Hari ini Eliza sedang tidak enak badan dan hal itu membuat Farhat jadi berat pergi bekerja, ia tidak tega meninggalkan Eliza sendirian di kontrakan tanpa ada yang menemani. Namun, jika ia tidak pergi bekerja, maka tidak akan ada penghasilan yang masuk hari ini. Saat ini semua bergantung pada Farhat karena tidak mungkin Farhat membiarkan Eliza bekerja. Awalnya, Eliza memang sempat menawarkan diri untuk bekerja seadanya setelah tidak diterimanya ia di berbagai perusahaan, tetapi jelas saja Farhat melarang. Selagi ia mampu, maka ia akan berusaha membahagiakan Eliza. Tidak akan pernah ia membiarkan istri tercintanya kesusahan, semua yang ia lakukan selama ini demi Eliza.
Eliza mengeluh kalau ia pusing dan mual-mual sehingga membuat Farhat begitu khawatir. Pria itu sudah menawarkan mengajak Eliza ke rumah sakit, tetapi Eliza menolak karena biaya rumah sakit yang begitu besar. Eliza tidak ingin uang Farhat habis banyak hanya karena dirinya. Perlahan Eliza mulai memahami kehidupan sederhana bersama Farhat, walau sebenarnya di dalam lubuk hatinya agak berat menjalani ini semua, tetapi Eliza yakin kalau bersama Farhat ia akan bahagia. Sakit kecil seperti ini tidak akan membuat dirinya mati, mungkin saja apa yang ia alami ini merupakan gejala masuk angin. Karena biasanya gejalanya Seperi inilah saat masuk angin.
"Sayang, ayo Mas antar aja ke rumah sakit, Mas nggak tega ngeliat wajah pucat kamu," ucap Farhat sambil mengusap dahi Eliza dengan sayang.
"Nggak perlu, Mas, aku yakin ini pasti cuma masuk angin aja." Eliza langsung menolak.
"Apa kamu mau Mas kerokin aja?" tawar Farhat.
"Nggak, Mas, aku mau istirahat aja. Mas berangkat kerja aja sana, nanti telat loh." Meskipun sedang sakit, Eliza masih mengkhawatirkan Farhat yang bisa saja terlambat.
"Mas nggak mungkin ninggalin kamu yang lagi sakit begini, Mas nggak tega."
"Aku nggak apa-apa, Mas, aku cuma kecapaian atau masuk angin aja kayaknya. Nanti dibawa istirahat juga pasti sembuh," ujar Eliza berusaha meyakinkan Farhat kalau ia memang benar-benar tidak apa-apa.
"Beneran?" tanya Farhat.
"Iya, Mas, serius. Berangkat gih sana, cari uang yang banyak biar kita bisa jalan-jalan lagi," canda Eliza.
"Kamu ini, lagi sakit masih sempat juga bercanda." Farhat mencubit kecil hidung Eliza.
"Biar Mas nggak terlalu khawatir, lagian sakit aku juga nggak parah, Mas. Jangan terlalu berlebihan gitu, sana fokus aja kerjanya." Eliza kembali mengusir Farhat agar suaminya itu berangkat kerja.
"Oke, karena si ratu di hati Mas minta agar Mas pergi maka akan Mas turuti." Mendengarnya, Eliza mencibir hingga membuat Farhat terkekeh pelan.
"Mas berangkat ya, kalau ada apa-apa kamu hubungi Mas aja. Banyak-banyak istirahat, Mas janji akan pulang cepat hari ini." Eliza mengangguk.
"Iya, Mas Sayang."
Sebelum pergi, Farhat mencium kening Eliza. Mencurahkan rasa sayang dan cintanya dalam ciuman itu. Diusapnya lembut surai panjang Eliza sebelum benar-benar keluar dari kamar mereka. Menatap kepergian Farhat, Eliza hanya tersenyum tipis dan memilih memejamkan matanya.
Farhat berangkat ke pasar dengan raut wajah kusutnya, ia benar-benar masih mengkhawatirkan Eliza. Namun, yang dikhawatirkan malah memaksanya agar berangkat kerja, Eliza benar-benar pengertian. Wanita itu tidak mau Farhat absen kerja hanya untuk menjaganya, terkadang Farhat bingung bagaimana bisa Eliza yang menurutnya wanita sempurna itu bisa jatuh cinta dengannya.
"Farhat, muka lo kenapa kusut gitu? Kayak baju lo yang nggak pernah disetrika," ujar Andi menyapa Farhat yang duduk di sebuah bangku dekat toko kelontong.
"Istri gue lagi sakit, nggak tega banget tadi ninggalin dia sebenarnya. Tapi mau nggak mau gue harus kerja, mau makan apa coba kalo nggak kerja?" Farhat membiarkan Andi duduk di sebelahnya.
"Sakit apa emang? Udah dibawa ke dokter?" tanya Andi.
"Wajahnya pucat banget, beberapa hari ini sering mual muntah juga. Tadinya mau gue ajak ke dokter, tapi nggak mau dianya." Andi manggut-manggut mendengar jawaban Farhat.
"Bukan sakit parah itu mah, lo tenang aja." Farhat langsung menoleh ke arah Andi ketika pria itu berucap begitu santai.
"Nggak parah gimana? Wajahnya tadi sebelum berangkat pucat banget, gue jadi khawatir." Andi terkekeh pelan, pria itu menepuk bahu Farhat.
"Coba pulang nanti lo beliin istri lo testpack, minta dia periksa," ujar Andi membuat Farhat semakin bingung.
"Testpack? Bukannya itu alat buat ngetes kehamilan?" Andi mengangguk menjawab pertanyaan Farhat.
"Yap, gue duga kalo istri lo lagi hamil. Dulu istri gue juga gitu, mual, muntah, wajahnya pucat. Gue minta dia periksa pake testpack dan ternyata memang hamil. Mungkin istri lo juga gitu," ucap Andi.
Farhat terdiam mendengar perkataan Andi, rasanya tak percaya kalau memang benar sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah. Eliza benar-benar hamil? Mungkinkah itu terjadi? Farhat jadi tak sabar ingin meminta Eliza memeriksa dengan testpack.
"Ah serius lo? Awas aja kalo bohongin gue, gue udah berharap nih."
"Serius, Farhat, kalo nggak percaya gih sama lo beli testpack terus langsung pulang dan minta istri lo buat periksa sekarang." Andi mendorong punggung Farhat, meminta agar pria itu berdiri.
"Iya, nanti. Tapi nggak sekarang soalnya gue udah janji bantu angkat-angkat barang di toko itu," ucap Farhat sambil menunjuk toko barang.
"Iya deh, serah lo aja. Ya udah kalo gitu gue balik kerja lagi dulu ya, anak gue butuh dibeliin s**u nih." Sebelum pergi, Andi menepuk sekilas bahu Farhat.
"Farhat!" Farhat langsung menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya.
"Ah iya, Pak!" Farhat segera menghampiri bapak-bapak pemilik toko barang itu.
"Tolong bantu angkat kardus ini ke mobil ibu ini ya," ujar Pak Banda
"Baik, Pak." Farhat segera mengangkat kardus yang cukup berat itu dan membawanya ke mobil milik ibu-ibu pelanggan.
"Terima kasih ya, Nak." Ibu-ibu itu menyerahkan sejumlah uang pada Farhat.
"Eh, nggak usah, Bu. Nanti saya digaji sama Pak Banda," tolak Farhat.
"Udah nggak apa-apa ambil aja, anggap aja rezeki kamu. Ibu senang sama anak muda pekerja keras kayak kamu," ujar ibu-ibu itu memaksa Farhat menerima uang darinya.
"Terima kasih banyak, Bu."
"Iya sama-sama, Ibu pergi dulu ya." Farhat mengangguk dan membiarkan ibu-ibu itu memasuki mobilnya kemudian ia lebih memilih kembali ke toko barang milik Pak Banda karena ada beberapa barang yang harus ia bantu angkat lagi.
"Itu barang-barang yang harus kamu angkat lagi, kalo bisa gercep ya. Masih banyak pembeli yang butuh bantuan kamu," ujar Pak Banda.
"Baik, Pak."
Satu persatu barang Farhat angkat dan antarkan ke tempat yang pembeli inginkan hingga tak terasa kalau keringatnya sudah bercucuran. Ia mengelap keringat di dahi serta lehernya menggunakan handuk kecil yang menggantung di bahunya. Bekerja seperti ini memang butuh perjuangan, terutama tenaga yang memang dikuras habis. Bekerja seperti ini sangat membutuhkan tenaga yang ekstra, otak tak terlalu dipikirkan. Terkadang Farhat berpikir, untuk apa ia kuliah tinggi-tinggi kalau pada kenyataannya ia harus bekerja dengan mengandalkan tenaga.
