup dan kuletakkan kembali ponsel ke dalam saku celana sambil mendesah kesal. “Kenapa? Nggak diangkat? Datangi rumahnya, ini masalah berat, apalagi istrimu pernah berkata akan mengungkap semua pada tanggal 5 September, jangan sampai di tanggal tersebut, kamu menyesal sejadi-jadinya,” gertak Pak Wijaya. Seketika bulu kudukku bergidik, apa iya Mayang akan mengungkapkan sesuatu yang membuatku menyesal seumur hidup? “Lalu saya harus datang ke rumah Rika sekarang, Pak?” tanyaku masih bimbang. “Tunggu apa lagi? Ini sudah tanggal 27 Agustus, kamu hanya punya waktu beberapa hari saja. Kalau sudah tahu jawabannya, besok weekend ajak Mayang berlibur,” tuturnya membuatku ingin melangkah segera. Namun, seketika pikiranku terlintas ucapannya yang ingin ke dokter gigi pagi ini. Apa ia sudah jalan dan ke Rumah Sakit Maya Bakti? “Tunggu, Pak. Saya ada satu lagi yang menjanggal, semalam saya mendapati ada pesan masuk di ponselnya. Pesan itu berisikan kontrol di rumah sakit. Tapi tadi pagi ia bilang mau ke dokter gigi,” ungkapku kembali duduk. Tadi aku sempat bangkit, ingin segera ke rumah Rika, tapi teringat pesan yang tadi pagi dijelaskan Mayang. “Nih, pakai telepon kantor untuk hubungi pihak rumah sakit, apakah ada pasien yang bernama Mayang Kartika di rumah sakit tersebut, mau ke poli mana dia bilang? Kamu cari tahu, cepat!” perintahnya. Kemudian aku tekan tombol telepon yang berada di hadapanku. Lalu bicara dengan salah seorang petugas yang mengangkat teleponnya. “Rumah Sakit Maya Bakti, ada yang bisa saya bantu?” ucapnya ketika mengangkat telepon. “Halo, Mbak selamat pagi menjelang siang,” ucapku. “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu? Tanyanya sekali lagi. “Mbak, apa dari poli gigi sudah terdaftar nama pasien Mayang Kartika, dia istri saya, khawatir belum terdaftar,” terangku. “Sebentar, Pak. Boleh disebutkan tanggal lahir istrinya?” tanyanya. “27 Mei 1990, Mbak.” “Sebentar, saya cek,” sahutnya. Kemudian hening, petugas itu mengamati pasien yang bernama Mayang Kartika. “Maaf, Pak. Pasien Mayang Kartika belum terdaftar di poli gigi,” jawab petugas itu dengan lantang. “Loh, bukankah tiap bulan istri saya kontrol ke poli gigi?” tanyaku penasaran. “Tidak ada, Pak, di sini tidak ada nama Bu Mayang Kartika pagi ini,” sahutnya dengan yakin. “Baiklah, terima kasih, Mbak,” tutupku. Aku menghela napas, ternyata Mayang tidak daftar ke poli gigi. Untuk apa ia ke Rumah Sakit Maya Bakti? Tiba-tiba aku memiliki inisiatif untuk menghubungi pihak asuransi. Apakah hari ini ada klaim asuransi kesehatan pada istriku. Terbayang-bayang di kepala ini, jika ada sesuatu yang terjadi pada istriku, tapi suaminya ini tak mengetahui apapun. Kulihat Pak Wijaya sedang sibuk bicara melalui sambungan telepon di ponselnya. Terdengar dari panggilan nama itu seperti istrinya, tidak apalah jika aku memotong untuk bertanya. “Pak, saya boleh pinjam teleponnya lagi?” tanyaku pelan saat Pak Wijaya sedang serius menerima panggilan telepon dari istrinya. Ia pun hanya mengangguk dan mengisyaratkan melalui tangannya. Aku coba hubungi pihak asuransi, dan menanyakan klaim asuransi. “Halo selamat pagi menjelang siang, Mbak,” ucapku terlebih dulu. “Iya, ada yang bisa kami bantu?” “Saya mau menanyakan perihal klaim asuransi atas nama Mayang Kartika, dan pertanggungjawaban dari Ardan Maulana, bisa Mbak?” “Bisa, Pak. Tunggu sebentar, bisa sebutkan nomer kartu yang tertera di kartu asuransi?” jawabnya dengan melontarkan pertanyaan. “321456789AM,” jawabku. “Baik, tunggu sebentar,” sahutnya lagi. Setelah beberapa detik ia memberikan nada tunggu, akhirnya diangkatnya kembali. “Halo, Pak. Hari ini Bu Mayang Kartika, tepat jam sembilan pagi melakukan kontrol di Rumah Sakit Maya Bakti,” ucapnya membuatku terperangah. Bukankah tadi pihak rumah sakit mengatakan tidak ada pasien di poli gigi yang bernama Mayang Kartika? Apa karena aku hanya tanyakan khusus poli gigi? Jadi petugas rumah sakit pun hanya memberikan informasi seputar pertanyaanku? “Maaf Mbak, atas diagnosis apa ya?” tanyaku balik. Jantungku berdegup kencang, tidak kusangka Mayang memiliki banyak rahasia yang tidak kuketahui, termasuk memiliki penyakit. Semua terselimuti dengan rapi. Astaga, dalam hati kecil ini tak rela jika memang ia menderita penyakit, apa pun itu. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN