Another - 3

1926 Kata
Fania dan Hellen berlari melewati beberapa orang-orang yang berlalu-lalang di rumah sakit. Hellen dengan wajah khawatirnya berjalan lebih dulu dari Fania yang tertinggal di belakang. Mendengar Liora sadar dari komanya tentu saja membuat kedua wanita itu senang sekaligus khawatir. Yang dikhawatirkan Hellen bukanlah kesehatan Liora, tapi keberadaan Jean. Hellen takut, jika Liora melihat Jean, wanita itu akan kembali terluka. Sebagai teman Liora, Hellen adalah seseorang yang paling mengkhawatirkan apapun yang terjadi pada Fania dan Liora. Langkah keduanya terhenti ketika melihat Jean berdiri di depan mereka. Hellen langsung menunjukkan ekspresi kebenciannya. “Gue udah bilang, jauh-jauh dari Liora!” “Len, ingat, ini di rumah sakit.” Jean menurunkan tubuhnya, kemudian berlutut di hadapan Hellen. Fania melirik ke kanan-kiri, merasa akan sangat aneh jika ada yang melihat. Untung saja, hanya ada beberapa orang yang tidak mempedulikan mereka. Ini bukan kali pertama Jean melakukannya. Ini kedua kalinya. Yang pertama, Jean melakukannya tepat setelah kecelakaan yang menimpa Liora. “Apalagi, sih, ini? Lo mau minta pengampunan lagi? Lo harusnya minta ampun ke Liora—istri lo, Kak. Bukan gue!” Jean menggelengkan kepalanya pelan. “Saya tahu saya minta maaf pun, kalian enggak akan maafin karena yang terjadi pada Liora benar-benar kesalahan saya. Tapi,” pria itu mendongak, “Saya ingin meminta bantuan kalian.” Fania melongo. Fania diam dan tidak memarahi Jean sejak awal bukan karena dia tida menyalahkan Jean, tapi karena dia tahu, dari wajah pria itu, dari tatapan matanya, Fania tahu Jean juga hancur. Menurutnya, balasan yang pantas untuk Jean adalah kehancuran dari pria itu, hidup dengan rasa bersalah, itu sudah cukup membayar apa yang terjadi pada Liora. Tapi berbeda dengan Hellen yang begitu pendendam, apalagi yang terjadi pada Liora dan bayinya, Liora yang kehilangan bayi yang dikandungnya, serta nyaris kehiilangan nyawanya juga. “Minta bantuan? Lo ini emang enggak tahu diri, ya, Kak?” “Saya tahu saya memang enggak tahu diri. Tapi, saya rasa Liora enggak ingat apa yang terjadi padanya. Dia melupakan semua hal tentang pernikahannya dan saya. Saya enggak tahu apakah dia juga melupakan kalian atau enggak. Tapi dia enggak melupakan keuarganya. Fania dan Hellen mengernyitkan dahi. “Maksud Kak Jean, Liora amnesia?” Jean menghela napas berat. “Saya juga enggak tahu, karena kami belum memastikannya dengan Dokter. Tapi saya rasa dia memang amnesia. Oleh karena itu, saya mau meminta tolong. Izinkan saya menebus kesalahan saya pada Liora. Izinkan saya memulai kembali apa yang sudah saya hancurkan. Kalian tahu bahwa saya juga enggak ingin ini semua terjadi. Saya tahu saya salah, tapi saya melakukannya bukan karena ingin menyakiti Liora. Kalian juga tahu itu. Saya mohon, biarkan Liora melupakannya, apa yang terjadi padanya. Itu membantu agar kesedihannya tidak lagi terasa. Saya juga janji tidak akan melukainya lagi. Tolong kasih saya kesempatan sekali lagi. Saya-” Jean memejamkan matanya, disusul tetesan air mata. "mencintai dia.” Fania mengusap pelan punggung tangan Hellen. “Len, apa enggak kita kasih kesempatan sekali lagi? Lagian, dengan dia hidup dalam rasa bersalah selama dua bulan ini, itu udah cukup jadi hukumannya. Kita juga tahu, Liora cinta sama Kak Jean.” Hellen menghela napas berat. “Gue enggak sudi bantu lo. Tapi karena Liora harus bahagia dan melupakan kehancurannya, gue akan kasih lo kesempatan terakhir.” Jean tersenyum, lalu mengusap air matanya. “Terima kasih banyak.” “Yaudah, lo berdiri dulu, deh, Kak. Dilihat orang gue kaya lagi nindas lo tahu enggak!” protes Hellen masih dengan wajah masamnya. Jean pun berdiri. “Jadi, kami harus bantu apa?” “Jangan pernah ceritakan apapun soal masa lalu kami, dan apa yang terjadi. Kalian Cuma perlu meyakinkan dia kalau dia memang sudah menikah dengan saya. Sisanya, akan saya yang urus.” “Tapi, kalau suatu hari nanti Liora ingat, gimana?” tanya Fania yang agak khawatir dengan itu. “Itu pasti akan terjadi. Bagaimanapun Liora pasti akan ingat semuanya. Untuk itu, biarkan saya yang tanggung.” Hellen dan Fania akhirnya mengangguk menyetuji. Dan begitulah yang terjadi. Keesokan harinya, Hellen dan Fania datang lagi untuk menjenguk Liora karena kemarin sudah larut, dan Liora pun masih tertidur. Meskipun berat sekali memberikan kesempatan kedua untuk Jean, tapi Hellen lebih ingin Liora bahagia. Luka itu, luka yang Liora rasakan, Hellen tidak ingin Liora mengingat itu, apalagi soal bayinya. Hellen tidak bisa membayangkan akan seberapa hancurnya Liora mengetahui bahwa wanita itu mengalami keguguran ketika kecelakaan itu terjadi. “Semoga, ini bisa menjadi kehidupan baru lo, Ra. Gue memang membenci Kak Jean, tapi gue lebih ingin lo bahagia lagi. Gue berharap keputusan gue benar.” *** Liora terbangun di tengah malam karena haus. Wanita itu turun dari tempat tidur kemudian berjalan menuju dapur untuk menghilangkan dahaganya. Setelah selesai meneguk segelas air, wanita itu kembali ke kamar. Dia melongo melihat Jean semalam ternyata benar-benar tidur di sebelahnya. Meskipun Liora sudah tidur lebih dulu sebelum Jean ke kamar. Perlahan Liora merebahkan kembali tubuhnya. Dari tempatnya, dia bisa melihat wajah polos Jean tanpa kacamata. Tanpa kacamta, pria itu lebih tampan, dengan kacamata lebih berwibawa. “Ck, kayaknya di kehidupan sebelumnya gue pernah menyelamatkan dunia enggak, sih? Mimpi apa gue dapet suami modelan begini. Gue harus bersyukur atau takut, ya? Secara, jaman sekarang pelakor ada di mana-mana. Bukannya apa. Kan enggak lucu kalo gue baru nikah udah jadi korban perselingkuhan.” Jean menggeliat pelan, mebalikkan tubuhnya menghadap ke arah Liora. “Kamu enggak tidur?” tanya Jean dengan suara berat. Matanya masih tertutup. “Kak Jean ngigau, ya?” tanya Liora pelan. Jean pun membuka matanya yang berat. Dia sebenarnya terbangun saat Liora bangun dari tempat tidur tadi. Guncangan kecil itu yang membangunkannya. Liora nampak terkejut ketika Jean menatapnya dengan tatapan sayu. “Saya enggak ngigau,” jelasnya. “Oh, kirain ngigau. Ya udah, kalo gitu aku mau lanjut tidur.” Liora membalikkan tubuhnya memunggungi Jean. Wanita itu memejamkan matanya. Beberapa detik kemudian, Jean kembali bersuara. “Liora,” panggilnya pelan. “Hmm,” balasnya. “Saya hanya ingin kamu tahu, kalau saya rindu kamu.” Liora kembali membuka matanya. Liora pun membalikkan tubuhnya menghadap Jean. Keduanya kini saling berhadapan dan saling menatap. Sebelumnya, Jean tidak pernah merasakan hal yang terjadi saat ini dengan Liora dulu. Liora selalu memunggunginya ketika sedang tertidur ketika awal pernikahan mereka. Bahkan sampai mereka saling dekatpun, Liora selalu memunggunginya. Kali ini, rasanya jantung Jean berdetak lebih cepat. Wajahnya memanas. “Rindu aku?” tanyanya mengulang perkataan Jean. Jean mengangguk pelan meski agak canggung. “Iya.” “Karena udah telanjur bangun, gimana kalo Kakak ceritain tentang kita waktu dulu? Biar aku ada gambaran gitu. Kalo kaya gini rasanya asing banget buat aku.” “Kamu mau saya ceritakan yang mana?” “Eung,” Liora terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya tersenyum. “Ceritain gimana aku waktu di rumah, aku kerja atau enggak? Terus, kita pernah kemana aja. Siapa tahu kalau diceritain aku ingat.” Jean tersenyum. “Kamu itu wanita cerewet yang saya temui setelah almarhum Mama saya. Sebelum menikah, kita bertengkar hebat karena perjodohan ini.” Liora mendengarkannya dengan serius, menunggu Jean melanjutkan ceritanya. “Kamu enggak bisa masak. Pernah sekali kamu masak nasi goreng, yang berakhir bikin heboh satu rumah. Kamu kerja jadi guru les piano di komplek sebelah. Kamu suka tidur larut malam karena sering nonton drama korea kesukaan kamu.” “Kita jarang jalan-jalan keluar karena sebulan setelah menikah, perusahaan saya terkena masalah besar. Saya jarang ada di rumah. Jadi, kamu lebih sering di rumah sama Bibi.” Liora bisa membayangkan apa yang diceritakan pria itu. Bagaimana Jean sibuk dengan urusan kantornya, sampai dirinya yang hanya berdua dengan Bibi. “Tapi, kita pernah jalan-jalan sekali ke Bali. Di sana kita nginap seminggu. Kamu enggak mau pulang karena enggak suka sendirian di rumah.” Liora mengangguk. “Maaf.” Itulah yang diucapkan Jean setelah bercerita. “Loh, kenapa minta maaf? Kak Jean ada salah memangnya? Aku, kan, enggak marah.” Jean mengusap pipi Liora yang dingin. “Maaf, karena dulu, saya selalu enggak punya waktu untuk ajak kamu jalan-jalan. Tapi setelah ini, saya janji akan ajak kamu jalan-jalan lebih sering.” Liora tertawa. Dia pikir Jean melakukan kesalahan yang besar. “Cuma jalan-jalan doang, kok. Lagian, aku enggak ingat kalo aku suka jalan-jalan. Padahal aku ingatnya aku ini anaknya mager banget diajak keluar.” “Ra.” “Hmm?” “Kalau kamu enggak ingat dengan pernikahan kita enggak apa-apa, Ra. Saya enggak akan memaksa kamu ingat, dan saya juga enggak masalah kalau kamu enggak ingat. Yang terpenting, kita mulai lembaran baru lagi. Kita akan memulai lagi dari awal.” Jean menarik Liora kepelukannya. Jika boleh jujur, rasanya Liora ingin mendorong pria itu dan melepaskan tubuhnya dari pelukan Jean. Namun, melihat betapa tulusnya ucapan Jean tadi membuat Liora mengurungkan niatnya. Lebih baik kamu enggak pernah ingat, Liora. Saya masih belum sanggup kehilangan kamu lagi untuk yang kedua kali. Beri saya sedikit waktu lebih lama lagi untuk membayar waktu yang kamu habiskan sendiri tanpa saya. *** “Tolong, bantu gue cari kerjaan! Enggak apa jadi guru les piano lagi,” kata Liora lalu menyedot jus alpukatnya. “Enggak, deh. Lo baru sembuh. Enggak usah macam-macam!” omel Hellen. “Gue harus menyibukkan diri,” ungkapnya lagi. “Tumben banget. Lo, kan, tipe anak yang taunya rebahan doang.” Liora berdecak sebal. “Gue enggak suka di rumah itu. Rasanya aneh, kaya ada horror-horrornya.” “Maksud lo rumah Kak Jean?” Liora mengangguk. “Lo selama menikah tinggal di sana baik-baik aja, kenapa malah jadi horror?” tanya Fania yang tidak menganggap serius perkataan Liora. “Gue enggak nyaman banget di sana. Kaya bukan Cuma asing buat gue, tapi rumahnya sepi banget, woy. Katanya Bibi yang kerja di sana lagi pulang kampung. Sekarang iya Kak Jean di rumah. Ntar kalo dia kerja? Gue sama siapa? Nonton drama juga tetep berasa horrornya.” Hellen mengusap bibirnya dengan tisu, kemudian melempar tisu itu ke arah Liora. “Bilang aja lo canggung sama Kak Jean, makanya lo meminimalisir keberadaan lo di rumah. Ya, kan?” Liora mengibaskan tangannya. “Apanya yang canggung? Enggak, kok, biasa aja.” Fania tersenyum meledek, kemudian menyenggol pelan lengan Liora. “Gimana hari pertama lo bareng Kak Jean lagi?” “Enggak gimana-gimana. Kita Cuma cerita-cerita aja. Eh, tapi emang bener, ya, dulu Kak Jean jarang di rumah? Perusahaannya dulu kenapa memang?” Hellen menggelengkan kepalanya. “Enggak tahu. Yang gue tahu perusahaan Kak Jean mengalami kegagalan waktu mau launching produk baru mereka, makanya mengalami kerugian besar. Itu, sih, yang gue dengar dari lo waktu itu.” “Iya, makanya suami lo jarang ada di rumah karena ngurusin masalah itu.” Liora mengangguk mengerti. “Jadi gitu. Gue Cuma mau tahu aja, sih. Soalnya, aneh banget, karena gue ngerasa cerita Kak Jean enggak lengkap dan ada sesuatu yang belum dia kasih tahu ke gue.” Hellen dan Fania yang tahu tentang hal itu tidak mengatakan apapun lagi. “Ra, gue mau nanya serius,” kata Fania menatap Liora. “Apa, tuh?” “Gimana rasanya amnesia?” Liora mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menoyor dahi Fania. Wanita itu pun hampir terhuyung ke belakang. “Lah, gue nanya serius, loh, ini.” “Rasanya, kaya jadi orang bodoh.” “Tapi enggak sakit, kan? Kepala lo? Ada nyeri-nyeri gitu enggak?” Liora menggelengkan kepalanya. “Lo mau ngerasain jadi amnesia? Sini, gue getok kepala lo pake gagang cangkul.” Fania langsung memalingkan wajahnya. Liora pun tertawa. “Pokoknya, cariin gue kerjaan, ya, ya?” wanita itu memasang wajah memelasnya. Akhirnya Hellen mengangguk. “Iya, entar gue cariin. Tapi jangan lupa bilang suami lo. Biar dia tahu lo ke mana, di mana, dan ngapain.” “Ck, iya, iya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN