3. Pernikahan

2035 Kata
Hari yang dinanti oleh Farhat dan Eliza akhirnya tiba juga, di mana hari ini mereka akan melangsungkan sebuah pernikahan sederhana di sebuah masjid. Pak Rendi meskipun sudah merestui pernikahan Farhat dan Eliza jelas saja tidak mau mengeluarkan uang sepeserpun untuk pernikahan putrinya dan pria miskin itu. Hingga Farhat sendiri lah yang harus membiayai pernikahannya bersama Eliza. Beruntung ada sedikit tabungan di celengan Farhat yang cukup untuk melangsungkan pernikahan sederhana ini. Yang datang hanya beberapa kerabat dekat Eliza, dua saksi, penghulu dan tentunya orang tua Eliza. Tidak ada acara resepsi mewah, yang ada hanya ijab kabul serta doa bersama yang cukup singkat. Namun, hal itu sama sekali tidak masalah bagi Eliza karena baginya asalkan ia bisa menikah dengan Farhat, apapun yang pria itu berikan pasti akan membuatnya senang. Eliza masih dimabuk cinta, makanya ia bisa merasa seakan asmara begitu indah tanpa harta. Keyakinannya yang teguh untuk tetap mempertahankan cintanya benar-benar membuat Farhat haru, apalagi Eliza yang rela meninggal kekayaan keluarganya demi menikah dengannya. Farhat berjanji pada dirinya sendiri kalau ia akan membuat Eliza bahagia, apapun pekerjaan asal halal akan ia lakukan agar kehidupannya dan Eliza ke depannya bisa tercukupi. Kali ini ia tidak tinggal sendiri melainkan bersama seorang wanita yang sudah menyandang status sebagai istrinya, yang harus ia jaga dan cintai serta hidupi. "Pernikahan sudah dilaksanakan, kami akan langsung pulang," ucap Pak Rendi sambil berdiri. Pria paruh baya itu melirik sekilas ke arah Farhat yang hanya diam, sedangkan Eliza yang mendengar perkataan papanya langsung menghampiri pria paruh baya itu. "Nggak mau anterin Liza sama Mas Farhat dulu, Pa? Sekalian mampir," tawar Eliza. "Tidak perlu. Tepat hari ini, di mana kamu menikah dengannya. Hubungan kekeluargaan antara kita telah putus, kecuali kalau kamu berubah pikiran dan ingin meninggalkan dia!" ujar Pak Rendi dingin. Beruntung semua yang ada di sini sudah pergi terlebih dulu sehingga mereka semua tidak melihat drama keluarga Eliza. "Pa," tegur Bu Aru pada suaminya. "Ayo pulang, Ma," ujar Pak Rendi menatap istrinya sekilas kemudian segera keluar dari masjid itu. "Ma." Eliza memanggil mamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Bu Aru menghampiri putrinya kemudian memeluknya erat, Eliza balas memeluk Bu Aru. Menumpahkan segala kesedihannya pada sang mama. "Kamu jaga diri baik-baik, Mama pergi dulu." Bu Aru melepaskan pelukannya, mengusap lembut kepala putrinya kemudian segera keluar dari dalam masjid menyusul suaminya. "Pa, Ma!" Eliza terisak. Farhat yang sedari tadi hanya menyimak pun akhirnya menghampiri Eliza, dipeluknya Eliza hingga akhirnya Eliza menangis dalam pelukannya. "Jangan menangis, Sayang," ujar Farhat. Mengendurkan pelukannya kemudian mengusap pipi Eliza yang basah karena air mata. "Apa kamu menyesali semua keputusan kamu ini?" tanya Farhat ketika Eliza sudah lumayan tenang. Eliza menggelengkan kepalanya. "Nggak, Mas, aku hanya sedih aja ternyata benar apa yang papa sempat bilang waktu itu kalau setelah pernikahan kita beliau nggak mau mengakui aku anak lagi. Aku pikir hanya main-main, tapi terlepas itu semua aku sama sekali nggak menyesali keputusanku untuk menikah dengan kamu, Mas." Farhat tersenyum sekaligus lega mendengarnya, ia pikir setelah ini Eliza akan menyesal kemudian meninggalkannya. "Ayo kita pulang!" ajak Farhat sambil merangkul bahu Eliza. Eliza mengangguk, mereka berdua keluar dari masjid. "Kita naik apa, Mas?" tanya Eliza dengan suara serak habis menangis. "Naik itu." Farhat menunjuk sebuah kendaraan berdoa tiga yang sudah menunggu mereka di depan halaman masjid. "Becak?" tanya Eliza sambil melihat becak yang ternyata sudah dihias sepertinya kendaraan pasangan pengantin. Melihat Eliza yang seakan tidak percaya, Farhat hanya menggaruk belakang kepalanya. Takut kalau Eliza tidak suka dengan kendaraan yang ia sewa untuk mereka. "Maaf, hanya ini yang bisa aku siapin. Nggak apa-apa 'kan?" tanya Farhat. Melihat ekspresi Farhat yang takut-takut membuat Eliza tertawa. "Nggak apa-apa, Mas, aku udah siap nikah sama kamu tandanya kalau aku siap dengan kehidupan baruku ini. Lagian naik becak nggak buruk juga, apalagi becaknya udah dihias jadi bagus dan lucu gini. Makasih, Mas!" Tanpa merasa sungkan, Eliza memeluk Farhat. "Sama-sama, Sayang. Syukurlah kalau kamu merasa senang," ujar Farhat. "Mas pikir aku nggak senang? Nikah sama Mas aja adalah hal terbahagia buat aku. Ditambah naik becak yang udah susah payah Mas siapin, aku merasa sangat bahagia lebih dari yang Mas tahu." Kelegaan Farhat semakin bertambah setelah mendengar perkataan Eliza, Eliza memang paling bisa menenangkan hatinya. "Ayo, Mas! Aku udah nggak sabar naik becaknya!" ajak Eliza menarik tangan Farhat agar pria itu segera mengajaknya memasuki becak. "Mang Asep, kita ke kota tua dulu ya. Jangan langsung pulang," pinta Farhat pada sopir becak itu. "Siap atuh, Kang Farhat," ujar Mang Asep yang langsung menjalankan becaknya menuju tempat yang diminta oleh Farhat. "Ke kota tua, Mas? Nggak langsung pulang?" tanya Eliza pada pria yang beberapa menit lalu sudah resmi menjadi suami sahnya. "Iya, aku mau ajak kamu jalan-jalan dulu biar nggak sedih lagi. Nggak apa-apa 'kan?" "Nggak apa-apa sih, tapi kita ke sana pakai baju pernikahan ini?" tanya Eliza memperhatikan dirinya yang memakai baju kebaya putih dan Farhat yang memakai setelan jas. "Kamu malu kalau kita jalan-jalan pakai baju pernikahan kita? Niatnya sampai sana aku mau kita foto bersama. Soalnya kamu pasti ingat 'kan kalau kota tua adalah tempat kita pertama kali jalan-jalan setelah resmi pacaran." Eliza jadi senyum-senyum sendiri mendengar perkataan Farhat, ternyata Farhat tidak lupa di mana pertama kali mereka jalan-jalan setelah jadian. Diam-diam, Farhat ternyata lumayan romantis juga. "Liza? Kalau kamu merasa malu, lebih baik kita pulang saja dulu," ucap Farhat ketika tidak mendapat respon dari Eliza. "A-ah, nggak kok, Mas. Aku sama sekali nggak malu, ayo kita ke kota tua sekarang. Jangan pulang dulu," balas Eliza. "Baiklah, karena ini keinginan Nyonya Ashrofi maka kita otewe pergi ke kota tua." Eliza terkekeh mendengar perkataan Farhat. "Aku geli dengar kamu nyebut aku dengan nyonya, Mas, tapi aku suka." "Gimana itu maksudnya? Kamu geli tapi suka?" tanya Farhat berniat menggoda Eliza. "Ya pokoknya gitu, aku bahagia bisa nikah sama kamu setelah kita pacaran udah sekian lama." Eliza langsung memeluk Farhat erat. "Mas lebih bahagia dari apa yang kamu bayangkan, Liza, terima kasih karena kamu sudah menerima Mas yang banyak kurangnya ini." Farhat mengusap punggung Eliza dengan sayang. "Aku yang harusnya makasih karena Mas mau menjadikan aku yang nggak bisa apa-apa dan manja ini jadi istri kamu, Mas." "Mas nggak mempermasalahkan kekurangan kamu, Liza, semua kekurangan bisa disatukan agar menjadi sebuah kelebihan. Mas hanya mau kamu selalu ada di samping Mas, menemani Mas hingga saatnya kita harus dipisahkan oleh takdir." Semakin beruntung Eliza memiliki Farhat, meskipun pria itu bukanlah orang kaya, tetapi Eliza yakin kalau ia pasti bisa hidup bahagia dan sederhana bersama Farhat. Farhat adalah cintanya, cintanya begitu besar pada pria itu. Tidak akan mungkin ia meninggalkan pria sebaik Farhat hanya demi harta, Farhat lebih berharga dari segala yang ada di dunia ini karena hanya Farhat lah yang bisa membuatnya bahagia. Keduanya saling tersenyum bahagia, saling mengobrol ringan tentang masa depan mereka ke depannya sambil sesekali melihat jalanan ibu kota. Hingga akhirnya becak yang dikemudian oleh Mang Asep pun akhirnya tiba juga di kota tua. Farhat turun terlebih dulu dari becak itu, kemudian mengulurkan tangannya pada Eliza yang diterima oleh wanita itu yang kemudian ikut turun dari becak. "Selamat datang di kota tua, Nyonya Ashrofi." Lagi dan lagi Eliza terkekeh mendengar sapaan Farhat padanya. "Mas, bener-bener deh. Bisa banget bikin aku tersipu," ucap Eliza tersenyum malu-malu. "Sekarang 'kan kamu emang udah jadi nyonya di hati, Mas, dan mungkin sekarang dan nanti akan jadi nyonya rumah." Semakin tersipu Eliza karena mendengar perkataan suaminya. "Suamiku sekarang udah pintar gombal, ya." Kali ini giliran Farhat yang tersipu mendengar Eliza memanggilnya dengan sebutan 'suamiku'. Masih tak menyangka kalau saat ini hubungannya dan Eliza sudah berada di tahap yang keduanya inginkan yaitu suami istri dan bukannya hanya sepasang kekasih saja. Meskipun belum mendapatkan restu orang tua Eliza sepenuhnya, tetapi Farhat yakin lambat laun orang tua Eliza pasti akan merestui hubungan mereka. "Kenapa muka Mas jadi merah gitu? Mas nggak sakit atau kepanasan 'kan?" tanya Eliza begitu khawatir ketika melihat wajah Farhat yang memerah karena ulahnya sendiri. "N-nggak kok." Farhat langsung memalingkan wajahnya. "Mas udah biasa kerja berat yang selalu di bawah matahari terik, mana mungkin hanya karena kita berdiri di sini aja Mas udah langsung jatuh sakit. Harusnya Mas yang khawatir sama kamu, kamu pasti nggak terbiasa 'kan? Maaf karena membawa kamu ke sini jadinya kamu kepanasan," ujar Farhat merasa bersalah ketika melihat pipi putih Eliza yang dimakeup tipis itu sedikit memerah bukan karena blush-on melainkan sinar matahari. "Apaan sih harus minta maaf segala, Mas? Aku bukan anak manja yang langsung ngerengek kalau kepanasan. Kamu kayak baru kenal aku aja, jangan minta maaf terus karena aku bosan dengar permintaan maaf kamu. Udah lebih dari tiga kali kamu minta maaf di hari ini, sekali lagi kamu bilang maaf aku kasih cium nanti," balas Eliza. Eliza langsung mengatupkan bibirnya ketika salah bicara, astaga mengapa kesannya jadi ia yang agresif? Mengancam Farhat agar tidak mengatakan maaf lagi dengan sebuah ciuman? Benar-benar. "Eum, Mas kita foto aja yuk sekarang," ajak Eliza mengalihkan pembicaraan. "A-ah iya." Farhat yang semula merasa canggung pun akhirnya kembali bersikap normal. "Mang! Boleh minta fotoin kami berdua?" pinta Eliza pada Mang Asep sambil mengerahkan ponsel pintarnya. "Boleh atuh, Neng, ini tapi kumaha atuh motoinnya? Mamang teh kurang paham," ucap Mang Asep tak langsung menerima ponsel dari Eliza. "Sini biar saya ajarin, Mang." Eliza membuka layar ponselnya. "Ini aplikasi kamera udah saya buka, nanti tinggal arahin ke kami yang bagian belakang hapenya. Terus kalo pose foto nanti udah oke, Mang Asep tinggal tekan layar ini sekali. Paham, Mang?" Mang Asep mengangguk. "Paham, Neng." "Ya udah, tolong ya Mang." Eliza menyerahkan ponselnya. "Ayo Mas kita pose!" ajak Eliza menarik tangan Farhat agar semakin dekat dengan objek kota tua yang sebenarnya cukup ramai orang-orang. "Iya-iya." "Senyum dong, Mas, ayo!" pinta Eliza memaksa agar Farhat tersenyum. Wanita itu memeluk lengan Farhat sambil tersenyum lebar. Beberapa kali jepretan dengan beberapa pose sudah diambil. Eliza mengajak Farhat berdiri di dekat becak yang membawa mereka ke sini. "Mas, buat kenangan-kenangan ayo kita foto di dekat becak. Sebagai sejarah kendaraan pertama yang membawa kita setelah menikah," ucap Eliza. "Satu ... dua ... tiga ... ayo ganti gaya!" ujar Mang Asep menginterupsi hingga akhirnya bener pose foto di Deky becak sudah didapatkan. "Terima kasih, Mang," ujar Eliza menerima kembali ponselnya sambil melihat-lihat hasil jepretan Mang Asep. "Sama-sama, Neng. Duh Mamang udah kayak potograper aja motoin Neng geulis sama suaminya." Eliza hanya tersenyum mendengar perkataan Mang Asep. "Mas, gimana? Fotonya bagus-bagus ya," ucap Eliza menunjukkan foto mereka pada Farhat. "Iya, bagus-bagus. Kamu kelihatan cantik banget di foto ini," puji Farhat. "Makasih, Mas, Mas juga ganteng banget makanya aku suka." Eliza begitu blak-blakan dalam memuji, hingga terkadang Farhat harus menyiapkan jantungnya yang suka jumpalitan jika Eliza sudah memujinya dengan kata-kata yang berlebihan. "Nanti foto yang ini dicetak terus dikasih bingkai ya, Mas, kita pajang di kontrakan," ucap Eliza menunjukkan layar ponselnya pada Farhat. Tepatnya sebuah foto yang menurut wanita itu lebih bagus dari foto lainnya. "Iya, Sayang." Farhat mengusap lembut kepala Eliza. "Foto ini kalo dijadiin background spanduk FTV kayaknya cocok deh, Mas. Judulnya Cintaku Bersemi di Tukang Becak." Eliza terkekeh dengan perkataannya sendiri. "Kalo gitu harusnya Mang Asep dong ya?" "Ya nggak, Mas Farhat yang main jadi tukang becaknya," protes Eliza. "Apa-apa, yang penting kamu senang, Liza. Mas pasti akan ikutan senang." Eliza tersenyum mendengarnya. "Baik banget emang Mas Farhat, nggak salah jadi pacar dan sekarang jadi suaminya Liza. Liza sayang banget sama Mas Farhat, sayang seribu persen!" Tanpa malu-malu karena ada banyak orang di sini, Eliza memeluk Farhat. "Mas lebih sayang sama kamu, jangan pernah tinggalkan Mas ya. Mas nggak tahu gimana nantinya hidup Mas kalau nggak ada kamu," ucap Farhat membalas pelukan Eliza. "Aku janji nggak akan pernah ninggalin Mas apapun keadaannya, asal dengan satu syarat kalau Mas nggak boleh selingkuh. Kalau sampai Mas selingkuh sekali aja, aku nggak akan segan-segan ninggalin Mas!" ancam Eliza menatap tajam Farhat setelah melepaskan pelukannya. "Mana mungkin Mas bisa selingkuh dari istri cantik Mas ini. Kamu aja udah lebih dari cukup, nggak habis-habisan dan limited edition. Buat apa cari perempuan lain di luaran sana yang belum tentu nerima Mas apa adanya?" Eliza tersenyum, menurutnya perkataan Farhat sangatlah meyakinkan hatinya. "Itu Mas Farhat tahu, jadi nggak ada yang boleh ambil Mas Farhat karena Mas Farhat hanya milik Liza seorang." Eliza kembali memeluk Farhat erat. Pasangan pengantin baru itu sedang dimabuk asmara sehingga semua janji-janji manis begitu mudah diucapkan demi kebahagiaan hati mereka sesaat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN