Rindu. Itulah yang Farhat rasakan ketika sudah lebih dari satu minggu ini Farhat tidak mendapat kabar dari Eliza. Ia pun segan untuk menghubungi Eliza ketika kembali mengingat gertakan dari keluarga Eliza yang mengatakan kalau ia harus menjauhi Eliza. Dalam hati Farhat yang terdalam, ia tidak menginginkan hal ini. Jika boleh meminta tentang nasib hidupnya, ia juga ingin memiliki banyak harta agar keluarga Eliza bisa menerimanya dan tak mencemoohnya. Sayangnya, ia bukanlah penentu takdir, sebagai manusia biasa ia hanya bisa berusaha dan berdoa, selebihnya Sang Maha Kuasa yang menentukan takdirnya. Meskipun ada rasa sakit sekaligus kecewa karena cemoohan Papa Rendi, hal itu tidak mematahkan semangat Farhat dalam bekerja. Setidaknya biarpun ia memang hanyalah dari kalangan bawah, ia bisa bekerja demi memenuhi kebutuhannya tanpa meminta bantuan orang lain.
Satu minggu ini Farhat habiskan dengan membantu beberapa pekerja dalam membangun sebuah gedung. Ia ditawari oleh salah satu teman satu kontrakannya, temannya itu berkata kalau pekerjaan ini cukup menghasilkan lumayan banyak uang ketimbang hanya membantu mengangkut barang pembeli di pasar. Farhat yang memang selalu giat dan tidak memandang sebuah pekerjaan pun tentunya tidak akan melepaskan begitu saja pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lebih itu. Meskipun ia tahu kalau menjadi pekerja bangunan dadakan ini cukup beresiko, tetapi itu tidak menjadi halangan bagi Farhat.
"Bro! Ada yang nyariin lo di bawah!" Andi–teman Farhat menghampiri Farhat yang tengah mengaduk semen.
"Siapa?" tanya Farhat yang sama sekali tidak menghentikan kegiatannya.
"Gue juga nggak tahu, tapi kayaknya dia itu dari kalangan atas deh." Seketika Farhat menghentikan kegiatannya ketika mendengar perkataan Andi selanjutnya.
"Cowok apa cewek?" tanya Farhat penasaran.
"Cowok, bapak-bapak gitu kayaknya. Udah, lo temuin aja deh dia. Daripada mati penasaran 'kan? Biar ini gue yang lanjutin." Farhat akan menyela, tetapi dengan cepat Andi mendorong tubuh Farhat agar pria itu segera pergi.
Farhat akhirnya menyerah, dengan rasa penasaran yang tinggi, Farhat berjalan menuruni bangunan ini dengan tangga yang terbuat dari kayu. Ia tadi memang tengah mengaduk semen di bangunan teratas gedung yang baru setengah jadi ini. Sepanjang ia turun, ia bertanya-tanya siapakah gerangan yang ingin menemuinya? Setahunya ia tidak pernah berurusan dengan seorang pria paruh baya dari kalangan atas.
"Tuan menunggu Anda di dalam, silakan masuk!" Seorang pria yang Farhat tebak bekerja sebagai sopir mengatakan hal itu sambil membuka pintu penumpang belakang.
"T-tapi, saya—"
"Masuklah! Ada hal penting yang ingin saya bicarakan!" Sebuah suara yang cukup Farhat kenali langsung memotong perkataan Farhat.
"Pak Rendi?" Farhat menajamkan penglihatannya ketika melihat keberadaan ayah Eliza, pria paruh baya itu menatap Farhat dari dalam mobil tanpa ekspresi.
"Masuklah!" ujarnya tanpa menanggapi keterkejutan Farhat.
"Maaf, Pak, saya sedang bekerja, saya tidak mungkin meninggalkan pekerjaan saya," balas Farhat sopan.
"Saya sudah meminta izin bos kamu tadi, sekarang tidak ada alasan untuk menolak. Masuklah!" Farhat agak terkejut mendengarnya, tetapi ia dengan cepat menuruti perintah Pak Rendi yaitu memasuki mobil.
Sejenak, suasana hening ketika mobil sudah berjalan karena dikemudikan oleh seorang sopir. Farhat menoleh ke arah Pak Rendi yang sedari tadi menatap ke luar jendela.
"Eliza masuk rumah sakit." Tiba-tiba saja Pak Rendi membuka suara dan kabar itu sangat mengejutkan bagi Farhat. Terselip rasa khawatir yang begitu besar di hati Sandi saat mendengar kalau sang kekasih masuk rumah sakit.
"Eliza masuk rumah sakit, Pak? Bagaimana keadaannya sekarang? Dia baik-baik saja 'kan, Pak? Bagaimana dia bisa—" Farhat langsung menghentikan perkataannya ketika Pak Rendi mengangkat tangannya pertanda meminta agar ia berhenti memberikan rentetan pertanyaan.
"Dia sekarang baik-baik saja, saya menemuimu karena ini permintaan Eliza. Jangan kamu pikir kalau saya menemuimu karena keinginan saya sendiri." Pak Rendi berkata begitu dingin.
Kemudian suasana kembali hening hingga mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah rumah sakit swasta yang Farhat yakini kalau biaya berobat di sini sangatlah mahal. Tanpa kata alias hanya memberi kode, Pak Rendi mengajak Farhat mengikutinya turun dari mobil dan memasuki rumah sakit. Sepanjang ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit, Farhat tetap merasa cemas sekaligus penasaran mengapa Eliza bisa masuk rumah sakit.
"Sesuai dengan permintaan kamu, Papa sudah mengajak dia ke sini. Jadi, tidak ada alasan kamu mogok makan lagi," ujar Pak Rendi sambil memasuki ruang inap VVIP putrinya bersama Farhat yang mengekor di belakangnya.
"Mas Farhat!" Eliza tersenyum melihat keberadaan Farhat, Farhat langsung menghampiri Eliza. Diperhatikannya wajah Eliza yang pucat, Farhat merasa miris dengan keadaan Eliza.
"Kamu suapi Eliza, kami akan menunggu di luar, " ujar Pak Rendi kemudian mengajak istrinya keluar dari kamar inap putrinya.
"Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Farhat mengusap kepala Eliza kemudian mengambil mangkuk berisi bubur yang ada di atas nakas.
"Setelah kamu pergi dari rumah, aku bertengkar sama papa dan mama. Aku marah karena bisa-bisanya mereka ngusir kamu, Mas. Aku marah dan kesal, aku mogok makan dan ngancam aku akan bunuh diri kalau mereka nggak mau merestui hubungan kita. Terus aku nekat motong urat nadi aku biar mereka percaya kalau aku nggak main-main dengan ancamanku." Farhat terkejut mendengar penjelasan Eliza, ia menaruh bubur itu di samping lengan Eliza. Tangan Farhat meraih pergelangan tangan Eliza yang diperban, pria itu menatap tangan Eliza dengan teliti.
"Jangan melakukan hal-hal yang bisa melukai dirimu hanya karena aku, Liza. Jika memang takdir tidak merestui kita bersama, maka aku akan mengikhlaskanmu." Farhat mengusap perban di pergelangan tangan Eliza.
"Nggak, Mas! Kamu nggak boleh nyerah gitu aja. Papa sama Mama udah setuju kalau kita menikah, Mas! Nggak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita," ujar Eliza yang membuat Farhat terkejut.
"Mereka setuju?" tanya Farhat tak percaya.
"Iya, Mas. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanya. Berarti ada gunanya aku melakukan percobaan bunuh diri seperti ini," gumam Eliza di akhir kalimatnya.
"Jangan asal bicara, Liza! Mas nggak suka dengarnya!" tukas Farhat dingin. Bukannya kesal, Eliza malah tersenyum.
"Itu berarti Mas masih cinta sama aku, jadi, sebentar lagi kita akan menikah 'kan, Mas?" tanya Eliza penuh harap.
"Menjalani pernikahan itu nggak gampang, Liza. Mas khawatir saat kamu nggak tahan hidup dengan, Mas, maka kamu akan pergi meninggalkan, Mas," ujar Farhat sambil menghela napas.
"Aku janji nggak akan pernah ninggalin Mas biarpun kita nanti hidup sesusah apapun, Mas percaya 'kan sama aku?"
"Aku selalu percaya kamu, Eliza." Farhat membawa Eliza ke dalam pelukannya, betapa ia mencintai wanita yang ada di pelukannya ini dan tak ingin kalau ia pergi dari sisinya.