Another - 4

1457 Kata
Liora menepikan mobilnya di depan sebuah rumah bercat ungu. Hellen bilang, keponakan perempuannya ingin belajar piano. Ya, itu adalah kesempatan bagus untuk Liora. Salah satu kelebihan Liora yang bisa wanita itu banggakan adalah kemampuannya bermain piano. Sejak kecil, Almarhum Ayahnya yang mengajarinya setiap akhir pekan. Ayahnya juga seorang pianis, dan ketertarikan Liora dengan musik menurun dari Ayahnya. Setelah lulus kuliah, Liora hanya bekerja sebagai guru pianis di sebuah sekolah. Meskipun bayarannya tidak seberapa, tapi Liora lebih memilih sesuatu yang dia senangi dan membuatnya nyaman. Lagipula, keluarganya cukup kaya untuk membiayai hidupnya, meskipun seharusnya dia sudah membiayai diri sendiri. Seorang satpam mendekat ke arah mobilnya, lalu bertanya, “Cari siapa, Mba?” “Oh, apa benar ini rumahnya Anira?” “Iya, benar.” “Saya ke sini sebagai guru les pianonya.” “Ah, iya, iya. Silakan masukkan saja mobilnya ke dalam, Mba. Biar saya buka gerbangnya dulu.” Satpam itu berlari kecil, kemudian mendorong pagar untuk membuka jalan. Liora memasukkan mobilnya ke dalam. Ketika memasuki rumah itu, Liora berdoa dalam hati agar Jean tidak mencarinya. Liora benar-benar lupa memberitahu pria itu tentang dia yang memutuskan mengajar les piano lagi. Pagi tadi, Liora hendak memberitahu, namun ternyata Jean sudah berangkat ke kantor sebelum Liora bangun. *** “Ada kabar terkini soal Cakra?” Evan menggelengkan kepalanya. “Enggak ada. Kabarnya masih sama seperti seminggu lalu. Cakra benar-benar menghilang dari media,” tutur Evan sambil menyeruput kopinya. Pria itu menaruh cangkirnya kembali di atas meja, lalu menatap sahabatnya—Jean. “Gimana soal Liora?” Jean membuka kancing teratas kemejanya, lalu melonggakan dasinya. “Gue memutuskan untuk tetap membiarkan dia lupa.” “Sampai kapan?” Bukan kali pertama Jean mendengar pertanyaan itu. “Sampai dia ingat sendiri, sampai saat itu, gue akan menerima apapun risikonya. Gue Cuma ingin bersama dia lebih lama.” Evan menghela napas pelan, tahu apa yang dirasakan Jean, namun dia juga tidak punya solusi lain. Melihat Jean sangat mencintai Liora membuatnya mau tidak mau harus mendukung sahabatnya. “Gue akan dukung apapun keputusan lo. Tapi, alangkah baiknya kalo lo juga harus mempersiapkan matang seandainya Amanda kembali. Kita sangat tahu bahwa Amanda adalah sepupu Cakra. Gue khawatir, Cakra akan memanfaatkan itu untuk menghancurkan lo saat dia muncul nanti. Meskipun enggak ada tanda-tanda bahwa Cakra akan muncul, tapi gue enggak yakin dia akan menghilang selamanya. Dia pasti akan kembali, membalas lo.” Jean mengangguk. “Gue sudah pikirkan soal itu. Cakra enggak kenal dengan Liora. Kemungkinan Liora dilibatkan sangat kecil. Tapi jika seandainya itu terjadi, maka gue hanya punya satu cara.” “Cara apa yang lo punya?” Jean mengusap cincin pernikahannya pelan, terdiam menatap ponsel yang ada di atas meja. *** “Minggu besok, Kakak akan datang lagi. Kamu bisa pelajari sedikit-sedikit apa yang tadi Kakak ajarkan, ya.” Anira mengangguk patuh. Liora mengusap pelan pipi gadis itu kemudian merapikan barang-barangnya. Seorang wanita dengan bayi digendongannya menghampiri Liora dengan senyuman. “Terima kasih sudah datang dan mau ajarin Anira.” Liora terkekeh, lalu berdiri. “Enggak masalah. Saya juga senang ajarin Anira. Anak ini pintar dan cepat mengerti.” Bayi berusia 8 bulan itu tersenyum ke arah Liora. Tangan mungilnya mengulur ke depan, sseolah ingin menggapai Liora. Wanita itupun mendekat dan meraih tangan mungil itu. “Hai,” sapa Liora gemas melihat bayi dengan pipi chubby itu. Ketika matanya bertemu dengan manik mata bayi itu, entah kenapa tiba-tiba hatinya merasa sakit. Rasanya sesak, dan jantungnya berdebar cepat. Senyum Liora perlahan menghilang. Setetes air mata mengalir lembut di pipinya. Ketika menyadari itu, Liora buru-buru mengusapnya dengan punggung tangan. “Maaf,” katanya dengan tawa canggung. “Enggak tahu kenapa, saya jadi mau nangis lihat dia.” Wanita yang tidak lain adalah Ibu Anira itu tersenyum hangat. “Enggak apa-apa. Mungkin jiwa seorang ibu milik kamu langsung muncul ketika lihat bayi saya.” Liora ikut terkekeh. Wanita itu mengambil tasnya dari atas meja dan berniat pulang. “Kalau begitu, saya pamit dulu, ya.” Setelah berpamitan, Liora berjalan keluar dan menghampiri mobilnya. Ketika masuk ke dalam mobil, Liora terdiam selama beberapa detik. Pikirannya langsung memutar kembali pada saat dia melihat bayi itu. Liora memegang dadanya yang sesak. “Aneh. Rasanya kaya … gue sedih banget lihat bayi tadi.” Wanita itu menghela napas pelan, kemudian melajukan mobilnya pergi dari rumah itu. Tidak hanya sampai disitu, Liora bahkan terus mengingat kejadian tadi sampai detik ini. Wanita itu terus memegangi dadanya yang entah kenapa bisa terasa sesak secara tiba-tiba. Tidak ada jawaban apapun di otaknya. Liora menatap layar televisi, namun pikirannya tidak ada di sana. Bahkan saking terbawa dengan pikirannya itu, Liora sampai tidak menyadari kepulangan Jean. Jean bisa melihat Liora yang sedang melamun. Didekatinya lalu tangannya menepuk bahu kanan Liora. Wanita itupun menoleh dengan ekspresi kaget. “Tv nya nyala, tapi orangnya bengong. Mikirin apa?” tanya Jean. “Oh, itu. Harusnya, sih, bukan apa-apa,” jawab Liora dengan santai kemudian kembali memfokuskan diri pada acara tv yang sedang dia tonton. Jean melangkah lagi, kemudian tangannya mengusap keringat yang ada di dahi Liora. “Panas, ya? Kenapa enggak nyalain AC nya?” Liora bahkan tidak terkejut lagi melihat perlakuan itu, meski mereka baru tinggal bersama selama seminggu sejak pulang dari rumah sakit. “Enggak, hemat listrik. Lagian sengaja aku buka jendelanya, biar anginnya masuk. Tapi emang akuya aja keringetan mulu,” jawab Liora tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Tv. “Sudah makan?” “Sudah tadi pas pulang ngajar les.” Jean mengernyitkan dahi. “Mengajar Les?” Liora langsung mengingat fakta bahwa dia belum memberitahu soal itu pada Jean. Wanita itupun akhirnya mengalihkan paandangannya dari Tv, kemudian menatap pria yang berdiri di sebelahnya itu. “Iya, aku lupa kasih tahu kalau aku mutusin buat ngajar les lagi.” Jean tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tentu itu membuat Liora semakin gugup. Entah Jean akan marah atau tidak soal keputusannya itu. Ini kali pertama Liora melihat wajah datar Jean. Sebelumnya pria itu selalu tersenyum apapun yang dia katakan. “Kenapa? Enggak boleh, ya?” tanya Liora. “Enggak masalah. Tapi besok, kamu harus ikut saya ke kantor.” “Ke kantor? Ngapain?” “Kerja bersama saya.” Liora mendengkus sebal. “Tadi bilangnya enggak masalah kalo aku ngajar piano lagi. Kenapa sekarang malah ngajak kerja di kantor? Kakak ini orangnya enggak konsisten, ya.” “Bukan begitu maksud saya. Saya akan tetap izinkan kamu mengajar les piano, tapi kamu juga harus izinkan saya mengajak kamu ke kantor.” “Eung, gini, ya, Kak. Aku itu enggak ada bakat untuk jadi wanita kantoran. Tahuku Cuma main musik dan nyanyi.” Jean kemudian tersenyum. Senyum yang biasa dia tunjukkan di depan Liora. Jika melihat senyum itu, Liora sedikit lega. “Saya enggak menyuruh kamu menjadi wanita kantoran, Liora. Saya hanya bilang bekerja bersama saya. Saya tidak menyebutkan pekerjaan apa.” “Ya, kalo gitu, saya kerja apa?” “Kerjamu Cuma menemani saya.” Satu detik, dua detik, tawa wanita itu pecah. Dia sudah panik mendengar bahwa dia akan bekerja di kantor, padahal dia tidak paham soal dunia perkantoran, namun pikirannya langsung dijatuhkan hanya dengan kalima “Menemani saya”. Jean ini sungguh lucu. “Harus banget aku temani? Emang ada apa di sana?” Saya harus menjaga kamu tetap disisi saya, Liora. Jika ketakutan saya benar terjadi, saya bisa mengusahakan untuk tetap membuat kamu disisi saya. “Urusan saya di kantor banyak. Saya enggak bisa menjamin akan selalu pulang cepat. Saya enggak mau mengulang kesalahan saya. Tapi, jika kamu berada disisi saya, saya rasa saya tetap bisa menebus waktu kita yang dulu.” Liora tertegun mendengarnya. Agak manis dan tulus, tapi itu bukan sesuatu yang bisa membuat Liora terbawa perasaan. Jujur saja, jika sebelumnya yang dia dengar mereka berdua saling mencintai, sekarang Liora sedang mencari dimana letak cinta itu. Karena sejak bangun dari koma, yang dirasakannya ketika ada di dekat Jean hanya rasa tidak tega. Ya, rasanya tidak tega melihat wajah kecewa Jean ketika dia tidak mengenali pria itu, rasanya tidak tega melihat Jean yang begitu ingin ia untuk ikut pulang ke rumah. Ya … rasa tidak tega itulah yang membuat Liora ada di rumah ini. Rumah yang katanya pernah ia tinggali bersama Jean. Meskipun dia tidak mengingatnya. “Saya Cuma harus duduk di sana nemenin Kakak?” Jean mengangguk. “Saya juga akan kasih tahu kamu semua tentang perusahaan saya. Karena perusahaan itu juga milik kamu, dan kamu berhak tahu.” Liora mengibaskan tangannya. “Mana ada itu perusahaan aku. Yang berjuang buat perusahaan itu, kan, Kak Jean, kenapa jadi aku?” “Karena kamu istri saya. Apapun milik saya adalah milik kamu.” Liora mengangguk mengerti. “Oke. Aku akan ikut besok.” “Tapi, saya punya permintaan, Ra.” “Apalagi?” “Bersikaplah seperti istri saya. Ingat! Kamu adalah Nyonya Jeano.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN