Bagian 3

1992 Kata
Sean menatap tajam pada mobil ibunya yang menjauh dari rumah kakek dan neneknya. Setelah perdebatan panjang dengan sang ibu tadi, berakhirlah Sean dengan tinggal di rumah kakek neneknya selama musim panas ini. Walaupun sebenarnya Sean tidak mau, tapi ancaman sang ibu soal mengambil semua fasilitas miliknya membuat Sean akhirnya menurut. Ia tak bisa hidup dengan tenang jika semua fasilitas seperti ponsel, kartu kredit dan komputer di kamarnya di ambil. Sean menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, berharap bisa menenangkan diri dan menerima kenyataan. Dia hanya perlu bertahan tinggal di sini selama musim panas, bukan? Dengan begitu semua fasilitasnya akan aman, walau Sean tak yakin bisa bertahan di sini. Desa tempat tinggal kakek dan neneknya ini hanya di kelilingi oleh gunung, bukit dan juga sawah. Selain itu letaknya juga cukup jauh dari perkotaan. Di desa itu tidak ada pusat perbelanjaan, kafe, warnet atau tempat-tempat menarik seperti di Seoul. Kalaupun ada itu hanya di kota, dan untuk pergi ke kota mereka harus naik mobil atau bus, dan menempuh perjalanan sekitar 30 menit. Tak seperti di Seoul di mana ada banyak halte bus dan bus datang setiap menit, di desa itu hanya ada satu halte bus. Lalu bus hanya datang setiap 1 jam sekali. Sean tiba-tiba bergidik ngeri membayangkan kesulitan yang akan dia alami selama tinggal di sini. “Sudah, nenek tahu kau kesal. Tapi tinggal di sini lumayan menyenangkan, ada kakek dan nenek,” ucap Jae Hwa sembari mengusap lengan Sean, berusaha menenangkan cucunya. Gadis itu masih terlihat sangat kesal dan marah karena harus tinggal bersama mereka selama musim panas. “Sekarang kau masuk saja ke kamar dan beristirahat, barang-barangmu bisa kau bongkar nanti setelah istirahat,” sambung Bum Tae. Kakek Sean itu lalu mengajak cucunya untuk masuk ke dalam rumah. Sean mengekor di belakang sang kakek dengan langkah lemah, rasanya masih tidak menyangka jika dia akan tinggal di sini selama musim panas. Gadis itu memperhatikan bagian dalam rumah kakeknya itu. Benar-benar sangat kuno. Lama tak kemari membuat Sean lupa bagaimana rumah kakeknya ini, ia baru sadar jika rumah ini sangat kuno. Mereka lalu berhenti di depan sebuah ruangan. “Ini kamarmu.” Bum Tae membuka pintu ruangan itu. Mata dan mulut Sean terbuka lebar melihat ruangan yang di sebut kamar di depannya. Kamar itu sangat berbeda dengan kamarnya di Seoul. Tidak ada AC, ranjang, meja rias. Di dalam sana hanya ada kipas angin, tumpukan kasur lantai dan selimut. Apa kakeknya yakin menyebut ruangan ini sebagai kamar? Apa dia bisa tidur di dalam sini dengan keadaan seperti ini? “Memang tidak senyaman kamar Sean di Seoul, tapi semoga kau betah ya,” ucap Bum Tae sambil menepuk pelan bahu Sean. “Sekarang istirahatlah, nenek dan kakek masih banyak pekerjaan di ladang.” Setelah kakeknya pergi Sean jatuh terduduk. Perasaan buruknya pagi ini menjadi kenyataan. Bagaimana bisa dia tinggal di sini selama musim panas. Desa itu hanya di kelilingi oleh gunung, sungai dan ladang. Tidak ada kafe, pusat perbelanjaan, rasanya seperti tinggal di pedalaman. Sean mengeluarkan ponselnya dari saku celana lalu menyalakannya. “Bahkan tidak ada wifi di sini,” keluh Sean sambil menatap layar ponselnya. Sekarang bagaimana bisa dia bertahan di sana selama musim panas? *** Sean membuka matanya perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menerobos masuk lewat celah-celah jendela mengenai wajahnya. Gadis itu kemudian bangun, menatap ke sekitar ruangan tempatnya berada. Ruangan terlihat asing dan jelas bukan kamarnya. Sean menarik napas. Ternyata yang terjadi kemarin bukanlah mimpi buruk, tapi kenyataan. Sean benar-benar akan menghabiskan liburan musim panasnya di desa. “Eungh...,” lenguh Sean saat merasakan sakit di punggungnya. Tidur beralaskan kasur lantai sungguh menyiksanya semalam. Selain itu udara yang panas, tidak ada AC serta banyak nyamuk membuat Sean bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kamarnya di Seoul seribu kali lebih nyaman dari tempat ini. Kriet.... Sean menatap ke arah pintu. Dilihatnya sang nenek datang untuk membangunkannya. “Sudah bangun? Tidurmu nyenyak?” tanya Jae Hwa. “Ah... Lumayan, nek,” jawab Sean berbohong. Dia tidak mungkin bilang kalau tidur di kamar itu sangat tidak nyaman. Meski tak menyukai tempat ini, Sean masih punya hati nurani dan tidak mau membuat neneknya sedih dengan mengatakan hal-hal buruk tentang ruangan itu. “Baguslah, nenek sudah siapkan sarapan. Kau mau mandi dulu atau langsung sarapan?” “Aku akan mandi dulu saja.” Sean merasa badannya sangat lengket karena berkeringat dan dia tidak tahan dengan kondisi seperti ini. Dia ingin mandi dengan air segar. Walau di rumah Sean jarang mandi. “Baiklah kalau begitu, makanannya ada di ruang makan. Setelah makan tidak usah kau bereskan tidak apa-apa, biar nenek yang membereskannya nanti. Sekarang nenek dan kakek harus pergi sawah dulu, kau tak apa kan ditinggal sendiri?” Sean mengangguk. Agak lebih baik jika ditinggal sendirian. Dia tidak perlu berpura-pura menyukai tempat ini di depan kakek dan neneknya. “Baguslah, kalau begitu nenek pergi sekarang. Kalau kau mau jalan-jalan ke sekitar juga boleh.” “Nde, hati-hati di jalan nek,” ucap Sean sambil menganggukkan kepalanya. Setelah neneknya pergi Sean bergegas melenggang ke kamar mandi. Dia ingin segera mandi dengan air bersih. Selesai mandi dan sarapan Sean duduk di teras depan rumah neneknya. Suasana di rumah itu terasa sangat sepi, karena kakek nenek sedang sibuk di sawah. Sean menatap ke sekitar. Rumah neneknya di desa sangat berbeda dengan rumahnya di Seoul. Di sini sangat tenang, seperti kata ibunya, tapi tetap saja Seoul jauh lebih baik. Di sana ada kafe, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Tidak seperti desa ini yang hanya di kelilingi oleh sawah, bukit dan gunung. Sean tiba-tiba saja merasa bosan. Walau sebenarnya ia memang suka sendirian, tapi apa yang bisa dia lakukan sendirian di sini? Jika di Seoul, ia bisa bertahan seharian penuh berada di dalam kamarnya karena ada komputer di sana. Ia bisa bermain game seharian, tapi di sini? Jangankan komputer, wifi saja tidak ada. Apa aku minta ayah memasang wifi di rumah kakek? *** Rasa bosan itu akhirnya membawa Sean berjalan menyusuri jalanan desa itu. Setahun lamanya tidak menginjakkan kakinya di desa ini Sean melihat tak banyak hal yang berubah. Karena sudah musim panas, Sean hari itu memilih mengenakan kaos putih dan hotpants lalu sneaker berwarna senada dengan