Pagi itu Sean terbangun saat mendengar suara gaduh di dalam kamarnya. Ketika matanya terbuka, samar-samar Sean melihat sang Ibu sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Sean mengerutkan dahinya. Bagaimana ibunya bisa masuk ke kamarnya? Dia ingat sudah mengunci kamarnya dari dalam semalam sebelum tidur.
“Eomma, bagaimana kau bisa masuk?” tanya Sean yang masih setengah mengantuk. Biasanya ia bangun di atas jam 9 dan sekarang baru jam 7 pagi. Ia terbangun karena suara gaduh sang ibu yang sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Untuk apa?
“Dengan kunci cadangan,” jawab Yeon Woo tanpa menoleh. Wanita itu sedang sibuk memilih pakaian Sean di lemari dan memasukkannya ke dalam koper.
“Lalu kenapa memasukkan pakaianku ke dalam koper? Eomma, kau tidak berencana mengusirku dari rumah, bukan?”
Mereka sempat bertengkar beberapa hari lalu. Sean takut akibat pertengkaran itu sang Ibu berniat mengusirnya. Apa lagi melihat bagaimana ibunya sedang membereskan pakaiannya sekarang.
“Untuk apa ibu mengusirmu, kita akan ke rumah nenek.”
Sean menghela napas lega. Dia sempat takut jika ternyata benar-benar diusir dari rumah.
“Rumah nenek?”
“Iya yang di Haenam, sudah lama kita tidak pergi menengok mereka bukan?”
“Jika hanya menengok, kenapa ibu memasukkan banyak pakaianku ke dalam koper?” tanya Sean merasa curiga. Jika hanya menengok bukankah satu hari saja cukup? Lalu untuk apa semua pakaian itu?
“Ah... Itu untuk berjaga-jaga saja, bisa saja kan mereka menyuruh menginap,” jawab Yeon Woo.
Meski sudah mendengar jawaban Yeon Woo, Sean masih merasa curiga. Ibunya itu terlihat tidak hanya memasukkan satu atau dua baju ke dalam koper, tapi lebih dari 5 baju. Bahkan koper itu sudah penuh sekarang. Apa dirinya memang butuh pakaian sebanyak itu untuk menginap di rumah neneknya?
“Sekarang mandi, lalu setelah itu sarapan. Kita berangkat setelah sarapan, oke.” Selesai memasukkan pakaian Sean ke dalam koper Yeon Woo melenggang keluar dari kamar putrinya.
“Baik.”
Sean menatap koper di dekat lemari itu. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak saat menatap koper berwarna tosca itu. Rasanya seperti akan terjadi hal buruk.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir 5 jam dari Seoul menuju Haenam, akhirnya Sean dan ibunya sampai di rumah kakek, neneknya. Mereka hanya pergi berdua. Ayahnya tidak ikut karena harus bekerja, lalu Soo Jin dan Seo Jun, si kembar itu harus sekolah. Memang sudah masuk musim panas, tapi liburan musim panas untuk para pelajar biasanya saat memasuki pertengahan musim panas. Karena tak merasa curiga Sean tidak bertanya lebih lanjut pada ibunya. Lagi pula pergi hanya berdua dengan ibunya seperti ini suasananya terasa lebih tenang. Biasanya jika ada si kembar, Sean harus memasang earphone dan memutar lagu dengan volume tinggi agar tak mendengar betapa ributnya kedua adik kembarnya. Mereka sangat berisik.
Begitu mobil Yeon Woo berhenti di depan pagar rumah kedua orang tuanya, Im Jae Hwa nenek Sean dan Kim Bum Tae kakeknya bergegas keluar untuk menyambut mereka yang baru datang.
“Omo-omo, akhirnya kalian datang juga,” seru Jae Hwa dengan antusias saat melihat Yeon Woo dan Sean keluar dari mobil.
Sean menatap nenek dan kakeknya bergantian. Karena sudah lama tidak bertemu mereka dia merasa agak aneh dan canggung. Rasanya seperti bertemu orang asing, padahal mereka adalah kakek dan neneknya sendiri.
Sejak kecelakaan setahun lalu dia memang belum pernah mengunjungi neneknya. Dulu setiap kali liburan tahun baru Sean bersama ayah ibunya dan juga si kembar akan berkunjung ke sini, tapi setelah kecelakaan setahun lalu, ini adalah pertama kalinya Sean menginjakkan kakinya lagi di rumah kakek dan neneknya.
“Ini Sean cucuku?” tanya Jae Hwa dengan mata berbinar.
“Nde eomma, dia sudah dewasa kan,” jawab Yeon Woo sambil mengeluarkan barang-barang Sean dari bagasi dibantu oleh Bum Tae.
“Sean-ah kau cantik sekali, mirip ibumu saat masih muda,” puji Jae Hwa sambil mengelus pipi Sean membuat gadis berusia 20 tahun itu sedikit risi karena perlakuan neneknya. Karena lama tidak bertemu perlakuan neneknya itu terasa asing bagi Sean. Rasanya aneh ketika sang nenek mengusap wajahnya, walau ia tahu itu adalah bentuk dari kasih sayang.
“Sudah-sudah, mereka pasti lelah karena perjalanan jauh. Biarkan mereka masuk dulu dan beristirahat,” potong Bum Tae sebelum istrinya mulai mengoceh kalau dirinya merindukan Sean. Yeon Woo dan Sean baru saja menempuh perjalanan jauh, tentu mereka harus istirahat.
“Benar, kalian pasti lelah. Kalau begitu ayo masuk, nenek sudah siapkan banyak makanan untuk kalian.” Jae Hwa menggandeng lengan Sean, menarik cucu pertamanya itu untuk masuk ke dalam rumahnya. “Si kembar tidak ikut?”
“Tidak, mereka pergi sekolah hari ini,” jawab Yeon Woo sambil menutup pintu bagasi setelah mengeluarkan semua barang yang tadi ia bawa.
Sean melirik ibunya yang membawa masuk koper berisi pakaiannya ke dalam halaman rumah kakek dan neneknya, tapi anehnya Yeon Woo tak hanya membawa satu koper saja. Total ada dua koper besar dan satu koper kecil lalu ada satu kardus yang sepertinya berisi makanan ringan. Sean tidak tahu jika ibunya membawa koper sebanyak itu. Setahu Sean ibunya hanya memasukkan satu koper tadi ke dalam bagasi, tapi kenapa sekarang bisa ada tiga? Tidak mungkin benda berbentuk balok itu berkembang biak selama perjalanan tadi. Ibunya bilang mereka hanya akan menginap selama dua hari, tapi barang yang dibawa Yeon Woo seperti untuk pindah ke sana.
“Sean-ah makan yang banyak ya, nenek sudah buatkan bulgogi kesukaanmu,” ucap Jae Hwa sambil menaruh dua potong daging ke atas mangkuk nasi Sean. Mereka sedang makan siang bersama di halaman depan rumah Jae Hwa dan Bum Tae.
Sean menyuapkan sesendok penuh nasi dan daging ke dalam mulutnya.
“Umm.” Gadis itu berseru ketika merasakan masakan neneknya di dalam mulut.
Meskipun lama tidak bertemu, masakan neneknya tak pernah berubah. Menurut Sean masakan neneknya adalah yang paling enak, jauh lebih enak dari masakan sang ibu. Sean tidak mengerti kenapa ibunya tidak mewarisi bakat memasak neneknya.
“Bagaimana? Enak?” tanya Jae Hwa, berharap Sean menyukai masakannya. Karena sudah setahun tidak bertemu, dia sengaja memasak banyak makanan kesuakaan cucunya itu.
Sean mengangguk sambil tersenyum. Di dunia ini tidak ada yang bisa menandingi masakan neneknya.
“Kalau begitu kau harus makan yang banyak.” Jae Hwa kembali meletakkan daging ke atas mangkuk nasi Sean.
“Nde.”
“Kakek dan nenek sangat senang saat ibumu bilang kau akan tinggal bersama kami selama musim panas.” Bum Tae, yang sejak tadi hanya mengamati Sean yang makan dengan lahap, ikut berucap.
“Uhuk... Uhuk....” Sean tersedak makanan yang barus saja masuk ke dalam mulutnya saat mendengar ucapan kakeknya. Gadis itu buru-buru meraih gelas berisi air di depannya, lalu meneguknya hingga habis.
Tinggal bersama kakek nenek? Di sini? Selama musim panas?
Sean melirik ibunya, meminta penjelasan atas ucapan kakeknya barusan. Dia tidak mungkin akan tinggal bersama kakek neneknya selama musim panas, kan?
“Sean juga senang bisa menemani ayah dan ibu selama musim panas,” sahut Yeon Woo.
Kedua mata Sean terbuka lebar menatap ibunya tak percaya. Pantas saja sejak pagi perasaannya sangat tidak enak. Ternyata dia dijebak oleh ibunya. Dia pikir mereka akan di sana selama dua hari—nyatanya selama musim panas. Pantas saja ibunya membawa koper sebanyak itu.
“Hanya kita berdua? Ayah, Soo Jin dan Seo Jun?” tanya Sean berusaha tenang. Mencoba berpikir positif bahwa bukan hanya dia dan ibunya yang akan tinggal di sana selama musim panas.
“Bukan kita berdua,” jawab Yeon Woo.
“Lalu?”
Sean mengerutkan dahi menatap ibunya.
“Hanya kau,” lanjut ibu Sean.
Tak...
Sean menjatuhkan sumpitnya. Pupil matanya membesar, mulutnya terbuka lebar. Hanya dia? Dia akan tinggal bersama kakek dan neneknya selama musim panas? Tanpa sang ibu?
“Eomma, kita harus bicara.”
Sean menarik tangan ibunya keluar untuk bicara. Dia butuh penjelasan.
***
Yeon Woo dan Sean berdiri berhadapan di samping mobil Yeon Woo. Bisa Yeon Woo lihat Sean sangat marah sekarang. Kedua mata gadis itu sedang menatapnya tajam. Jika jadi Sean, dirinya pasti juga akan marah. Dijebak dan diseret untuk tinggal pedesaan selama musim panas. Siapa pun tidak akan mau menerimanya.
“Sebenarnya apa yang ibu rencanakan? Aku tinggal bersama kakek dan nenek selama musim panas? Apa ibu bercanda?”
“Ibu tidak bercanda, kau memang akan tinggal bersama mereka selama musim panas.”
“Aku tidak mau,” tolak Sean dengan tegas.
“Kenapa? Ini tempat yang bagus. Udaranya bersih dan punya pemandangan indah, kau juga bisa melakukan banyak hal di sini,” bujuk Yeon Woo.
“Apa yang bisa aku lakukan di sini? Memancing? Bertani bersama kakek dan nenek?” sergah Sean dengan suara tinggi.
“Yoo Sean!!!” Yeon Woo balik membentak Sean membuat putrinya itu mengerjap karena kaget. “Mau tidak mau kau akan tetap tinggal di sini selama musim panas, jika menolak ayahmu akan mengambil semua fasilitas yang diberikan padamu, ponsel, laptop hingga kartu kredit semua akan diambil lagi oleh ayah. Uang sakumu juga akan di potong.”
Jika kata-kata halus tidak mempan untuk membujuk Sean, makan cara terakhir yang bisa Yeon Woo lakukan adalah mengancam gadis itu. Sean tidak akan pernah bisa hidup tanpa fasilitas yang selama ini ia dan suaminya berikan, jadi mau tidak mau Sean pasti akan setuju karena tidak bisa merelakan semua fasilitasnya diambil.
Sean membuang muka tak percaya. Orang tuanya sampai tega mengambil semua fasilitas itu jika dia menolak tinggal bersama nenek dan kakeknya. Apa mereka berencana membuangnya di desa ini?
“Kau sudah dewasa, usiamu 20 tahun. Apa kau tak bosan terus mengurung diri di kamar? Mau sampai kapan kau seperti itu? Ayah, ibu, Soo Jin dan Seo Jun tahu kau terluka , tapi bukan hanya kau. Kami juga. Sudah saatnya kau menerima keadaan, dan melanjutkan hidup. Berpikirlah dewasa Sean. Dunia tidak akan kiamat hanya karena kau tidak bisa menari lagi.”
Sean menatap murka ibunya. Ibunya salah. Memang dunia tidak akan kiamat hanya karena Sean tidak bisa menari lagi, tapi bagi Sean, dunianya sudah hancur setelah kecelakaan yang dialaminya setahun lalu dan merenggut hal yang paling berharga dalam hidupnya.
“Ibu menyuruhmu tinggal bersama nenek dan kakek agar kau bisa menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Ibu ingin kau kembali menjadi seperti dulu, putri ibu dan ayah yang periang.” Yeon Woo menarik tangan Sean lalu mengelusnya pelan, nada bicara wanita itu juga berubah lebih lembut agar Sean mengerti bahwa dia bermaksud baik. “Di sini jauh dari kota jadi sangat tenang, kau pasti bisa memenangkan diri dan pikiranmu.”
Sean mengepalkan tangannya. Ibunya memang bisa dengan mudah mengatakan bahwa dia bisa menenangkan diri sana, tapi ibunya tak pernah tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Seberapa sakit luka di hatinya. Seberapa dalam Sean masuk ke dalam jurang bernama kehancuran.