Tiga Bulan Yang Lalu
Tangan Ethan dengan tenang membuka kancing kemeja putihnya, menyibakkan pandanganku yang sudah terfokus pada gerak-geriknya. Detik demi detik, kain itu meluncur turun, meninggalkan kulitnya yang tampak memikat. Ada ketegangan yang semakin menebal di udara, memaksaku untuk mengalihkan pandangan, meskipun setiap inci tubuhnya yang terbuka membangkitkan perasaan tidak nyaman sekaligus tak terungkapkan dalam diriku.
"Jadi....seperti ini tubuh seorang pria? Atau dia yang pandai merawatnya?"
Tanganku mulai berkeliaran -- nakal, mencoba untuk menyentuh d**a bidangnya yang kadang-kadang sering kulirik saat kami berada di rumah. Ini gila. Ternyata apa yang ku tulis di dalam novel tak sepanas dan tak seberarti ini jika dilihat dan dirasakan langsung.
"Kau sering meliriknya diam-diam, iya kan?"
Aku menelan ludah, merasa panik. Mengapa aku merasa seperti ini? Setiap langkahnya terasa seperti pengingat tentang jarak kami yang semakin dekat, semakin tak terhindarkan. Mataku terbuka lebar, berusaha menahan diri agar tidak terlalu terlihat jelas. Keringat dingin mulai bercucuran di dahiku. Ini salah, bukan? Baru beberapa bulan aku mengenalnya, dan kenapa kini aku malah merasa seolah ada dorongan yang tak bisa ku bendung?
"Kau tahu?" Aku terkejut mendengarnya.
Pakaianku… sudah hilang. Dalam keheningan yang mencekam, aku sadar pakaianku sudah tercerai-berai, jatuh entah kapan. Ada rasa malu yang semakin menggerogoti, seakan seluruh tubuhku terpapar di hadapan pria ini—pria yang entah kenapa bisa membuatku merasa terperangkap begitu cepat.
Ethan melangkah lebih dekat, dan aku mundur seketika, mencoba mengendalikan tubuh yang bergetar, seakan terhanyut dalam situasi ini. Bagaimana aku bisa berada di sini? Di bawah kendali seorang pria yang baru beberapa bulan ku kenal? Pikiran itu melesat cepat, tetapi aku hanya bisa diam. Ditarik lebih dalam ke dalam permainan ini—permainan yang aku tahu tidak akan berakhir dengan mudah.
Setiap langkah Ethan seakan membawa kami lebih jauh ke dalam ruang yang tidak aku kenal. Terlalu dekat. Terlalu banyak untuk dicerna dalam sekejap. Aku ingin melawan, ingin mundur, tetapi tubuhku terperangkap dalam cengkeraman kehadirannya.
"Jadi ini yang kamu inginkan?” Suaranya terdengar tenang, tapi ada nada berbeda, seperti sengaja ingin menahan sesuatu. Matanya tajam, penuh teka-teki.
Aku menelan ludah, bingung dan terperangkap dalam suasana yang begitu mencekam. Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang salah, tapi aku tak bisa menghindar? Kenapa aku malah merasa semakin terjerat dalam permainan yang dia ciptakan?
Ethan menggelengkan kepala pelan, seolah memberi peringatan, “Kalau kamu pikir ini bukan yang kamu mau… mungkin lebih baik kita berhenti di sini.”
Jantungku berdebar keras. Apa dia serius? Ini bukan saat yang tepat untuk berpikir rasional—tubuhku merespon begitu saja, berusaha mendekat, berharap dia tidak benar-benar ingin menghentikan semuanya. Aku membuka mulut, dan suaraku hampir tercekat. “Jangan berhenti,” aku hampir berbisik, namun kata-kataku keluar lebih kuat dari yang kuterima. “Tolong, lanjutkan.”
Dia tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyimpan arti dari yang aku pahami.
Flashback - Tiga Bulan yang Lalu
Langkahku terasa berat saat mendaki tangga ke lantai lima apartemen yang baru saja aku sewa. Setiap langkah terasa lebih lama, lebih melelahkan dari yang kubayangkan. Aku menoleh ke belakang, melihat koper besar yang kutarik dengan susah payah. Sudah berapa kali aku harus berhenti untuk menarik napas sejenak? Tanpa lift, rasanya seperti ujian fisik yang tak ada habisnya.
“Kenapa harus di lantai lima, sih?” keluhku, seolah berteriak pada gedung kosong yang tak peduli dengan perasaan kesal ini.
"Kenapa juga harus rusak saat aku pindah? Menyebalkan!"
Kepalaku mulai pusing. Bukan hanya karena beban koper yang semakin berat, tetapi juga karena perasaan terjepit antara keinginan untuk mandiri dan kenyataan yang ternyata lebih sulit dari bayanganku. Kenapa aku harus tinggal di sini? Mungkin aku memang butuh pelarian dari kenyataan yang aku tinggalkan. Dari ayahku, dari ibu tiriku, dan dari semuanya.
Sesampainya di lantai lima, aku hampir menyerah, namun aku berusaha untuk tetap tegap. Setiap kali melangkah ke apartemen baru, selalu ada perasaan campur aduk. Semua ini untuk memulai hidup baru, untuk merasakan kebebasan. Tapi di sisi lain, aku merasa sangat sendirian. Apakah aku bisa menghadapinya sendiri?
"Ah akhirnya sampai!" Rasa lelahku pun menguap begitu sampai di depan pintu.
Saat aku membuka pintu apartemen itu, mataku membelalak. Aku terperangah melihat barang-barang di sekitar ruangan—sofa, meja, rak, dan bahkan televisi besar yang sudah terpasang. Semuanya tampak begitu rapi, hampir sempurna, seolah-olah tempat ini sudah dihuni lama.
Apa? Aku hampir tidak percaya. Saat terakhir kali aku datang untuk melihat apartemen ini, tempat ini masih kosong—tanpa furnitur, hanya empat dinding dan lantai. Apakah ini bagian dari servis properti yang belum aku ketahui? Kalau benar, itu akan membuatku merasa lebih nyaman, tapi juga agak canggung.
Aku melemparkan koper ke sudut ruangan dan merasa lega karena akhirnya bisa duduk dan merasakan suasana baru. Tiba-tiba, rasa lelahku mengalahkan rasa bingungku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju kamar mandi untuk mandi dan menyegarkan diri. Ini waktunya aku menghapus semua kenangan buruk dari keluarga.
Saat air hangat membasahi tubuhku, pikiranku berlarian. Hari-hari terakhir di rumah orang tuaku terasa begitu berat. Pertengkaran dengan ibu tiriku, Miranda, masih terngiang jelas dalam kepalaku.
“Kamu tidak tahu apa-apa, Shopia!” kata-kata itu menghantui setiap langkahku. Aku hanya ingin diakui, dihargai, dan dipahami, tapi sepertinya itu terlalu sulit. Ayahku juga tidak memihakku. Bagaimana bisa dia begitu mudah melupakan ibuku?
"Apa yang tidak aku ketahui?"
"Jangan bicara seperti itu pada ibumu, Shopia!" Bentak ayahku.
Aku terperangah ke arah ayahku berdiri. Aku tak tahu, sejak kapan ayah bisa membentakku seperti ini, "Dia. Bukan. Ibuku!"
Pikiranku terus melayang, seolah air yang mengalir tak mampu membasuh beban di hatiku. Aku menyandarkan tubuhku pada dinding shower, berusaha memusatkan perhatian pada diri sendiri, bukan pada kenyataan yang harus kutinggalkan di belakang.
Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas di pintu kamar mandi, mengagetkanku. Aku terperangah, jantungku berdegup kencang.
Siapa itu? Maling? Atau pemilik properti yang ternyata suka mengintip gadis-gadis di rumah sewanya? Tanpa pikir panjang, aku meraih botol sampo di dekatku dan menggunakannya seperti senjata. Aku siap menyerang.
Namun, tak lama kemudian, bayangan itu bergerak lebih dekat, dan aku hampir menjerit ketika akhirnya pintu kamar mandi terbuka dengan perlahan. Dan dia muncul. Seorang pria asing yang tak pernah kukenal sebelumnya.
Dia berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit k****a. Aku terkesiap, tubuhku langsung membeku. Dia… siapa? Aku berusaha menutupi ketakutanku, menarik handuk lebih erat di tubuhku.
“Siapa kamu?” tanyanya, matanya dengan tajam memerhatikan handuk yang melorot sedikit dari tubuhku.
Aku menggigit bibir, berusaha menenangkan diri, meski aku merasa cemas dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Apa yang dia lakukan di sini?