Farhat menggelengkan kepalanya ketika pikiran itu tiba-tiba terlintas, tidak perlu ada yang disesali karena sejak dulu sekolah tinggi-tinggi merupakan impiannya. Lagipula, akan ada saatnya nanti pendidikannya dibutuhkan, tetapi mungkin bukan saat ini. Lagipula kalau dipikir-pikir, jika ia tidak kuliah mana mungkin ia bisa bertemu dengan Eliza. Ia yakin kalau semua yang ia perbuat apalagi itu baik maka akan ada hikmahnya.
"Pak, pekerjaan saya sudah selesai. Apakah saya boleh izin pulang lebih awal?" tanya Farhat pada Pak Banda.
"Iya boleh, tunggu sebentar!" Pak Banda berjalan menuju mejanya untuk mengambil upah kerja keras Farhat hari ini.
"Ini upah kamu hari ini," ujar Pak Banda sambil memberikan Farhat uang.
"Terima kasih banyak, Pak." Farhat menerimanya dengan senang.
"Sama-sama, hati-hati di jalan!" teriak Pak Banda.
"Iya, Pak!"
Dengan semangat serta harapan yang membumbung tinggi, Farhat pergi menuju apotek terdekat untuk membeli alat tes kehamilan yang tadi sempat Andi katakan padanya.
"Mbak, saya mau beli testpack," ujar Farhat pada salah satu penjaga apotek.
"Mau tanya merk apa, Mas?" Ditanya merk membuat Farhat bingung karena ia jelas saja tidak terlalu paham dengan yang namanya testpack, ini saja baru pertama kali baginya membeli testpack dan mungkin akan menjadi pertama kalinya ia melihat benda itu secara langsung.
"Yang paling akurat yang mana ya, Mbak?" tanya Farhat.
"Semuanya akurat kok, Mas." Mbak-mbak itu menaruh beberapa merk testpack di atas lemari kaca dan menunjukkannya pada Farhat.
"Eum, kalo gitu saya beli semuanya aja deh, Mbak." Daripada bingung disuruh memilih, lebih baik Farhat membeli semuanya saja. Biarlah sesekali boros hanya untuk membeli barang bernama testpack, karena barang yang akan ia beli ini adalah sumber kebahagiaan lanjutannya nanti.
"Baik, Mas."
Setelah membeli barang itu, Farhat mampir ke sebuah warung makanan yang menjual bubur ayam. Ia membeli dua porsi bubur ayam kemudian barulah ia memutuskan pulang ke rumah.
"Assalamualaikum, Sayang!" Farhat langsung memanggil Eliza ketika ia sudah memasuki rumah.
"Sayang, kamu di mana!?" teriak Farhat ketika tidak mendapati keberadaan Eliza di kamar mereka.
"Aku ada di dapur, Mas!" Bergegas Farhat berjalan menuju dapur.
"Kamu lagi apa? Bukannya istirahat aja, kamu 'kan lagi sakit," ujar Farhat.
"Aku nggak apa-apa, Mas. Badan aku sekarang agak mendingan, tadi aku laper dan niat masak buat makan siang kita. Nggak tahunya aku gorengnya kelamaan, jadi gosong deh. Maafin aku yang nggak bisa apa-apa ini ya, Mas." Eliza menundukkan wajahnya.
"Sayang, sini duduk." Farhat menuntun Eliza agar sang istri duduk.
"Kamu nggak perlu kerja keras seperti ini, aku terima kamu apa adanya. Aku nggak mau kamu kecapaian apalagi sekarang lagi sakit. Tadi aku udah beli bubur ayam sebelum pulang, kita makan itu sama-sama aja ya. Nggak perlu mikir kamu harus masak lagi ya," ujar Farhat. Pria itu mengangkat dagu Eliza agar istrinya itu menatap ke arahnya.
"Makasih, Mas."
"Sama-sama, Sayang. Kita makan sama-sama ya, nanti ada yang mau Mas omongin setelah kita makan." Farhat mengeluarkan bungkus bubur itu dadi dalam plastik, mengambil dua mangkuk kemudian memindahkan bubur itu ke dalam mangkuk.
"Buburnya kok lembek gitu sih, Mas?" tanya Eliza menatap tak suka ke arah mangkuk berisi bubur ayam.
"Bubur 'kan memang lembek, Sayang, bukan bubur namanya kalo nggak lembek." Farhat heran ketika sikap Eliza berubah, yang ia tahu selama mereka pacaran Eliza sangat suka sekali dengan bubur ayam. Mengapa sekarang Eliza seakan menolak?
"Aku nggak suka, baunya aneh! Nggak mau makan!" Eliza mendorong mangkuk bubur itu agar menjauh darinya kemudian menutup hidungnya dengan kedua jarinya.
"Terus, kamu mau makan apa, Sayang? Kamu 'kan habis sakit, harus makan yang lembut-lembut. Makanya tadi Mas beliin kamu bubur," ujar Farhat berucap selembut mungkin.
"Aku mau makan nasi putih aja Mas, nggak usah pake apa-apa. Lagi nggak selera makan," balas Eliza.
"Oke, Mas ambilin dulu. Kamu tunggu sini." Farhat mengalah, sepertinya ia yakin dengan perubahan sikap dan kebiasaan Eliza ini. Agaknya apa yang Andi katakan padanya tadi benar kalau istrinya sedang berbadan dua.
"Ini, makan dulu, Sayang." Farhat menaruh piring berisi nasi putih.
"Makasih, Mas!"
Hal yang membuat Farhat semakin yakin dengan tebakannya adalah ketika Eliza makan nasi putih itu dengan semangat, seakan nasi putih itu adalah makanan terenak sedunia.
"Sayang, udah berapa hari kamu nggak datang bulan?" tanya Farhat tiba-tiba.
"Eum berapa ya, sebentar, Mas." Eliza nampak berpikir.
"Udah tiga minggu kalo nggak salah, aku sih biasanya kadang emang suka telat gini sih. Emangnya kenapa, Mas?" tanya Eliza.
"Coba kamu cek dulu, Mas khawatir kalo kamu sekarang lagi hamil dan kamu nggak nyadar." Farhat menyodorkan kantung plastik berisi beberapa testpack tadi pada Eliza.
"Testpack? Hamil?" tanya Eliza.
"M-masa aku hamil, Mas?" Eliza menatap Farhat tak percaya.
"Kata temen Mas gejala yang kamu alami beberapa hari ini seperti istrinya yang sedang hamil, biar lebih jelas coba Mas minta kamu periksa pake testpack yang Mas beli itu."
"Aku coba periksa dulu ya, Mas." Eliza berdiri, berniat pergi ke kamar mandi.
"Perlu Mas antar?"
"Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri, kamar mandi juga dekat kok." Eliza menolak dan langsung pergi ke kamar mandi.
"Gimana, Sayang?" tanya Farhat harap-harap cemas ketika Eliza kembali menghampirinya.
"S-semuanya dua garis, Mas," jawab Eliza sambil menunjukkan hasil testpacknya.
"I-itu artinya?" tanya Farhat harap-harap cemas.
"Artinya kita akan menjadi orang tua, Mas, aku hamil." Antara percaya dan tidak atas apa yang dikatakannya sendiri, Eliza hanya diam mematung. Perasaannya campur aduk antara bahagia sekaligus takut.
"Alhamdulillah, terima kasih, Sayang!" Farhat langsung membawa Eliza ke dalam pelukannya.
"Sayang?" Farhat merenggangkan kedua untuk melihat ekspresi Eliza.
"Kamu nggak senang dengan kabar baik ini? Nggak mau hamil anak aku?" tanya Farhat.
"B-bukan itu, Mas," ujar Eliza.
"Lalu?"
"Kehamilanku ini benar-benar menjadi, a-aku takut nanti nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak kita, Mas." Farhat lega mendengar alasan Eliza, ia pikir istrinya benar-benar tidak terima dengan kehamilannya itu.
"Mas yakin kamu pasti bisa mengurus anak kita, Mas juga sama sepertimu. Mas juga butuh belajar biar jadi ayah yang baik untuk anak kita, kita bisa belajar sama-sama ya. Membesarkan anak kita nantinya dengan penuh kasih sayang," ujar Farhat.
"Iya, Mas." Eliza mengangguk hingga Farhat kembali memeluknya.