Hari ini tepat sudah satu bulan Farhat dan Eliza membina rumah tangga, Farhat selalu sibuk dan sering pulang terlambat. Hal itu membuat Eliza merasa mati kebosanan karena hanya sendirian di rumah kontrakan kecil ini, apalagi udara kota sangat panas sekali. Jangankan ada AC, kipas angin saja sepertinya tidak mungkin ada. Perlahan-lahan Eliza menjadi paham dengan hidup suaminya, tetapi ia tidak boleh mengeluh karena ini sudah menjadi keputusannya. Menikah dengan Farhat adalah keinginannya, tetapi untuk hidup susah, siapakah yang menginginkan kehidupan seperti itu? Ia yakin semua orang sepertinya tidak akan mungkin menginginkan kehidupan yang sedang ia jalani ini.
Farhat selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Eliza, sebisa mungkin ia memberikan nafkah untuk Eliza meskipun itu tidak bisa mengikuti kehidupan hidup Eliza yang biasanya mewah dan glamor. Untungnya Eliza sama sekali tidak mengeluh akan hal itu, Eliza selalu sabar dan menerimanya. Hal yang tak pernah Farhat duga adalah ketika Eliza mengorbankan perawatan wajah yang biasanya rutin dijalani oleh sang istri untuk kehidupan mereka selanjutnya. Sepertinya Farhat tidak salah dalam memilih istri, Eliza benar-benar baik. Memang beberapa kali ini Eliza sempat mengeluh, tetapi setelah mengeluh semua kembali damai lagi seakan tak pernah terjadi apa-apa. Beberapa kali sempat ada pertengkaran kecil, tetapi dengan cepat mereka menyelesaikan pertengkaran itu agar tidak menjadi pertengkaran yang besar.
"Mas, kalo hari ini aku izin keluar boleh?" tanya Eliza ketika Farhat tengah membuat sarapan untuk mereka sedang dirinya duduk di sebuah kursi.
"Mau pergi ke mana?" tanya balik Farhat menatap sang istri sekilas kemudian sibuk dengan masakannya.
"Aku bosan di rumah, Mas, aku mau cari kerja. Aku mau kalau aku bisa bantu keuangan kita, Mas. Aku nggak bisa diam aja di rumah, percuma gelar sarjana aku kalo nggak kepake," ujar Eliza.
"Mas, kok diam aja? Mas nggak ngizinin ya?" tanya Eliza setelah beberapa menit ia menunggu dan Farhat sama sekali tidak membuka suaranya.
Farhat terdiam sejenak, sejujurnya ia tidak rela membiarkan Eliza mencari pekerjaan karena ia ingin Eliza bisa hidup aman dan nyaman di rumah. Namun, jika ia tidak mengizinkan Eliza, ia takut sang istri akan marah karena mengira kalau ia ingin membatasi kegiatan Eliza.
"Eh, kamu udah nentuin mau kerja di mana?" tany Farhat. Pria itu mematikan kompor kemudian memindahkan nasi goreng yang baru ia masak ke dalam wadah.
"Belum tahu, Mas, tapi nanti aku mau coba ngelamar pekerjaan di beberapa perusahaan. Barangkali nanti ada yang nerima aku 'kan, apalagi nilai aku ini nggak buruk-buruk amat." Eliza sepertinya penuh percaya diri sekali kalau nanti akan ada perusahaan yang menerima dirinya sebagai karyawan.
"Mas sebenarnya khawatir sama kamu, tapi apa mau dikata kalau Mas ngelarang kamu, kamu pasti terus desak Mas sampai Mas menyetujui keinginan kamu." Mendengar perkataan Farhat, Eliza tersenyum.
"Mas emang paling ngerti sama sifat aku, jadi?"
"Mas izinin, asal kamu jangan terlalu lelah ya. Jangan lupa juga harus tahu batasan kamu sebagai seorang wanita yang sudah menikah," ucap Farhat.
"Tentu aja, Mas, Mas jangan khawatir. Hati aku ini cuma buat kamu, Mas, nggak ada yang lain. Makasih Mas!" Eliza berdiri, ia langsung menghampiri Farhat dan memeluk tubuh suaminya itu erat.
"Hati-hati, Sayang, ini panas," ucap Farhat ketika hampir saja lengan Eliza mengenai wadah berisi nasi goreng yang asapnya masih mengepul.
"Hehehe, maaf, Mas." Eliza melepaskan pelukannya dan kembali duduk di tempatnya.
"Lagi-lagi sarapan kita nasi goreng, nggak apa-apa 'kan, Sayang?"
"Nggak apa-apa, Mas, kamu masakin sarapan buat aku aja udah seneng banget," balas Eliza tersenyum begitu manis.
"Sini biar aku siapin buat Mas." Eliza menyendokkan nasi goreng itu dan memasukkannya ke dalam piring kosong kemudian memberikannya pada Farhat.
"Makasih, Sayang."
"Sama-sama, Mas."
Mereka berdua makan dalam diam, Farhat terlihat bingung ingin membuka pembicaraan apa karena sejujurnya ia ingin membahas keputusan Eliza yang ingin mencari pekerjaan. Ia takut kalau Eliza nanti ditolak oleh beberapa perusahaan, maka sang istri akan sangat bersedih. Bukannya ia meremehkan kemampuan Eliza, hanya saja ia benar-benar khawatir jika itu sampai terjadi.
"Mas, kenapa Mas nggak ikut aku aja? Kita bareng-bareng ngelamar kerja ke beberapa perusahaan. Pasti seru banget kalau sampai kita sama-sama keterima, Mas." Farhat menghentikan kegiatan makannya ketika mendengar perkataan Eliza.
"Mas udah pernah coba beberapa kali ngelamar kerja sebelum balik lagi ke pasar, Liza," ucap Farhat sambil menghela napas.
"Terus hasilnya gimana, Mas?" tanya Eliza sangat antusias.
"Nggak keterima," jawab Farhat.
"Kok bisa sih? Kan Mas itu pinter, nilainya semua bagus. Kenapa bisa nggak keterima?"
"Mungkin belum rezekinya Mas, yang harus kamu lakukan adalah tetap semangat. Mas doakan semoga kamu bisa keterima di sebuah perusahaan sesuai dengan impian kamu sejak dulu, semangat, Sayang." Meskipun Farhat telah menyemangatinya, tetapi Eliza hanya diam saja.
"Mendengar cerita Mas kalau Mas nggak keterima, aku jadi ragu kalau aku bisa masuk, Mas. Mas yang pinter aja nggak bisa masuk ke perusahaan, gimana aku yang biasa-biasa ini?" Eliza merasa rendah diri.
"Jangan bilang gitu, rezeki setiap orang 'kan berbeda-beda. Kamu belum coba jadi nggak boleh ngomong begitu, siapa tahu aja nasib kamu hari ini baik. Kamu harus semangat, Sayang, Mas selalu mendoakan kebaikan kamu." Farhat meraih tangan Eliza kemudian ia genggam, memberi kekuatan pada sang istri kalau istrinya itu tidak boleh menyerah.
"Karena Mas udah nyemangatin aku maka aku harus semangat!" Sepertinya perubahan suasana hati Eliza cepat sekali berubah, dari yang semula murung menjadi ceria kembali.
"Habis sarapan, Mas bantu aku pilih-pilih pakaian kerja ya," ucap Eliza.
"Eh? Kok Mas? Mas 'kan nggak bisa apa-apa, Liza," balas Farhat terkejut.
"Bisa kok."
Setelah selesai sarapan, Eliza benar-benar memaksa Farhat agar mau membantunya memilih pakaian kerja. Wanita itu dengan semangat mengeluarkan semua pakaian formalnya dan menatanya di atas tempat tidur, memperlihatkan pakaian-pakaian itu pada sang suami.
"Biar Mas lebih mudah bantu aku nentuinnya, kayaknya aku harus langsung coba deh. Aku pake yang ini dulu ya." Eliza mengambil satu set pakaian kemudian langsung mengenakannya, ia menunjukkan hasilnya pada Farhat yang menganga melihat istrinya yang semakin cantik ketika memakai pakaian formal.
"Kamu pakai baju ini jadi tambah cantik, Mas jadi nggak rela kamu pergi. Takut nanti kamu kecantol pemilik perusahaan itu," ucap Farhat menatap takjub istrinya yang terlihat cantik dan dewasa.
Mendengar perkataan Farhat, Eliza terkekeh pelan. Menurutnya suaminya itu terlalu berlebihan, padahal mau ia pakai baju apapun dirinya tetap sama. Tidak pernah berubah.
"Mana mungkin aku mau kecantol sama pemilik perusahaan yang udah bapak-bapak dan beristri Mas? Walau uangnya banyak aku nggak mau jadi istri kedua apalagi wanita simpanan. Mendingan jadi istri Mas Farhat aja yang jadi satu-satunya wanita di hati Mas," ucap Eliza sambil mendekati Farhat.
"Mau kamu kaya atau miskin pun aku tetap pilih kamu, Mas, nggak ada pria yang bisa buat aku jatuh cinta selain kamu," bisik Eliza pelan kemudian memberikan kecupan singkat di bibir sang suami.
Eliza terkekeh ketika melihat wajah cengo Farhat saat mendapat sebuah kecupan singkat itu. Suaminya benar-benar menggemaskan.
"Mas? Kok bengong? Katanya mau kerja juga, harus siap-siap dari sekarang biar nggak telat," ucap Eliza.
"A-ah iya." Farhat tersadar, gelagapan ia langsung pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka setelah terpesona dengan kelakuan istrinya.
"Mau bareng Mas nggak naik angkot?" tanya Farhat menawarkan.
"Kayaknya aku mending naik ojek aja, Mas, biar bisa dianterin sampai tujuan," jawab Eliza.
"Ya udah, kalo gitu kamu hati-hati di jalan ya."
"Iya, Mas. Aku pergi dulu." Eliza mengulurkan tangannya, mencium punggung tangan suaminya.
"Iya, Sayang."
Farhat melambaikan tangannya ketika sang istri sudah naik salah satu ojek yang cukup dikenal Farhat karena tukang ojek itu adalah tetangga rumah kontrakan mereka. Setelah Eliza dan tukang ojek itu tak terlihat lagi, Farhat berjalan menuju jalan raya terdekat dari rumah kontrakannya untuk menunggu angkot yang biasanya lewat.
"Farhat, lo bisa jadi kenek gue nggak hari ini? Nanti gue bagi deh hasilnya setelah dapat penumpang banyak. Gimana? Lumayan 'kan daripada lo harus ke pasar angkat-angkat barang yang berat." Salah satu sopir angkot menghentikan angkotnya dan langsung menawarkan pekerjaan pada Farhat.
"Loh? Emangnya si Jali ke mana, Bang?" tanya Farhat menanyakan seorang kenek yang biasanya menemani Bang Herman alias si sopir angkot yang biasanya tukang mengantar para emak-emak ke pasar atau anak-anak ke sekolah.
"Sakit perut dia jadi nggak bisa nemenin gue narik. Jadi, lo mau kagak nih?" Bang Herman kembali menanyakan kesediaan Farhat.
"Mau lah, Bang, pamali kalo nolak rezeki." Farhat jelas saja menyetujui, semua pekerjaan yang sekiranya halal sudah jelas tak pernah ia tolak.
"Nah bagus, kalo gitu gue 'kan nggak perlu susah payah lagi buat nyari kenek pengganti. Oke, lo langsung naik aja ke angkot gue, nanti kita berhenti di pangkalan angkot. Lo bantu gue narik penumpang ya," ujar Bang Herman.
"Siap, Bang!" Farhat langsung menaiki angkot itu.
"Ayo, berangkat, Bang!" teriak Farhat.
"Oke, siap!" Bang Herman langsung tancap gas berangkat menuju pangkalan angkot yang biasanya selalu ramai dengan para penumpang yang ingin bepergian ke pasar.
"Nah tuh, coba lo tarik para penumpang itu biar pada naik angkot kita. Teriak yang kencang biar mereka pada dengar," ujar Bang Herman.
"Oke, Bang, siap!" Farhat keluar dari mobil angkot, ia berdiri sambil menatap para orang-orang yang ramai di sana.
"Yang mau ke pasar tanah abang! Ayo silakan naik ke angkot Bang Herman! Ayo ayo! Mari semuanya ke sini!" teriak Farhat memulai promosinya.
"Yok ayo! Pasar tanah abang! Pasar tanah abang!"
Beberapa orang yang memang ingin pergi ke pasar tanah abang pun langsung merapat pada Farhat, Farhat langsung mempersilakan ibu-ibu muda ataupun ibu-ibu yang sudah dewasa itu menaiki angkotnya.
"Ke pasar tanah abang, Bang?" tanya salah seorang ibu muda yang dandanannya sedikit menor.
"Iya, Bu, ayo silakan langsung masuk. Masih tersisa banyak tempat," jawab Farhat ramah.
"Kalau ke hati Abang boleh nggak nih?" Ibu-ibu muda itu bersikap genit dengan mengedipkan sebelah matanya, Farhat hanya tersenyum menanggapinya.
"Uhuyy! Cieee!"
"Ingat suami dan anak di rumah, Bu!"
"Prikitiw!"
"CUIT! CUIT!"
Beberapa siulan serta godaan dari penumpang lainnya terdengar begitu nyaring membuat Farhat hanya bisa menggaruk belakang kepalanya.
"Hehehe, nggak bisa, Bu. Soalnya saya udah ada istri yang nunggu di rumah, harus bisa jaga-jaga hati. Ibu juga udah punya anak dan suami 'kan, harap dijaga ya, Bu." Ibu-ibu muda itu cemberut, tanpa kata ia langsung menaiki angkot. Banyak penumpang lain menyoraki ibu-ibu muda itu membuat wajahnya semakin tertekuk, Farhat sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Hasil dari menjadi kenek angkot Bang Herman lumayan karena hari ini begitu banyak penumpang yang naik ke angkotnya Bang Herman. Hal itu membuat Farhat tak perlu lagi pergi ke pasar karena pendapatan hari ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan menabung perhari. Hingga akhirnya Farhat memutuskan pulang lebih awal dari biasanya. Sesampainya di rumah ia mendapati Eliza sudah pulang dari mencari kerja, wajah Eliza terlihat begitu murung membuat Farhat sudah dapat menebak apa yang telah terjadi.
"Sayang, sudah pulang?" tanya Farhat membuat Eliza langsung menghampiri pria itu kemudian memeluknya.
"Ada apa? Kok nangis?" Farhat membalas pelukan Eliza ketika istrinya itu terisak dalam dekapannya.
"A-aku udah keliling ke semua perusahaan dari yang besar ke yang kecil, tapi nggak ada satupun perusahaan yang Nerima aku, Mas. Hiks ... hiks ... hiks ...." Ternyata benar dugaan Farhat.
"Shutt, sabar, Sayang. Mungkin hari ini belum rezekinya," ujar Farhat.
Pria itu menggiring agar istrinya duduk kembali di atas sofa panjang yang sudah usang bersama dengan dirinya.
"Jangan nangis." Farhat mengusap kedua pipi putih Eliza yang basah.
"Hari ini Mas pulang lebih awal dan kebetulan dapat upah lebih besar dari biasanya, kita jalan-jalan mau?" tawar Farhat.
Farhat tahu sekali kalau untuk menghibur Eliza maka ia harus mengajak istrinya jalan-jalan, meskipun ia harus rela kalau uangnya pasti akan berkurang banyak. Namun, tak mengapa karena semua demi kebahagiaan istrinya, apapun akan ia lakukan.
"Mau, Mas." Eliza menganggukkan kepalanya.
"Cuci muka dulu, Mas mau masak makan siang buat kita. Habis makan kita jalan-jalan," ujar Farhat.
Di tempat lain, seorang pria yang tak lain adalah Pak Rendi tengah menunggu kabar terbaru dari seseorang. Pria paruh baya itu langsung mengangkat panggilan yang masuk dengan tak sabaran.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Semuanya sesuai dengan apa yang Bapak mau, tidak ada perusahaan yang menerima Nona Eliza bekerja," ujar suara dari seberang sana membuat Pak Rendi tersenyum.
"Baguslah."
"Pastikan Eliza dan pria itu tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sampai Liza sendiri yang meminta kembali ke rumah," ucap Pak Rendi.
"Baik, Pak, menurut pengawasan saya kalau selama ini Nona Eliza mengalami kesusahan. Saya yakin sekali kalau Nona pasti akan melakukan hal yang Bapak inginkan." Pak Rendi tersenyum mendengarnya, meskipun ia berkata kalau tidak peduli lagi pada Eliza. Namun, pada kenyataannya ia tidak berhenti mengawasi, sengaja membuat anaknya itu susah agar Eliza sadar diri kalau putri keluarga kaya tidak cocok dengan pria miskin seperti Farhat. Hanya menunggu waktu, maka Eliza pasti akan merengek pulang kepadanya.