Bagian 1

1861 Kata
Sambil menyatukan kedua tangannya di depan d**a, mulut Yeon Woo tampak berkomat-kamit. Membaca doa, sembari menatap cemas dokter yang sedang memeriksa keadaan putrinya. Sementara Min Hyuk, sang suami merangkul bahunya. Mengusapnya pelan untuk menenangkannya, tapi Yeon Woo tak bisa tenang sama sekali. 5 jam yang lalu, ketika dirinya sibuk menyiapkan pesta perayaan atas diterimanya Sean di universitas, panggilan teleponnya dan Sean tiba-tiba terputus. Lalu ia mendapat kabar bahwa putrinya itu mengalami kecelakaan. Mulut Yeon Woo berhenti berkomat-kamit, ketika dokter laki-laki itu selesai memeriksa Sean. Wanita berusia 45 tahun itu lantas menatap cemas pada sang dokter. Menanti apa yang akan dokter itu katakan tentang keadaan putrinya. “Tidak ada luka yang membahayakan organ dalam pasien, hanya saja patah tulang di bagian kaki yang dialaminya cukup parah,” ucap dokter memberi penjelasan pada Yeon Woo dan suaminya. Sementara Sean masih terbaring lemah tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Yeon Woo menatap iba pada putrinya yang terbaring lemah. Kaki sebelah kanan Sean tergantung dengan berbalut gips. Sementara wajah gadis itu dipenuhi goresan karena terbentur aspal. Kepala Sean juga berbalut perban karena mengalami pendarahan akibat benturan yang cukup keras. Hati Yeon Woo terasa begitu sakit melihat keadaan Sean sekarang. Putrinya yang malang. “Lalu apa Sean masih menari seperti sebelumnya?” Yeon Woo bertanya penuh harap. Berharap Sean masih bisa menari lagi setelah keadaannya pulih. Wanita itu tahu balet adalah hal yang sangat berarti bagi Sean, melihat bagaimana keadaan kaki Sean sekarang, Yeon Woo takut putrinya tak akan bisa menari lagi. Dokter laki-laki berusia 40 tahun itu menghela napas sambil menatap Yeon Woo, seperti merasa berat saat harus mengatakan kenyataan pahit tentang keadaan Sean. “Sean masih bisa beraktivitas seperti biasa. Berjalan dan berlari, tapi untuk menari rasanya mustahil. Jika memaksa kemungkinan terburuk adalah Sean tidak akan bisa berjalan lagi.” Yeon Woo seketika luruh ke bawah. Kedua kakinya tiba-tiba kehilangan tenaga dan kepalanya pusing. Dokter baru saja mengatakan bahwa Sean tak bisa menari lagi. Dia tak bisa membayangkan apa jadinya jika Sean tak bisa menari lagi. Bagaimana hancurnya hati Sean saat gadis itu tahu bahwa dirinya tak akan bisa melakukan hal yang sangat disukainya. “Yeobo.” Min Hyuk memanggil istrinya sembari membantu wanita itu berdiri. Ia sendiri tak kalah terkejut mendengar bahwa putri mereka tak akan bisa menari lagi. Hal yang paling berarti bagi Sean. Setelah dokter pergi, Yeon Woo menggenggam erat tangan Sean dan menciuminya. Seolah-olah dia berusaha memberikan kekuatan pada putrinya. “Apa yang harus kita katakan padanya nanti?” tanya Yeon Woo berusaha menahan tangisnya saat kembali mengingat ucapan dokter. Min Hyuk mengusap pundak istrinya. “Aku tahu ini adalah kenyataan yang pahit bagi Sean, tapi yang terpenting Sean bisa selamat.” “Dia tidak bisa menari lagi! Aku bahkan tidak sanggup membayangkan betapa hancurnya dia saat tahu bahwa dia tak bisa lagi melakukan hal yang sangat berarti untuknya. Sean... kehilangan impiannya!” Tak kuasa menahan kesedihannya tangis Yeon Woo akhirnya pecah. Hati ibu mana yang tak hancur saat mendapati putri yang teramat mereka cintai harus kehilangan impiannya? Sejak kecil Sean bermimpi untuk menjadi penari balet kelas dunia dan karena kecelakaan ini putrinya harus kehilangan impiannya yang berharga. Min Hyuk merengkuh sang istri dalam pelukan. Pria itu berusaha menenangkan Yeon Woo. Sebagai orang tua, Min Hyuk tahu jika Yeon Woo pasti merasa hancur karena Sean kehilangan impiannya. Ia pun juga begitu. Bagi Sean balet adalah separuh kehidupan gadis itu. Tanpa balet Sean seperti hidup, tapi tidak bernapas. Min Hyuk sendiri tak bisa membayangkan sehancur apa hati putrinya itu saat tahu jika dirinya tak bisa menari balet lagi. “Aku tahu ini sangat menyakitkan bagi Sean, tapi yang bisa kita lakukan adalah membantunya melewati ini semua. Jika kita ikut jatuh dan terpuruk, maka tidak akan ada uluran tangan untuk membantu Sean bangkit,” kata Min Hyuk sembari memandang kedua manik hitam milik Yeon Woo. Menjelaskan pada istrinya, walau hati mereka juga hancur karena keadaan Sean, tapi mereka tak boleh ikut terpuruk. Karena Sean membutuhkan mereka untuk kembali bangkit. Yeon Woo mengusap air matanya. Suaminya benar, jika dia ikut terpuruk bersama Sean, maka tidak akan ada yang membantu Sean untuk melewati ini semua. Sebagai seorang ibu dia harus lebih kuat dan tegar agar dia membantu dan menghibur Sean. Agar putrinya bisa bangkit dan kembali seperti sebelum kecelakaan ini terjadi. *** Satu tahun kemudian... Tok tok tok “Sean.” “Sean!” “Yoo Sean buka pintunya!” teriak Yeon Woo di depan kamar putrinya. Matahari sudah hampir berada di atas kepala, tapi Sean belum juga keluar dari kamarnya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar Sean terbuka. Gadis itu lalu keluar dengan penampilan yang—kacau, rambutnya masih acak-acakan. Kepala Yeon Woo tiba-tiba berdenyut saat melihat penampilan putrinya itu. “Jam berapa sekarang?” tanya Yeon Woo, berkacak pinggang sambil menatap murka pada Sean. “Jam 11?” jawab Sean enteng sambil menguap. “Apa tak mau mandi? Berapa lama lagi kau akan terus berada di kamarmu?” Tak peduli dengan omelan ibunya, Sean justru terlihat santai menggaruk kepalanya. “Aku akan mandi nanti, lagi pula aku tak punya kegiatan apa-apa dan tidak akan pergi ke mana-mana hari ini.” “Kalau begitu cari kegiatan, bukankah ibu sudah menyuruhmu untuk mendaftar ke akademi? Apa kau tak mau kuliah? Kau tak mau bekerja nantinya?” Sean menggaruk telinganya lalu menatap kesal pada sang ibu. “Jika ingin membahas hal itu lagi, aku akan masuk ke kamar.” Sean kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan keras. Rasanya muak setiap kali sang ibu membahas tentang kuliah, hal yang bahkan tak ingin dia lakukan. “Sean! Ibu belum selesai bicara!” Kata-kata Yeon Woo sama sekali tak digubris oleh Sean. Gadis itu bahkan tak peduli saat sang ibu kembali mengetuk pintu kamarnya. Yeon Woo menghela napas kasar, wanita itu menatap nanar pada pintu kamar Sean yang tertutup rapat. Sudah setahun sejak kecelakaan yang dialami Sean, dan sejak saat itu putrinya berubah. Sean lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berada di dalam kamar. Seolah Sean tak lagi tertarik pada dunia luar. Dulu Sean tak seperti ini. Gadis itu dulunya adalah anak yang ceria. Namun, semua berubah setelah ia mengalami kecelakaan yang akhirnya merenggut impiannya. Sebulan setelah kecelakaan itu, Sean tak mau bicara pada siapa pun termasuk kedua orang tuanya. Di bulan kedua, keadaan Sean mulai membaik, dia bisa kembali berjalan dan mulai bicara pada keluarganya, tapi setelahnya Sean lebih banyak mengurung diri di kamar. Bahkan gadis itu menolak menemui teman-temannya yang datang untuk menjenguknya. Harusnya tahun ini menjadi tahun kedua Sean sebagai mahasiswa jurusan tari di SNU, tapi kecelakaan yang dia alami setahun lalu merenggut mimpinya serta mengubah hidup Sean. *SNU : Seoul National University. Karena kecelakaan itu Sean harus rela kehilangan mimpinya menjadi penari balet kelas dunia. Dirinya memang masih bisa berjalan dan berlari, tapi apa gunanya jika dia tak bisa menari balet lagi. Bagi Sean, balet adalah separuh kehidupannya. Satu-satunya hal yang paling Sean sukai di dunia ini adalah balet dan sekarang dia tak bisa lagi melakukannya. Bukankah lebih baik bagi Sean untuk mati daripada harus kehilangan hal yang sangat berarti dari hidupnya. *** Yeon Woo dan Min Hyuk duduk di bangku taman belakang rumah mereka. Keduanya sedang berdiskusi tentang keadaan Sean. Yeon Woo yang terlihat sangat frustrasi memikirkan keadaan putrinya itu menghela napas beberapa kali. “Apa Sean masih tak mau masuk ke akademi dan melanjutkan pendidikan ke universitas?” tanya Min Hyuk setelah menyesap kopi buatan istrinya. Yon Woo mengangguk lemah. Dia sudah berusaha membujuk Sean agar gadis itu mau melanjutkan pendidikannya ke universitas. Bahkan Yeon Woo mencari informasi dari berbagai universitas tentang jurusan atau bidang studi yang mungkin saja menarik minat Sean, tapi semuanya berakhir sia-sia. Sean tak tertarik sedikit pun dan setiap kali Yeon Woo berusaha membujuknya, selalu berakhir dengan pertengkaran. Sean sangat keras kepala, wanita itu sendiri tidak tahu dari mana putrinya mewarisi sifat itu. Min Hyuk menghela napas. Sejak kecelakaan itu, putri sulungnya benar-benar berubah. Sean yang dulunya gadis periang sekarang menjadi Sean si pemurung. Bahkan kedua adiknya, Soo Jin dan Seo Jun tak berani mendekati kakak mereka karena Sean tak pernah tersenyum dan selalu terlihat murung. Kata si kembar, kakak mereka jadi menakutkan. “Apa menurutmu kita perlu membawa Sean ke psikolog?” Yeon Woo menoleh kaget lalu menatap tak percaya pada suaminya. “Psikolog? Sean baik-baik saja, jiwanya sama sekali tidak terganggu.” “Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dirasakan Sean. Kita hanya tahu dia terpuruk karena kehilangan impiannya dan kita hanya berusaha menghiburnya tanpa tahu sedalam apa luka di hati Sean.” Yeon Woo menghela napas. Ucapan Min Hyuk memang benar, selama ini mereka hanya berusaha menghibur Sean yang terpuruk karena kehilangan impiannya, tapi mereka tak pernah tahu sedalam apa luka yang dirasakan Sean. Mereka bahkan memaksa Sean untuk bangkit tanpa tahu bagaimana keadaan putri mereka sebenarnya. “Tapi Sean pasti tak akan mau dibawa ke psikolog, kau sendiri tahu betapa keras kepalanya gadis itu,” ujar Yeon Woo. Meskipun mereka setuju dan ingin membawa Sean ke psikolog, tapi itu bukan hal yang mudah dilakukan. Sean pasti tak akan mau. Min Hyuk mengusap kasar wajahnya. Dia harus mencari cara agar putrinya kembali seperti dulu. Min Hyuk tak bisa membiarkan Sean terus menjadi pemurung dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. “Bagaimana kalau kita kirim Sean ke Haenam?” Yeon Woo mengerutkan dahi menatap suaminya. “Haenam? Rumah ayah dan ibu?” Min Hyuk mengangguk. Rasanya ide yang bagus jika mereka mengirim Sean ke tempat kakek dan neneknya. “Kita kirim Sean ke desa, suasana di sana sangat tenang dan jauh dari perkotaan. Mungkin di sana Sean bisa menenangkan dirinya.” “Benar,” ucap Yeon Woo setuju dengan ide suaminya. Mengirim Sean ke pedesaan adalah ide yang bagus. Di sana Sean bisa menenangkan pikirannya. Gadis itu juga bisa membantu kakek neneknya dan menemukan hal-hal baru untuk dicoba. Dengan begitu mungkin saja Sean bisa melupakan rasa terpuruknya karena tidak bisa menari lagi. “Kalau begitu kapan kita pergi ke sana?” “Bukan kita, tapi hanya Sean.” Alis Yeon Woo hampir menyatu mendengar ucapan suaminya. “Hanya Sean? Kau bercanda? Dia tentu tak akan mau jika tinggal sendiri di sana.” “Dia tidak sendiri, ada ayah dan ibu di sana. Kau lupa mereka sangat menyukai Sean?” “Aku tahu, tapi bagaimana bisa kau menyuruh mereka mengurus anak yang keras kepala itu?” tukas Yeon Woo. Dia tidak bisa membiarkan Sean tinggal di desa bersama kakek neneknya. Yeon Woo takut Sean akan membuat kekacauan di sana. “Yang ada Sean hanya akan menyusahkan mereka karena membuat kekacauan di sana.” “Tenang saja, ini justru kesempatan yang bagus untuk membuat Sean semakin dewasa dan belajar bertanggung jawab.” Min Hyuk berusaha meyakinkan istrinya. Membiarkan Sean tinggal hanya dengan kakek neneknya, mungkin saja bisa mengubah Sean. Gadis itu sudah berusia 20 tahun, sudah saatnya Sean bertanggung jawab pada dirinya sendiri. “Tapi...” “Tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Min Hyuk berharap dengan mengirim Sean tinggal bersama kakek neneknya, putrinya itu bisa belajar mandiri dan bertanggung jawab. Pria itu juga berharap Sean akan menemukan jati dirinya yang menghilang setahun lalu. Sisi ceria yang terkubur dalam diri Sean karena gadis itu kehilangan hal yang berharga dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN