Seungha berjalan dengan hati-hati saat melewati sebuah turunan menuju sungai di belakang bukit. Sampai di pinggir sungai, bisa pemuda itu rasakan suasana tenang dengan udara segar menyambutnya. Sungai di belakang bukit ini selalu menjadi tempat terbaik bagi pemuda itu untuk melarikan diri—menghilang sejenak dari segala hal yang mengganggu pikirannya.
“Oh.”
Seungha berseru ketika netranya menangkap sebuah pemandangan aneh di tengah sungai. Tampak seperti tubuh manusia sedang mengapung di sana. Pemuda itu beralih menatap ke sekitarnya. Sepi. Tidak ada siapa pun di sana, hanya ada sepasang sepatu di dekat sebuah batu besar. Tiba-tiba saja sebuah pikiran aneh terlintas di kepalanya.
Itu bukan mayat, kan?
“Tunggu, jangan mati!!!”
“Aku akan menolongmu!!!”
Tanpa pikir panjang Seungha segera melepas sepatunya lalu masuk ke dalam sungai. Bisa pemuda itu rasakan dinginnya air sungai menerpa permukaan kulitnya. Seungha semakin mendekat pada tubuh yang sedang mengapung itu, semakin dekat terlihat jelas bahwa itu tubuh seorang perempuan. Masih muda, mungkin seusianya.
“Berhasil, aku memegangmu sekarang.” Seungha berhasil meraih tubuh perempuan yang mengapung itu, membuat si perempuan kehilangan keseimbangan dan hampir tenggelam. Namun, dengan cepat Seungha berhasil meraih pinggangnya, hingga perempuan itu berhasil berdiri dengan benar.
“Kau tak apa-apa?” tanya Seungha sembari mengusap wajahnya yang basah karena air sungai. Perempuan itu juga melakukan hal yang sama, lalu menatap tajam ke arahnya.
Pemuda itu terpaku. Wajah asing yang tak pernah ia lihat berdiri di depannya. Mata cokelat yang sedang menatapnya itu menarik perhatian Seungha, membuat pemuda itu terpana. Cantik. Itu adalah kata yang muncul di kepala Seungha saat menatap wajah perempuan itu.
Mereka saling bertatapan selama beberapa detik, hanya deru napas masing-masing yang terdengar di antara suara gemeresik dedaunan yang tertiup angin.
“Kau mau membunuhku?” teriak perempuan itu, membuat Seungha mengerjap dan kembali sadar.
Mata Seungha berkedip beberapa kali. Membunuh? Siapa? Dia?
“Aku baru saja menolongmu,” jawab Seungha polos. Memang itu yang dia lakukan, menolong perempuan yang dia pikir hampir mati itu.
“Menolong? Kau pikir aku sedang mencoba bunuh diri?”
Seungha terdiam, pikiran itu sempat terlintas di kepalanya saat melihat tubuh perempuan itu terapung di tengah sungai. “Bukannya memang begitu?”
“Orang bodoh mana yang bunuh diri di sungai yang bahkan tak bisa menenggelamkan tubuhnya?”
Seungha beralih menatap tubuhnya. Benar, air sungai itu hanya setinggi dadanya. “Jadi kau tak berniat bunuh diri?”
Perempuan di depan Seungha itu mendengus kesal kemudian berbalik, perlahan berjalan keluar dari sungai. “Dasar, gila.”
Masih tak mengerti dengan apa yang terjadi, dengan polosnya Seungha mengekor di belakang perempuan itu . Cepat-cepat Seungha memalingkan wajahnya saat perempuan itu sampai ke daratan.
“Ehem.” Seungha berdeham membuat sang perempuan menoleh dan menatapnya kesal.
“Pakaianmu,” kata Seungha malu-malu.
“Sial,” umpat perempuan itu lalu menutup bagian dadanya dengan kedua tangannya. Kaos putihnya yang basah membuat pakaian dalamnya terlihat jelas. Kalau tidak salah warna biru? Bukan m***m, Seungha hanya tidak sengaja melihatnya tadi.
“Kau bisa pakai ini.” Seungha buru-buru melepas jaketnya dan memberikannya pada perempuan itu. “Memang basah, tapi setidaknya bisa menutupi tubuhmu.”
Seungha masih memalingkan wajahnya ketika perempuan itu menyambar jaketnya. “Rumahmu di mana?”
Wajahnya sangat asing bagi Seungha. Pemuda itu menebak perempuan itu bukan penduduk desa ini. “Kau tinggal di desa ini?”
Hening.
Dua pertanyaan Seungha itu sama sekali tak dijawab, hingga pemuda itu menoleh dan mendapati si perempuan sudah berjalan menjauh darinya. Seungha buru-buru memakai sepatunya lalu menyusul perempuan tadi.
***
Sean menyusuri jalan setapak di depannya dengan bersungut-sungut. Hari ini sungguh sial baginya. Tersesat dan ia bahkan hampir mati tenggelam di sungai.
“Sialan.” Gadis itu mengumpat saat menatap pakaiannya yang basah. Niatnya ingin menenangkan pikiran sambil menikmati keindahan alam sekitar sungai, justru ia hampir mati tadi—salahnya juga karena memutuskan berenang padahal memakai pakaian seperti ini.
Sean menoleh ke belakang, menatap pemuda yang saat ini sedang berlari mengejarnya. Semua karena pemuda itu. Bunuh diri? Yang benar saja? Sean masih punya akal sehat untuk tak melakukan hal itu—walau bunuh diri sempat terlintas di pikirannya beberapa kali, tapi sampai saat ini Sean belum punya keberanian untuk melakukannya. Mungkin nanti, suatu hari saat dia punya keberanian untuk merelakan segalanya, Sean mungkin akan melakukannya.
“Siapa namamu?” tanya pemuda yang hampir membuatnya tenggelam tadi. Pemuda itu sudah berjalan di sampingnya dengan napas terangah-engah karena berlari.
Sean diam tak menggubris pertanyaan pemuda itu. Ia terus melangkah tak peduli pada pemuda yang sekarang mengikutinya. Gadis itu mempercepat langkahnya setelah turun dari bukit. Ia ingin segera pulang, beruntung otaknya bisa mengingat jalan pulang ke rumah kakeknya. Andai saja ia bisa mengingat jalan pulang sebelum pergi ke bukit itu, pasti ia tak akan jadi seperti ini.
“Rumahmu di mana?”
“Kau penduduk baru di sini?”
“Aku bisa mengantarmu.”
Sekali lagi Sean mengabaikan ucapan pemuda yang sejak tadi mengikutinya. Ia sudah terlanjur kesal. Gara-gara pemuda itu ia hampir saja mati tenggelam dan bertemu malaikat maut.
Brakkk
Sean membuka pintu pagar rumah kakeknya dengan keras hingga membuat pemuda yang sejak tadi mengikutinya terlonjak kaget. Jae Hwa yang juga sedang duduk di halaman depan rumah juga terlonjak kaget karena ulah cucunya itu.
“Sean-ah, apa yang terjadi?” Jae Hwa bertanya dengan khawatir saat melihat Sean masuk dengan keadaan basah kuyup, padahal cuacanya cerah dan tidak turun hujan.
“Seseorang hampir membuatku mati tenggelam,” jawab Sean ketus.
“Apa?” Jae Hwa menatap bingung pada cucu perempuannya itu, tapi Sean terus berlalu masuk ke dalam rumah. Jae Hwa kemudian beralih pada sosok pemuda yang saat ini berdiri di depan pintu pagar rumahnya. “Seungha-ya?”
Jae Hwa menggaruk kepalanya saat menyadari bahwa pemuda bernama Seungha itu juga dalam keadaan basah kuyup seperti Sean.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya wanita berusia 60 tahun itu dengan raut wajah bingung, melihat cucunya dan Seungha pulang dengan basah kuyup. “Kalian bermain air?”
“Ah, tidak nek,” jawab Seungha sambil menggaruk tengkuknya. “Kami jatuh ke sungai tadi.”
“Sungai? Ah.” Jae Hwa bertepuk tangan satu kali saat ingat bahwa sungai di belakang bukit adalah tempat favorit Sean.
“Kau masuklah dan ganti pakaian juga, aku akan pinjamkan bajunya kakek Sean. Kau bisa masuk angin nanti.” Jae Hwa merasa kasihan melihat Seungha juga basah kuyup akhirnya menyuruh pemuda itu masuk ke dalam rumahnya.
“Ah, tidak perlu. Saya akan pulang saja,” tolak Seungha dengan sopan. Lagi pula gadis bernama Sean itu sepertinya masih marah karena perbuatannya tadi dan pasti tak senang jika melihatnya masih ada di sana.
“Begitu ya, salam untuk kakekmu, ya.”
“Baik, nek.” Seungha membungkuk pada Jae Hwa dengan sopan sebelum pergi dari rumah wanita tua itu.
Seungha menarik kedua sudut bibirnya saat berjalan menjauh dari rumah Jae Hwa. Wajah Sean terlintas dalam pikirannya. Kulitnya putih, rambutnya cokelat, matanya bulat. Ah, warna mata milik Sean sangat cantik. Seungha tidak tahu jika ada gadis secantik itu di desa. Mengingat kembali bagaimana rupa Sean, membuat senyum terus mengembang di wajah tampan pemuda itu.
“Sean, cantik,” gumam Seungha masih dengan senyum yang mengembang.
***
“Nenekmu bilang kau jatuh ke sungai tadi?” tanya Bum Tae pada cucunya. Mereka bertiga sedang makan malam di halaman depan rumahnya. Tempat Sean dan kakek neneknya makan bersama mirip sebuah panggung kecil yang letaknya di tengah halaman.
Sean diam tak menjawab pertanyaan kakeknya. Mengingat kembali kejadian tadi, hanya membuatnya kesal.
“Seungha bilang mereka jatuh ke sungai,” jawab Jae Hwa. Wanita itu kemudian meletakkan sepotong daging ke dalam mangkuk nasi Sean. “Pemuda tadi namanya Seungha, dia cucu kepala desa. Kalau tidak salah dia juga dari Seoul.”
Sean masih bergeming. Ia sama sekali tidak tertarik siapa pemuda tadi. Seungha atau siapa pun itu yang jelas dia hampir membuatnya bertemu dengan malaikat maut.
“Kau marah padanya?” tanya Jae Hwa, melirik Sean yang makan sambil merengut.
Sean menarik napas. Marah? Tentu saja. Ia hampir tenggelam karena ulah pemuda bernama Seungha itu.
“Seungha itu pemuda yang baik, dia pasti tak sengaja membuatmu hampir tenggelam tadi,” ucap Bum Tae menimpali.
Sean mendengus mendengar ucapan kakeknya. Pemuda yang baik? Sean yakin Si Seungha itu bukan pemuda baik seperti yang dikatakan kakeknya. Mereka memang baru bertemu sekali—dengan kesan yang buruk pula, tapi perasaan Sean mengatakan bahwa pemuda bernama Seungha itu bukanlah pemuda yang baik.
“Nenek harap kalian bisa akrab, dia setahun lebih tua darimu, kau pasti akan senang berteman dengan pemuda tampan sepertinya.”
Sean hampir saja mengeluarkan makanan yang baru saja ditelannya saat sang nenek menyebut Seungha tampan. Akrab? Merasa senang berteman dengan pemuda itu? Itu tak akan terjadi. Sean lebih suka sendirian.
Jae Hwa dan Bum Tae saling melirik. Melihat wajah Sean yang terus murung sejak tadi membuat mereka khawatir. Apa yang dikatakan Yeon Woo ternyata benar. Sean si gadis ceria, cucu mereka yang ramah sudah tidak ada lagi. Di depan mereka hanya ada Sean si pemurung.
***
Sean :
Eomma aku hampir mati tadi.
Eomma, aku hampir tenggelam dan bertemu malaikat maut.
Eomma, tak bisakah aku kembali ke Seoul?
Aku tidak bisa tinggal di sini.
Eomma?
Eomma?
Sean melempar ponselnya ke atas kasur lantai dengan kesal. Ibunya tak membalas pesannya walau sudah membacanya. Ia hampir mati tadi dan ibunya sama sekali tidak peduli.
“Argh...!” geram Sean.
Gadis itu berbaring di atas kasur lantainya lalu menatap langit-langit kamarnya. Mungkinkah sang ibu bukan hanya mengirimnya tinggal di sini selama musim panas, tapi untuk selamanya? Entahlah, Sean merasa sang ibu sudah tak peduli lagi padanya. Sengaja mengirimnya ke rumah kakek neneknya karena tak mau lagi terus berdebat dengannya setiap hari. Jika benar begitu adanya, bukankah ibunya kejam?