“Lo kenapa daritadi diam aja May ?”. Aku yang tadinya sedang mengaduk minuman berhenti mendengarkan perkataan Linda.
“Nggak kenapa-kenapa kok. Kenapa emangnya ?” tanyaku balik. Linda dan Rara saling berpandangan sambil saling menyenggol lengan mereka satu sama lain.
“Habisnya setelah pisah dengan Kiera lo tiba-tiba diam dan kayak sedih gitu”.
“Ah masa ? Perasaan kalian aja” ucapku pelan.
“Dan juga sewaktu habis cium Kiera raut muka lo sedih banget” tutur Rara.
“Mungkin aku cuman sedih karena pisah sama Kiera kali ya ? Nggak tau kenapa kayaknya ada sesuatu yang terjadi sama Kiera… Tapi udahlah itu bukan urusan kita. Nah sekarang waktunya aku yang pilih permainannya ya”.
.
Tepat tiga hari setelah pertemuanku dengan Kiera tapi aku masih memikirkan anak kecil itu. aku tidak tau kenapa. Namun aku sangat yakin ada sesuatu yang terjadi dengan anak itu. kenapa dia tidak mau digendong sama omanya sendiri ? Dan kenapa mbak Rahma lega saat aku tidak melaporkan hilangnya Kiera kepusat informasi ?
“Mayaaa kamu pulang kuliah jam berapa ?” teriak Bunda yang menyadarkanku dari pikiran tentang Kiera
“Mungkin sekitaran jam 12 lah Bun. Kenapa ?”
“Nah kalau gitu kamu aja yang jemput Fania. Kakak kamu kan lagi banyak urusan di kantor dan kakak iparmu sekarang juga masih diluar kota” ujar Bunda
“Oke deh Bun lagian aku juga sebentar nggak ngapa-ngapain”. Setelah sarapan aku pamitan ke Bunda dan Ayah untuk berangkat ke kampus. Sebenarnya aku sangat malas untuk ke kampus hari ini karena hanya ada satu mata kuliah. Tapi aku selalu ingat perkataan kak Fahmi, kakak iparku, dia bilang kamu boleh merasa jenuh karena kuliah tapi kamu harus ingat kalau berapa banyak orang yang mau gantikan tempatmu untuk duduk dibangku perkuliahan karena mereka tidak seberuntung kamu. Dan itu benar-benar membuatku skak mat. Setiap ada niat untuk bolos kuliah pasti kata-kata kak Fahmi akan terngiang-ngiang dikepalaku.
“May pulang kuliah kak Tristan dan teman-temannya ngajakin kita makan siang bareng katanya mumpung pulang cepat sih” kata Rara yang baru saja datang.
“Wah aku nggak bisa soalnya harus jemput Fania pulang sekolah” ujarku jujur
“Padahal kak Tristan katanya pengen banget ketemu sama lo”. Aku mengangkat bahuku tidak tau harus melakukan apa. Tidak mungkin aku memilih nongkrong daripada jemput keponakan sendiri yang masih berumur 6 tahun.
Aku tau kalau kak Tristan menyukaiku-aku bukannya sok kepedean ya- sudah banyak cara yang dia lakukan sebagai usahanya untuk mendekatiku. Kak Tristan sebenarnya orang yang baik, asyik diajak bergaul walaupun kamu itu juniornya dan dia low profile. Tapi dia orang yang sangat setiap ada seorang perempuan yang dekat dengan kak Tristan pasti akan mendapatkan banyak kecaman dari fansnya yang galaknya minta ampun. Aku bahkan pernah menjadi salah satu korbannya. Dan juga saat ini aku tidak ingin terikat dengan hubungan apapun.
“Aku titip salam aja buat kak Tristan dan yang lain”. Rara mengiyakan dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Aku juga sebenarnya merasa risih kalau terus-menerus membicarakan tentang kak Tristan.
·
Aku langsung berdiri dan berlari kecil menuju mobilku. Dosen yang mengajar terlambat masuk dan meminta tambahan waktu sebagai gantinya. Padahal Fania sudah pulang 15 menit yang lalu. Aku sudah menelpon kak Nia untuk menelpon guru Fania agar menemaninya sampai aku datang. Jarak sekolahnya lumayan jauh dari kampusku jadi aku harus lumayan ngebut.
Aku bisa bernapas lega ketika memarkirkan mobilku diparkiran sekolah Fania. Aku bergegas menuju ke kelasnya.
“Permisi bu, saya tantenya Fania” ucapku
“Oh iya bu. Tunggu sebentar ya saya panggilkan Fania dulu soalnya dia lagi manin sama temannya”. Apakah aku sudah setua itu sampai guru Fania memanggilku BU ??
“Aunty Mayaa !!” pekik Fania girang sambil menyeret tasnya yang mungil. Aku menggendong dan mencium pipi Fania bertubi-tubi lalu berpamitan ke guru Fania
“Aunty hari ini Fania dapat hadiah dari ibu guru soalnya kata bu guru gambar Fania bagus” ucapnya girang
“Waah, ponakan aunty pintar banget. Sekarang biar aunty yang kasih hadiah deh buat Fania. Fania mau apa ? Mau boneka ? Mau makan es krim ?” tanyaku. Namun, Fania tiba-tiba berlari kearah ayunan dan kulihat ada anak kecil sedang duduk sendiran dengan kepala yang tertunduk.
“Kiera” teriak Fania.
Kiera ??
Dan betul saja, Kiera mengangkat kepalanya. Apakah Fania berteman dengan Kiera ? Kalau benar berarti dunia ini sangat sempit.
“Kenapa kamu belum pulang ?”
“Papaku belum datang”. Aku bisa merasakan nada sedih dari Kiera. Anak yang malang.
“Gimana kalau pulang sama aku aja ?” ajak Fania. “Aku dijemput sama aunty nanti aku akan tanya aunty untuk anteri kamu pulang ke rumah”
“Tidak bisa. Papaku sudah janji untuk jemput aku”.
“Aunty aku baik kok. Nanti kita sama-sama pulang dan kita bisa makan es krim sama-sama”. Aku terkekeh mendengar perkataan Fania dengan kukuh mengajak Kiera untuk pulang bersama. Mirip banget dengan mamanya.
“Kiera”
“MAMA ??!!”. Kiera berlari kearahku dan memelukku dengan erat. “Mama kenapa ninggalin Kiera ?”. Tiba-tiba saja Kiera menangis dengan sangat keras.
Degh !
Seperti ada hantaman keras pada dadaku. Aku menangkupkan wajah kecilnya dan menghapus air matanya dan memeluk Kiera lagi.
“Maaf”. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku bisa merasakan kesedihan Kiera. Apakah terjadi sesuatu dengan mamanya ?
“Aunty”. Suara kecil Fania menyadarkanku sedangkan Kiera masih menangis dalam pelukanku. Aku menggendong Kiera dan memegang tangan Fania yang tentu saja bukan hal yang mudah dan membawa kedua anak ini duduk didekat ayunan.
“Aunty kenapa Kiera menangis ?” tanya Fania yang tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang kebingungan.
“Mama”. Tangisan Kiera tidak bisa berhenti. Aku berusaha menenangkannya begitu pula dengan Fania yang bahkan mengeluarkan boneka pony kecil kesayangannya untuk menenangkan Kiera.
“Kiera ??” Dari jauh nampaklah sesosok laki-laki berlari menuju kearah kami dengan memakai jas-yah seperti baju kantoran- sangat rapi. Aku bisa melihat raut khawatir yang kelihatan diwajahnya. Sesampainya dihadapanku, dia lalu berjongkok dan mengelus kepala Kiera.
“Kiera ini Papa nak” ucapnya. Kiera berbalik dan memeluknya orang itu yang ternyata adalah papanya. Tangisan Kiera kembali pecah yang membuat Fania juga menangis.
“Fania kenapa sayang ?” tanyaku panik. Aku memperhatikan seluruh tubuhnya tapi tidak ada yang terluka. Lalu kenapa menangis ? “Fania kenapa ?” tanyaku lagi
“Kasihan Kiera” ucapnya disela-sela tangisnya. Mungkin mendengar nama anaknya, Papanya Kiera berbalik kearah kami sambil menenangkan Kiera dengan mengelus-elus kepalanya.
“Tidak apa-apa Fania. Terima kasih ya sudah menemani Kiera”. Oh dia mengenal Fania ?
Papanya Kiera lalu menatapku. “Terima kasih bu sudah menemani Kiera. Maafkan kalau Kiera suka mena…”
“Mmm.. saya bukan guru disini. Saya tantenya Fania” ucapku memotong perkataannya. Apakah aku sudah setua ini jadi bisa dipanggil ibu ?
“Oh, maafkan saya. Tapi saya sungguh berterima kasih” ujarnya.
“Iya pak tidak apa-apa. Sebaiknya bapak duduk dan tenangkan Kiera terlebih dahulu sekalian saya mau pamitan pulang…”
“Mama mau kemana ?” sontak aku dan Papanya Kiera saling berpandangan. Kiera mengulurkan kedua tangannya untuk dipeluk olehku. Aku mengambil Kiera dari Papanya dan duduk disamping Fania yang untungnya sudah mulai tenang.
“Kan papanya Kiera udah datang jadi Kiera sudah bisa pulang sama papa dan Fania harus diantar pulang nanti mamanya Fania cariin Fania terus tanya kenapa Fania belum pulang”. Aku tak tau apa yang harus ku katakan. Sedangkan papanya Kiera terdiam mematung. Seharusnya dia membantuku bukannya berdiri seperti patung.
“Tapi Mama pulang kan ?”. Aku bingung mau menjawab apa dan untungnya papanya Kiera sudah tidak menjadi patung dan membantu mengalihkan pembicaraan.
“Kiera kan belum makan jadi kita makan siang dulu ya. Perut Papa sakit karena belum makan siang”. Pengalihan isu yang buruk tapi untungnya Kiera menganggukkan kepala dan turun dari pangkuanku. “Sebaiknya Anda dan Fania ikut kami makan siang dan saya yakin Fania juga lapar ya kan sayang ?”. Fania menganggukkan kepalanya dan berjalan bersama dengan papanya Kiera sedangkan Kiera menungguku ikut jalan bersamanya.
Aku menghela napas panjang dan memegang tangan Kiera dan berjalan mengikuti Fania dan papanya Kiera. Fania terlihat sangat akrab dengan papanya Kiera sampai-sampai dia meninggalkan auntynya ini.
“Mama mau makan apa ?”
“Apa aja sayang. Kalau Kiera mau makan apa ?”
“Terserah tapi nanti Mama suapin Kiera ya”. Aku sangat kasihan sama Kiera. Kemana mamanya ? Kenapa Kiera seperti kehilangan kasih sayang dari mamanya ? Dari jauh aku bisa melihat Fania dan papanya Kiera berdiri disamping mobil yang sangat kuidam-idamkan sejak dulu. A Jeep Wrangler Rubicon hitam. Wow… selera yang sangat bagus.
“Silahkan masuk” kata Papanya Kiera setelah membukakan pintu untukku ? Entahlah.
“Maaf Pak. Saya bawa mobil sendiri nanti saya akan mengikuti mobil Bapak dari belakang saja”. Papanya Kiera terdiam beberapa saat. Dia lalu membuka pintu depan dan mengatakan sesuatu kesupirnya.
“Baiklah kita naik mobil Anda saja. Nanti mobil saya ngikut dibelakang”. Papanya Kiera lalu menggendong Kiera dan Fania turun dari mobil dan menuju kemobilku.
“Nah Fania dan Kiera duduk sama-sama dibelakang dan pakai seat beltnya”. aku memasangkan masing-masing dan memastikan mereka memakai dengan baik terutama Fania karena anak ini tidak bisa diam. Ketika aku berbalik, aku hampir saja menabrak Papanya Kiera yang berdiri pas dibelakangku.
“Mana kuncinya ? Biar saya yang menyetir”. Dia menengadahkan tangannya dan dengan terpaksa aku menyerahkan kunci mobilku.
“Saya minta maaf atas perlakuan Kiera yang mungkin membuat Anda kaget dan bingung. Tapi saya berterima kasih karena Anda dapat menanganinya dengan baik” ujar papanya Kiera
“Iya pak tidak pa pa”
“Nama Anda siapa ?”
“Nama saya Maya. Bapak ?” jawabku singkat
“Nama saya Kevin tanpa ada embel bapaknya sudah cukup. Saya masih 28 tahun jadi kalau mau dipanggil bapak agak gimana ya”. Lah bukannya dia memang sudah pantas dipanggil bapak karena sudah punya anak ?
“Umur kamu berapa ?” sambungnya
“21 tahun”
“Masih muda. Jadi saya bisa untuk bicara tidak terlalu formalkan dengan kamu ?”. Baru kenal kok sok akrab banget ?
“Papa, Kiera mau makan udonnya om Adnan” ucap Kiera yang memotong pembicaraan kami.
Papa-Kevin, mengiyakan. “Tidak pa pa kita makan udon ?” tanyanya. Aku menoleh dan hanya menganggukkan kepalaku. Selama perjalanan hanya terdengar suara Fania dan Kiera yang berbicara dan tertawa, sedangkan aku hanya terdiam sambil memainkan hpku. Aku tidak tau harus berbicara apa dengan Kevin. Tapi apakah aku lancang kalau tiba-tiba saja akku bertanya dimana mamanya Kiera. Nope. That’s not your business Maya.
“Nah sudah sampai”. Aku segera turun dan membantu Fania dan Kiera membuka seat belt mereka. Kiera manarik tanganku dan tangan Fania untuk masuk kedalam restoran Jepang ini. Salah satu pelayanan mengenali Kiera dan menyapanya dan menuntun kami sesalah satu meja yang kosong.
“Adnan ada nggak ?” tanya Kevin. Dia menarik kursi yang berseberangan denganku dan mengambil menu dari pelayannya. Adnan ? Apakah orang yang sama ku temui kemarin bersama dengan tante Dian ?
“Bos belum datang. Katanya sih jetlag” jawab pelayan.
“Dasar anak itu. Ya sudah saya dan Kiera pesan yang biasa aja. Maya kamu pesan apa ?”. Aku pun memilih menu dan memilihkan menu untuk Fania makanan yang tidak pedas. Anak ini sangat tidak tahan makanan yang pedas, sangat mirip dengan mamanya.
“Mama Kiera sama Fania mau main ditempatnya om Adnan ya”. Tanpa menunggu jawaban dariku, Kiera dan Fania sudah lari masuk kedalam suatu ruangan. Aku ingin mengejar namun Kevin menghentikanku.
“Tidak pa pa. Kiera pasti mengajak Fania masuk keruangan Adnan dan kamu nggak usah khawatir karena Kiera sudah dikenal sama seluruh pelayanan yang ada disini” jelas Kevin. Aku kembali duduk dan hanya memperhatikan interior dari restoran ini. Yah restorannya hampir sama dengan restoran yang kudatangi kemarin, hanya letaknya saja yang membedakan.
“Vin my bro, long time no see… calon ipar ?”
WHATT ??!!