Bab 01. Siksaan Demi Siksaan
"Ampun, Mas! Aku mohon, berhenti!"
Tubuh Erika bergetar, suaranya nyaris pecah di tengah dera siksaan demi siksaan yang tak bertepi. Tubuhnya yang sudah lelah menahan sakit terus diperlakukan tanpa ampun oleh pria yang selama ini dia cintai, Reno Pratama, suami sekaligus sumber segala derita yang menghancurkan hidupnya.
Mata Reno membara, penuh kebencian yang semakin dalam setelah dipengaruhi bisikan seorang wanita lain. "Ini akibat dari ulahmu sendiri, Erika Naira Kusuma! Kamu sudah berani menyakiti Bella, padahal sudah aku peringatkan, jangan pernah!" ancamnya dengan dingin, suara tajamnya menusuk hati Erika seperti belati.
Tangannya tak berhenti menampar, menjambak rambut Erika sampai kulit kepala wanita itu nyeri. Wajah cantik Erika pun dipaksa ditenggelamkan ke dalam bathtub berisi air dingin yang menggenang, berulang kali, membuat napas istrinya itu sesak dan hampir tercekik dalam gelap dinginnya.
"Sakit, Mas. Tolong hentikan .... aku bisa mati kalau ini terus berlanjut," rintih Erika, air mata bercampur dengan air bathtub, tubuhnya lunglai tanpa daya.
Tapi amarah Reno tetap membara, membakar setiap sudut ruang itu dengan kengerian. Di balik siksaan ini, ada kisah cinta yang berubah jadi tragedi dan Erika hanya bisa meratap dalam sepi, berharap ada secercah keajaiban yang menyelamatkannya dari neraka rumah tangga yang kini menjeratnya erat tanpa ampun.
"Kamu pikir, kamu bisa bebas begitu saja setelah menyakiti Bella? Jangan pernah bermimpi!" ucap Reno dengan sinis, tatapannya membara seperti hendak menelan Erika hidup-hidup.
"Tapi Mas, aku tidak-"
PLAK!
Belum sempat Erika membela diri, tamparan kasar dari Reno kembali menghantam pipinya dengan keras, meninggalkan jejak kemarahan yang dalam.
"Kak, sudah. Jangan siksa Erika lagi. Kalau sampai dia kenapa-kenapa, nanti kamu juga yang susah!" Isabella Putri Atmajaya, menghentikan Reno saat hendak kembali menyiksa istrinya.
Namun, itu semua hanyalah sandiwaranya. Wanita yang akrab disapa Bella itu, justru merasa senang, wajahnya tak sedikitpun menunjukkan rasa bersalah. Dia, model ternama yang dengan licik meracuni pikiran Reno, wanita yang sudah membuat pria itu kehilangan akal sehat dan kepercayaan pada Erika. Bahkan sampai Reno tega menyiksa istri sendiri karena bisikan hitam darinya.
"Kamu terlalu baik, Sayang," ujar Reno. Tangannya meraih pipi Bella dengan kelembutan, seolah-olah menghapus luka yang wanita itu rasakan. "Bagaimana, apa pipimu masih sakit karena wanita gila ini?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
Bella menggenggam tangan Reno, mencoba menenangkan pria itu, sekaligus sengaja menyakiti hati istri sah. "Aku baik-baik saja, Sayang."
Ini bukan pertama kalinya, tetapi sudah setahun terakhir pernikahan mereka. Reno terang-terangan menjalin hubungan atau berselingkuh dengan Bella, bahkan membawa wanita itu ke rumah, sengaja ingin membuat Erika sakit hati. Bukan hanya luka fisik yang membekas dalam jiwa Erika, tapi juga penderitaan batin yang jauh lebih dalam. Dua tahun pernikahan mereka, yang seharusnya jadi saksi kebahagiaan, hancur dalam sekejap. Setahun terakhir bagai neraka hidup, dipenuhi caci maki dan pengkhianatan, semua karena satu nama yang selalu menghantui, Bella.
Reno menatap pipi Bella yang memerah. "Sekarang, aku obati pipimu." Lalu, Matanya kembali melirik tajam ke arah Erika, suara kasar menyayat udara, "Wanita sialan! Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyakiti Bella lagi! Ini belum seberapa, aku bahkan bisa melakukan yang lebih kejam. Ingat itu!"
Dengan lembut, Reno menggandeng tangan Bella dan meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh sedikit pun. Tanpa belas kasihan sedikitpun terhadap istrinya sendiri.
Bella tersenyum sinis. "Kamu sudah salah karena merebut Reno dariku, Erika! Padahal aku sudah berusaha menyingkirkan Dania, tapi malah kamu yang hidup bersama Reno. Untung saja, hanya setahun Reno akhirnya jatuh ke dalam pelukanku. Ini akibatnya, nikmati saja nasibmu!" batinnya dengan kejam.
Erika mengepal erat kedua tangannya, tatapannya tajam. Rasa sakit yang dia rasakan bukan hanya di tubuhnya, tapi juga terpatri dalam setiap detak jantung yang menangis tanpa suara.
"Reno, Bella ... kalian berdua adalah manusia paling kejam yang pernah aku temui. Bella, kamu begitu licik. Kamu yang pembunuh Dania yang sebenarnya, tapi malah menyeret namaku ke dalam neraka yang kamu ciptakan sendiri. Dan kamu, Reno ... ternyata kamu menikahiku bukan karena Dania, tapi untuk membalas dendam atas sesuatu yang bahkan tidak pernah kulakukan. Kamu akan menyesal!"
Kemarahan membara di d**a Erika. Ia semakin menguatkan kepalan tangannya hingga nyeri, menata kebencian yang semakin menggila di dalam d**a. Ia tahu, ia tak akan bertahan lama dalam derita ini. Dia berjanji, akan mengakhiri semuanya, tidak peduli betapa sulitnya.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Erika keluar dari kamar mandi, matanya memancarkan kegelisahan yang membuncah. Ia segera meraih ponselnya, menekan nomor yang sudah lama ia hindari, nomor salah satu orang yang pernah ia putuskan untuk tidak lagi dihubungi. Semua itu karena Reno, pria b******k yang telah membuatnya buta oleh cinta dan tersesat dalam kepedihan.
Telepon tersambung. Suara seseorang di ujung sana keluar dengan nada dingin, menusuk kalbu.
"Ada apa? Apa kamu sudah menyesal sekarang, sampai akhirnya menghubungiku?" tanya pria itu dengan suara tegas penuh sindiran.
"Kak Rey ... kalau aku bilang aku menyesal dan ingin kembali pada kalian, keluargaku ... apa kalian masih mau menerimaku?" Suara Erika pecah dalam tangisan yang membuncah, seolah menanggung beban penyesalan yang tak tertahankan.
Rey Narendra Kusuma, kakak laki-laki Erika, terdiam sesaat, hatinya terpukul oleh kesungguhan adiknya. "Er, kamu benar-benar serius? Aku akan datang menjemputmu sekarang juga. Di rumah, aku, mama dan papa akan selalu membuka pintu untukmu. Jangan ragu."
"Aku serius. Tapi, Kak ... beri aku waktu sedikit lagi," pinta Erika tergugu, napasnya bergetar. "Tolong sampaikan sama mama dan papa kalau aku menyesal. Aku janji akan kembali dan nggak akan mengulangi kesalahan ini lagi."
"Iya, Er. Tapi kalau ada yang kamu butuhkan, apa pun itu, katakan saja. Aku akan membantumu," ujar Rey dengan suara penuh harap dan kehangatan.
Erika mengakhiri telepon dengan suara yang mulai mantap, meski masih berderai air mata, "Terima kasih, Kak."
Hatinya sudah cukup hancur selama dua tahun ini. Bukan hanya dua tahun, sejak SMA dia sudah mencintai orang yang salah. Tapi sekarang, ia tidak akan mau menyia-nyiakan hidupnya lagi.
"Reno, tunggu saja, aku akan membuatmu membayar semuanya!" ucap Erika, penuh dendam.
Dalam keheningan itu, langkah Erika bergetar antara penyesalan dan semangat baru, sebuah perjalanan panjang untuk menebus dan menemukan dirinya kembali.
***
Dua tahun yang lalu âŠ
Lokasi pernikahan sudah dipenuhi oleh deru tawa dan bisik penuh harap dari para tamu, namun sosok calon mempelai wanita masih tak kunjung menampakkan diri. Kekhawatiran merayap pelan, memenuhi ruang-ruang hati yang menanti.
Di antara kerumunan, Reno berdiri tegak namun hatinya berkecamuk. Sebagai calon pengantin laki-laki, matanya gelisah menatap pintu, dia tak bisa menahan rasa risau yang membuncah, ingin segera menemukan Dania, calon istrinya.
Tiba-tiba, Erika, sahabat karib Dania sejak SMA yang kini juga rekan seprofesi sebagai model, melangkah maju dengan yakin. "Biar aku saja yang cari Dania, Kak," ujarnya tegas, mematahkan kekakuan itu.
Reno mengangguk, seolah melepaskan beban berat dari dadanya. "Terima kasih, Er."
Tanpa menunggu lama, Erika langsung menyusuri lorong menuju kamar rias. Namun, di sana sunyi tak berjiwa. Ruang itu kosong, tak berbekas jejak seorang pun. Dia pun mencoba mencari, hingga kekhawatirannya semakin memuncak karena tiba-tiba terdengar suara lirih memecah kesunyian.
"To-long, aku ...."
Jantung Erika seketika berdegup kencang, dadanya terasa sesak. Ia mengikuti arah suara itu dengan langkah tergesa, hingga sampai di depan sebuah pintu yang terkunci rapat. "Dania, apa kamu ada di dalam?" tanyanya dengan nada panik yang bergetar.
"Ya. Aku di sini, Er âŠ."
Mendengar jawaban itu, dengan tangan gemetar Erika membuka pintu. Seketika membuat pandangan matanya membeku, nyaris terlepas dari rongga. Apa yang terhampar di depan matanya? Pemandangan yang tak pernah ia bayangkan, begitu mengerikan, membuat darahnya serasa membeku dan hati hampir lepas dari genggaman.
"Dania!" teriak Erika histeris.
Bersambung âŠ