kaosnya. Mengingat betapa panasnya udara semalam, Sean yakin hari ini pun tidak akan jauh berbeda. “Omo.... Kau Sean, benar kan? Cucu dari nenek Jae Hwa?” tanya seorang wanita paruh baya warga desa itu yang tiba-tiba menghampiri Sean. “Nde,” jawab Sean lalu tersenyum canggung. Dia selalu merasa kurang nyaman setiap kali bertemu orang asing. “Kau yang penari balet itu kan? Aduh cantiknya,” puji wanita paruh baya itu. Mendengar kata balet disebut, Sean tiba-tiba saja merasa tidak nyaman. Meski sudah setahun berlalu mendengar kata balet masih membuatnya terluka. “Nde, terima kasih. Maaf tapi saya harus pergi,” pamit Sean buru-buru. Bertemu orang asing lalu mendengar seseorang menyebutnya sebagai seorang penari balet membuatnya merasa tak nyaman. Sebelum kecelakaan itu balet adalah hal yang membuatnya bahagia, tapi sekarang hanya dengan mendengar kata balet saja hatinya seperti ditusuk oleh benda tajam. Begitu menyakitkannya kehilangan impian dan tujuan hidup bagi Sean. Terlalu larut dalam emosinya, Sean tak sadar telah berjalan cukup jauh dari rumah neneknya. Gadis itu mulai bingung melihat jalanan yang tampak begitu asing di depannya. “Sial, aku tersesat,” umpat Sean saat menyadari dia tidak tahu berada di mana sekarang. “Ponselku tertinggal,” ucap Sean saat berusaha mencari ponselnya, tapi tidak ada. “Sekarang bagaimana aku harus kembali?” Sean menatap ke sekitar. Jalanan itu sangat sepi. Bahkan tidak orang yang berjalan di sekitar sana. Sean akhirnya memutuskan untuk terus berjalan menyusuri jalan itu. Jika nanti dia bertemu penduduk desa yang lain, dia akan minta diantar pulang ke rumah kakeknya. Sambil berjalan, Sean menikmati pemandangan di sekitarnya. Hal yang bagus tentang desa ini hanyalah pemandangan dan udaranya yang masih bersih. Bisa Sean rasakan bahwa di sana udaranya sangat segar dan bersih. Tidak seperti di Seoul, yang tingkat debu halusnya tinggi. Di sini? Jangankan debu halus, asap kendaraan saja tidak ada. Banyak penduduk di sana yang memiliki kendaraan pribadi, tapi mereka lebih suka berjalan kaki untuk melakukan aktivitas di desa. Langkah Sean terhenti di depan sebuah jalan setapak. Sean menatap jalan setapak itu cukup lama. Dia ingat itu adalah jalan menuju bukit, di belakang bukit itu ada sungai yang kedalaman airnya tidak terlalu dalam dan memiliki air yang jernih. Tiba-tiba saja Sean merasa ingin ke sana. Pasti rasanya sangat segar duduk sambil bermain air di tepi sungai. Soal jalan pulang akan dia pikirkan nanti. Sean akhirnya menyusuri jalan setapak itu. Meski sudah lama tak ke sana, ternyata otak Sean masih mengingat jalan menuju sungai di belakang bukit. Sean berjalan dengan hati-hati saat melewati sebuah turunan. Jalannya sedikit berbatu dan juga licin, jadi dia harus ekstra berhati-hati saat melewatinya. Salah melangkah dirinya pasti akan jatuh berguling ke bawah sana dan membuatnya bertemu malaikat maut. Jangan sampai hal itu terjadi. “Wah....” seru Sean begitu tiba di pinggir sungai. Sungai di belakang bukit itu sama sekali tidak berubah. Airnya yang jernih terasa begitu menyegarkan dan menggoda Sean untuk menceburkan diri masuk ke dalam sana. Sean ingat sungai itu tidak terlalu dalam. Tanpa berpikir panjang, Sean segera melepas sneakers dan kaos kakinya lalu meletakkannya di dekat sebuah batu besar. Setelah itu dengan langkah hati-hati Sean berjalan masuk ke dalam air. “Wah....” Sean kembali berseru saat merasakan dinginnya air sungai yang menerpa kulit kakinya. Gadis berambut pendek sebahu itu kemudian memilih duduk di sebuah batu besar dan menenggelamkan kakinya ke dalam air lalu menggerak-gerakkannya. Bermain air seperti ini mengingatkan Sean pada masa lalu. Dulu sang kakek sering mengajaknya ke sini. Mereka duduk berdua sambil bermain air seperti ini. Gadis itu kemudian menatap ke sekitar sungai. Karena letaknya di belakang bukit dan di kelilingi oleh pohon-pohon besar dan tinggi sungai itu jadi mirip sebuah tempat tersembunyi. Saat cahaya matahari menerobos melewati pohon-pohon besar yang menjulang tinggi lalu mengenai permukaan air sungai, membuatnya tampak berkilauan akibat pantulan dari cahaya matahari di atas permukaan air sungai. Sungguh tempat yang indah. Sean menatap bagian tengah sungai. Entah kenapa bermain air seperti ini terasa kurang. Tiba-tiba saja Sean ingin berenang. Sean beralih menatap pakaiannya. Jika dia berenang pakaiannya pasti akan basah. “Masa bodoh,” kata Sean. Gadis itu akhirnya masuk ke dalam air. Sean mulai berenang perlahan. Setelah kecelakaan itu Sean tak pernah lagi melakukan olahraga baik itu berlari atau berenang. Bisa Sean rasakan kakinya yang dulu terluka terasa nyeri. Apa karena sudah lama tak berenang? Pikir gadis itu. Setelah menyesuaikan diri, rasa nyeri di kaki Sean berangsur menghilang. Gadis itu sekarang bisa berenang dengan bebas. Sean berenang menuju bagian tengah sungai. Karena tahu sungai itu tidak dalam Sean sama sekali tidak takut akan tenggelam. Sampai di tengah Sean mengubah posisinya menjadi mengapung dan menghadap ke atas. Bisa Sean lihat birunya langit di sela-sela dedaunan. Sungguh pemandangan yang memanjakan matanya. Sean lalu perlahan memejamkan matanya, menikmati sinar matahari yang kini mengenai wajahnya. Rasanya seperti mendapatkan ketenangan saat dirinya mengapung dan membiarkan tubuhnya bergerak mengikuti air. Arus sungai itu sangat tenang, jadi Sean tak mungkin terbawa arus. Tiba-tiba Sean melihat bayangan dirinya saat sedang menari balet. Dia begitu lincah menarikan setiap gerakan. Melompat dan berputar. Andai saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, sekarang dirinya pasti masih bisa menari balet lagi. Mengingat semua kenangan itu membuat hati Sean kembali terasa sakit. Kehilangan mimpinya dan hal yang paling berharga dalam hidupnya membuatnya jatuh ke dalam jurang bernama kehancuran. Tidak bisa menari balet membuat Sean kehilangan gairah hidupnya. Bagi Sean hidupnya terasa sia-sia karena dia tidak bisa melakukan hal yang paling dia sukai. “Oh....!!!!” “Tunggu, jangan mati!!!” “Aku akan menolongmu!!!” Samar-sama Sean mendengar seorang pemuda berteriak. Byur.... Bisa Sean rasakan air bergerak ketika seseorang melompat ke dalam sungai, membuat tubuhnya yang mengapung kehilangan keseimbangan. “Berhasil, aku memegangmu sekarang!” Sean hampir saja tenggelam karena seseorang tiba-tiba meraih pinggangnya. Sean mengusap wajahnya setelah bisa berdiri dengan benar. “Kau tak apa-apa?” tanya seorang pemuda yang berdiri di depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN