Hal yang pertama kali Farhat lihat ketika terbangun dari tidurnya adalah, wajah terlelap Eliza yang masih berada dalam dekapannya. Tak pernah Farhat menyangka kalau wanita yang selama ini hanya dalam angannya itu kini telah menjadi miliknya sepenuhnya. Wanita yang selalu menerima kekurangannya dan tak pernah mengeluh tentang pekerjaan dan asal usulnya kini sudah resmi menjadi istrinya. Wajah terlelap Eliza terlihat begitu cantik dan damai sehingga Farhat tak tega membangunkan wanita terkasihnya itu. Perlahan, Farhat melepaskan pelukan Eliza di pinggangnya, ia menyelimuti tubuh Eliza sebatas leher. Farhat belum berniat beranjak karena ia ingin menikmati wajah cantik Eliza, sesekali pria itu mengusap lembut rambut panjang Eliza.
Bidadari cantik yang beberapa tahun lalu berstatus sebagai kekasihnya kini sudah resmi menyandang status sebagai istri. Terkadang, Farhat merasa kalau ia tengah bermimpi indah di malam ia tertidur lelap setelah lelah bekerja. Karena sejujurnya, bisa memiliki Eliza adalah sebuah mimpi yang tak akan pernah Farhat gapai mengingat bagaimana asal usul dan kehidupan dirinya yang tidak bisa dikatakan sebagai orang terpandang. Farhat sempat menyerah dan berniat melepas Eliza ketika hubungan mereka tak mendapat restu dari orang tua Eliza. Ternyata takdir masih berpihak kepadanya karena restu itu diberikan walau tak sepenuhnya, hingga sebuah keindahan yang hanya di alam mimpinya dapat terlaksana dengan baik.
"Kamu begitu cantik, Liza, aku beruntung memilikimu," ucap Farhat tersenyum bahagia, sesekali mengusap pipi sang istri pelan.
Farhat memilih beranjak dari ranjang setelah puas memandangi kecantikan wajah istrinya, pria itu membersihkan dirinya kemudian ke dapur memasak sarapan untuk mereka nanti. Farhat tahu kalau Eliza tidak pandai memasak, tetapi hal itu sama sekali tidak masalah bagi Farhat karena Eliza saja mampu menerima segala kekurangannya begitupun juga dirinya yang harus menerima segala kekurangan Eliza.
Menu sederhana telah Farhat buat yaitu nasi goreng tanpa kecap dan juga telur dadar telah tersaji di atas meja. Setelah selesai membereskan dapur bekas memasak, Farhat memasuki kamarnya untuk bersiap-siap karena setelah ini ia harus pergi ke pasar. Tidak ada hari libur bagi Farhat meskipun ia dan Eliza baru menikah karena jika ia tidak bekerja, maka hari ini ia tidak akan mendapatkan uang.
"Sudah bangun?" tanya Farhat ketika ia melihat Eliza yang duduk di atas ranjang dengan mata yang terbuka lebar.
"Udah, Mas. Selamat pagi!" sapa Eliza begitu ceria.
"Pagi juga, Sayang. Ayo sana mandi dulu, habis itu kita sarapan sama-sama," ucap Farhat.
"Sarapan? Mas udah masak?" tanya Eliza.
"Iya."
"Ih kok nggak bangunin aku? Harusnya 'kan itu kewajiban aku sebagai seorang istri yang nyiapin makan kamu, Mas," protes Eliza.
"Nggak apa-apa, hari ini aja karena kamu pasti lelah." Farhat menghampiri Eliza, diusapnya pelan puncak kepala Eliza.
"Sana mandi dulu," sambungnya.
"Gendong ..." rengek Eliza sambil merentangkan kedua tangannya.
"Hmm, manja ya." Meskipun berkata begitu, Farhat tetap menggendong Eliza hingga tiba di kamar mandi.
"Makasih, Mas. Kalau begitu aku mandi dulu ya." Farhat hanya mengangguk, ia keluar dari kamar mandi. Membiarkan Eliza menutup kamar mandi itu untuk memulai ritual membersihkan diri.
Sambil menunggu Eliza selesai mandi, Farhat memilih bersiap-siap. Sebenarnya pakaian kerjanya sama sekali tidak perlu berseragam, yang biasa ia pakai hanyalah kaus oblong dan juga ia harus menyiapkan handuk kecil untuk mengelap keringat.
"Wah nasi goreng," ucap Eliza ketika keduanya sudah duduk di depan meja makan.
"Iya, kamu suka 'kan?" tanya Farhat.
"Suka banget, Mas, biasanya bibi di rumah masakin aku nasi goreng tiap sarapan. Ini kamu yang masak?" tanya Eliza.
"Iya."
"Mas Farhat ternyata jago masak ya, aku yang perempuan malah kalah," ujarnya.
"Kalau mau nanti Mas ajarin kamu masak. Sekarang kita sarapan dulu ya." Eliza mengangguk.
"Nasi gorengnya emang tanpa kecap begini ya, Mas?" tanya Eliza ketika melihat nasi goreng di piring ini terlihat agak pucat dan tidak berwarna coklat.
"Eum itu, tadinya mau Mas kasih kecap. Cuma kecapnya habis," jawab Farhat sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Atau kamu mau pake kecap? Mas bisa beliin sekarang kalau kamu mau." Farhat hendak beranjak dari duduknya, tetapi Eliza dengan sigap menahan Farhat.
"Nggak usah, Mas, ini aja udah cukup kok. Mas duduk lagi aja, makan bareng aku," ucap Eliza.
Farhat akhirnya duduk kembali di hadapan Eliza, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk sarapan bersama.
"Eum, masakan Mas ternyata enak juga." Eliza memuji masakan suaminya.
"Makasih, Sayang, syukurlah kalau kamu suka. Nanti sepulang kerja Mas beli sayuran sama bumbu-bumbu dapur ya, kayaknya tadi pada kosong semua." Eliza menghentikan acara makannya saat mendengar perkataan Farhat.
"Maksudnya Mas hari ini kerja? Nggak ambil libur? Kita 'kan baru aja nikah, Mas." Eliza sepertinya tidak suka ketika Farhat bekerja hari ini.
"Pekerjaan Mas nggak bisa ngambil cuti seenaknya, sebenarnya memang bisa tapi kalau Mas hari ini nggak masuk lagi Mas nggak dapat uang, Sayang. Jujur, uang Mas udah habis dipakai buat pernikahan kita kemarin, Mas nggak punya simpanan lagi," ujar Farhat jujur mengenakan kondisi keuangannya saat ini.
"Kalau Mas butuh uang ambil aja uang tabunganku, Mas, aku yakin uang itu cukup untuk kehidupan kita beberapa bulan ke depan. Aku mau saat-saat kita baru menikah seperti ini Mas ada banyak waktu buat aku. Bukannya malah pergi bekerja di hari pertama kita menjadi pengantin baru, Mas." Eliza tak menutupi perasaannya, ia mengatakan apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Di mana ia begitu menginginkan perhatian Farhat, bukan pria itu yang bekerja di saat pernikahan mereka masih sangat baru.
"Uang kamu, kamu simpan saja demi kebutuhan kamu kalau suatu saat kamu membutuhkannya. Mas berkewajiban untuk menafkahi kamu karena kamu sudah jadi istri Mas. Mas minta pengertiannya dari kamu, Mas janji kalau hari ini Mas akan pulang sore. Nggak sampai malam seperti hari-hari lainnya, kita habiskan waktu nanti malam buat jalan-jalan berdua ya?" Farhat berusaha membujuk Eliza karena sejujurnya ia sungkan dan malu jika harus menggunakan uang istrinya, selagi ia memiliki tenaga untuk mencari nafkah maka akan ia usahakan semampuku.
"Janji tapi nanti malam kita jalan-jalan, ya, Mas," ucap Eliza yang dibalas anggukan mantap Farhat.
"Iya, Sayang, Mas janji. Kalau sampai Mas ingkar janji, kamu boleh jewer telinga Mas." Eliza tertawa mendengarnya.
"Kalau gitu, Mas Farhat harus makan yang banyak biar punya tenaga saat kerja nanti. Buka mulutnya lebar-lebar, Mas." Eliza menyendokkan nasi goreng di piringnya kemudian menyodorkannya ke dekat mulut Farhat karena ia berniat menyuapi sang suami.
"Makasih, Sayang. Kamu juga harus makan yang banyak." Kali ini giliran Farhat yang menyuapi Eliza hingga akhirnya mereka sarapan dengan saling suap-suapan sampai makanan keduanya pun habis.
"Mas Farhat di sana jangan lirik-lirik cewek lain loh, ya, awas aja kalau genit-genit. Aku sunat lagi kamu Mas!" ancam Eliza saat ia mengantarkan Farhat untuk bekerja.
"Iya, Sayang. Kamu jaga diri baik-baik di rumah, ya. Sebelum maghrib Mas janji akan pulang tepat waktu."
"Iya, Mas Sayang. Salim dulu, Mas." Eliza mengulurkan tangannya.
"Ya sudah Mas berangkat dulu ya." Farhat mengusap kepala Eliza sekilas kemudian pergi dari hadapan Eliza.
Farhat berdiri di pinggir jalan besar menunggu angkutan umum yang lewat karena pasar dari rumah kontrakannya itu cukup jauh. Tidak mungkin ia berjalan kaki untuk menghemat ongkos karena ia bisa saja terlambat tiba di pasar. Tak perlu menunggu waktu lama, ada sebuah angkot yang lewat. Angkot itu cukup penuh karena ada banyak penumpang yang ingin ke pasar, Farhat memilih berdiri saja di depan pintu angkot karena tidak ada lagi tempat yang kosong. Hal ini sudah terbiasa terjadi dan bagi Farhat itu bukanlah masalah besar, asalkan ia bisa sampai di pasar tepat waktu.
Pekerjaannya sebenarnya tidak ditentukan oleh waktu, ia bekerja serabutan seperti membantu mengangkatkan barang-barang pembeli di pasar atau menjadi tukang parkir dadakan saat dibutuhkan. Jika Farhat terlambat, bisa saja pekerjaannya itu diambil oleh orang lain yang memiliki nasib sepertinya. Pekerjaan yang ia tekuni selama beberapa tahun belakangan ini memang tidak memberikan hasil yang memuaskan, tetapi setidaknya karena uang-uang receh yang ia dapatkan itu ia bisa bertahan hidup hingga saat ini. Farhat yakin, asalkan ia giat bekerja maka suatu saat nanti kesuksesan akan menghampiri. Asal ia tak lelah bekerja dan belajar tentunya.
"Mas Farhat! Boleh minta tolong angkatin karung beras ibu ke mobil!?" Begitu sampai di pasar, Farhat langsung disapa oleh ibu-ibu yang sudah mengenalnya lama karena beberapa kali ia memang sering membantu ibu-ibu itu mengangkat barang.
"Boleh, Bu. Karung beras mana yang mau diangkat?" tanya Farhat sambil menghampiri ibu-ibu itu.
"Itu ada di toko sebelah penjual daging," jawab ibu-ibu itu.
"Oh baik, Bu. Segera saya angkatkan." Farhat langsung pergi menuju toko beras itu, berbincang-bincang sejenak dengan pemilik toko beras kemudian mengangkatkan kadung beras milik ibu-ibu itu dan membawakannya menuju mobil pribadi milik Bu Nini.
"Terima kasih, Mas Farhat, ini ya upahnya." Bu Nini memberikan upah sesuai pekerjaan Farhat yang langsung diterima oleh pria itu dengan perasaan gembira karena hasil jerih payahnya dibayar. Satu awalan yang begitu menghasilkan, pikir Farhat.
"Sama-sama, Bu. Terima kasih kembali. Kalau begitu saya ke sana dulu, ya, Bu." Bu Nini mengangguk dan membiarkan Farhat pergi dari hadapannya untuk kembali mencari penghasilan dari orang lain.
"Farhat!" Seseorang memanggil nama Farhat membuat pria itu langsung menghampiri si pemanggil.
"Iya? Kenapa, Ndi?" tanya Farhat setelah tiba di hadapan Andi–salah satu temannya yang memiliki pekerjaan sama dengannya.
"Gue ada kerjaan nih, nanti hasilnya bisa kita bagi tiga sama Doko."
"Kerja apaan?"
"Kita diminta ngangkut batu sama bata ke dalam truk, hasilnya lumayan. Lo mau nggak?" tanya Andi.
"Ya jelas gue mau," ucap Farhat. Mana mungkin ia menolak rezeki 'kan?
"Bagus, kalo gitu kita langsung ke sana, yuk! Truk nya ada di pinggir sana." Farhat mengangguk hingga keduanya berjalan menuju lokasi penghasil uang lainnya.
Keringat mulai jatuh bercucuran ketika satu demi satu bata telah Farhat angkut dan taruh ke dalam truk. Hanya tiga orang saja yang bertugas memindah batu dan bata ini karena memang pekerjaan ini ketiganya ambil langsung borongan, dengan hasil akhir nanti mereka bagi tiga. Pekerjaan sehari-hari bagi ketiga pria itu adalah sama-sama mengangkat barang-barang berat seperti ini demi mendapatkan upah uang akan dibelikan untuk makan sehari-hari.
Berbeda dengan Farhat yang baru saja menikah, Andi dan Doko sudah lebih dulu menikah ketimbang dirinya. Bahkan keduanya sama-sama sudah memiliki anak, Doko memiliki anak berusia empat tahun karena Doko memang lebih tua dari mereka sedangkan Andi sendiri memiliki anak yang masih berusia lima bulan. Semangat kerja dari Doko dan Andi memotivasi Farhat untuk terus giat bekerja, apalagi saat ini ia tak lagi sendiri melainkan sudah memiliki istri.
"Udah selesai nih kerjaan kita. Gue lapor ke bos dulu sekalian minta upah, kalian tunggu sini dulu," ucap Doko.
"Oke, Bang!" balas Andi dan Farhat bersama-sama.
Lima menit mereka menunggu, Doko kembali menghampiri Farhat dan Andi.
"Ini jatah upah kalian masing-masing, udah gue bagi tiga sama rata." Doko memberikan uang tang tak bisa dikatakan banyak, tetapi sangat cukup untuk mereka.
"Makasih, Bang. Kalo gitu gue duluan ya, mau lanjut kerja yang lain lagi sekalian beli sayuran buat makan di rumah."
"Oh ya, gue sama Andi belum ngucapin selamat atas pernikahan lo. Semoga langgeng terus dan cepat dapat momongan ya," ujar Doko.
"Aamiin. Makasih Bang Doko dan Andi, gue duluan ya." Mendapat acungan jempol dari keduanya membuat Farhat segera pergi dari sana untuk kembali mencari tambahan uang lainnya.
Waktu sudah menjelang maghrib, itu tandanya Farhat harus segera pulang ke rumah karena ia sudah berjanji pada sang istri kalau ia akan pulang sebelum adzan berkumandang. Sebelum jalan pulang, Farhat menyempatkan diri membeli beberapa bahan makanan berupa sayuran dan lauk pauk matang untuknya dan Eliza makan malam nanti. Setelah selesai, Farhat naik angkot yang memang sering lewat untuk mengangkut para penjual yang akan pulang sebelum maghrib.
Setibanya di rumah, Farhat pergi ke dapur untuk menyimpan bahan makanan kemudian ia menyusuri kontrakan kecilnya karena mencari keberadaan Eliza. Hingga ia menemukan sang istri terlelap di belakang rumah dengan beralaskan tikar di atas lantai. Farhat menggelengkan kepalanya, ia langsung mengangkat tubuh Eliza dan memindahkan istrinya itu ke kamar tidur mereka.
"Eumm!" Eliza melenguh dalam tidurnya, sadar atau tidak wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Farhat.
"Nyenyak banget kamu tidurnya, maaf sudah mengajak kamu hidup sederhana dan susah." Farhat mengusap keringat di pelipis Eliza.
"M-Mas? Udah pulang?" tanya Eliza dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya perlahan membuka untuk melihat dengan jelas wajah suaminya.
"Iya, baru aja. Oh ya tadi Mas sempat beli lauk buat makan malam kita, Mas ke kamar mandi dulu ya." Eliza mengangguk, membiarkan Farhat membersihkan diri. Sedangkan dirinya yang masih setengah mengantuk, hanya bisa terduduk sesekali menguap dan memaksa membuka matanya lebar-lebar.
"Duh, panas banget," gumam Eliza sambil mengibas-ibaskan bajunya.