Another -11

1558 Kata
Liora menyeruput minumannya hingga habis. Wanita itu mengusap perutnya yang sudah merasa kenyang. "Udah kenyang?" tanya Cakra. Liora mengangguk. "Tapi ada satu yang kurang." "Masih mau jajan lagi?" Cakra geleng-geleng kepala. Sudah beberapa jajanan yang dibeli oleh Liora namun wanita itu masih menginginkan satu jajanan lagi. Cakra bahkan tidak sanggup jika disuruh menghabiskan makanan yang dibeli Liora tadi. "Es krim. Aku ke sini pengin es krim." Cakra tertawa. "Tunggu sini. Biar gue aja yang beli." Liora menunggu dengan patuh. Untuk saat ini, Liora benat-benar melupakan larangan Jean untuk tidak dekat dengan Cakra. Lagipula, Liora tidak merasa Cakra bersikap jahat padanya. Justru pria itu benar-benar seperti seorang teman. Cakra tidak sekaku Jean. Itu sebabnya Liora tidak merasa canggung. Meski kini ia terbiasa berbicara menggunakan aku-kamu pada siapapun lawan bicaranya, kecuali kedua temannya. Cakra datang dengan dua cone es krim. Satu rasa vanila dan satu rasa cokelat. "Mau rasa apa?" Liora mengambil rasa Vanila. "Makasih," ucapnya setelah mengambil es krim di tangan Cakra. "Habis ini udah enggak ada lagi, kan?" "Kenapa emangnya?" "Ya enggak apa-apa. Cuma, lo udah banyak banget makannya dari tadi. Enggak takut perut lo meledak kaya bom? Lihat, tuh, udah buncit begitu." Liora mendengkus. "Ck, body shaming!" "Bukan body shaming, tapi fakta." Liora memakan es krimnya, menikmati pemandangan danau yang cantik. Meski air danau tidak sejernih lautan, tapi danau memiliki keindahannya sendiri. Apalagi, Liora bisa melihat burung-burung kecil yang beterbangan di atas air. "Kira-kira, burung capek enggak, ya, terbang mulu?" tanya Liora asal. Cakra ikut melihat burung-burung kecil itu sambil memakan es krimnya. "Capek mungkin. Kita juga capek, kan, kalo jalan mulu." "Iya juga, sih." "Oh, ya," Cakra menoleh menatap Liora. "Gue belum sempat tanya nama lo. Dari awal kita ketemu pun gue enggak sempat nanya. Nama lo siapa?" "Buat apa mau tahu nama aku?" "Buat manggil. Ya masa gue harus manggil, 'hei' atau 'woy'. Gue butuh nama." "Aku enggak mau kasih tahu." Cakra sudah menduga jawaban Liora. "Oke kalau begitu, biar gue yang cari tahu sendiri." Liora menatap Cakra sebal. "Kenapa, sih, kamu kepo banget? Lagian, kamu enggak perlu tahu nama aku siapa. Hari ini, aku cuma lapar dan mau jajan sepuasnya. Karena kamu nawarin untuk jajani ya aku enggak nolak. Tapi bukan berarti kamu bisa sok akrab. Kita tetal orang asing yang enggak saling kenal." Ternyata tidak semudah itu mendekati Liora. Bahkan ketika dia sudah melakukan banyak hal sampai menghabiskan waktunya hanya untuk menemani wanita itu menghabisi banyak jajanan. "Jean bilang apa tentang gue sampai lo seserius itu untuk enggak dekat-dekat gue?" "Ya, pokoknya, aku enggak boleh dekat kamu." "Jadi, tadi gue cuma dimanfaatkan aja gitu?" Liora melotot. "Kamu yang nawarin, ya! Aku enggak maksa dan enggak manfaatin kamu." Cakra tersenyum kecil. "Mbak Liora!" Sebuah panggilan membuat keduanya menoleh. Andi berlari mendekati Liora dengan napas ngos-ngosa dan wajah penuh keringat. "Ya ampun, Mbak. Ternyta Mbak Liora ada di sini. Saya sampai panik nyariin Mbak. Kirain Mbak diculik orang. Saya sampai ngelilingin gedung buat cari Mbak Liora." Liora benar-benar lupa bahwa ia pergi tanpa memberitahu Andi. Wanita itu menggaruk alisnya, merasa tidak enak membuat Andi harus mencarinya. "Maaf, ya. Aku lupa kasih tahu kamu kalau aku ke sini. Habisnya tadi aku haus banget, pengin jajan." Andi mengatur napasnya. Pria itu melirik Cakra yang berdiri di belakang Liora. Tentu saja Andi mengenal pria itu. Pria yang tidak lain adalah direktur Starship--perusahaan furniture yang menjadi saingan dari UNICON. "Ayo, Mbak. Kita pulang. Kita sudah telat. Nanti Pak Jean nyariin kita." Liora mengangguk. Ia mengambil tas nya yang ada di kursi, lalu berjalan pergi mengikuti Andi dari belakang. Liora berbalik sebentar untuk melihat Cakra yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu tersenyum kecil sebagai tanda terima kasihnya. Meskipun Liora tidak meminta di jajani, tapi Liora juga harus berterima kasih. Setelah tersenyum sebentar, Liora kembali melangkahkan kakinya dengan cepat. *** Wanita itu melangkahkan kakinya perlahan, masuk ke dalam rumah. Hari sudah sore. Awalnya Andi ingin membawanya ke kantor. Namun Andi mendapar kabar bahwa Jean sudah pulang lebih awal. Liora menaruh sepatunya, lalu menggantung tasnya. Ketika hendak melewati ruang tamu, Liora mendapati Jean sedang duduk di sofa dengan ipad di tangannya. "Aku pulang," ucap Liora mendekati Jean. "Hmm." Hanya itu respon yang diberikan Jean. "Yaudah, aku ke atas dulu, ya, mau mandi." Liora berbalik, hendak pergi dari sana, namun suara bariton Jean menghentikan langkah kakinya. "Diam disitu!" perintah Jean. Liora menoleh ke arah Jean. "Kenapa?" Pria itu melepas kacamatanya, menaruhnya di atas meja lalu berjalan menghampiri Liora dengan tatapan mengintimidasi. Pria itu menyilangkan kedua tangannya. "Kamu hilang ke mana tadi?" "Aku enggak hilang, kok. Aku cuma pergi ke taman seberang, nyari minum." Liora agak was-was. Apakah Jean tahu bahwa dirinya bertemu dengan Cakra? Jika tahu, mungkin Liora akan dimarahi habis-hanisan karena tidak mendengarkan perkataan Jean untuk menjauhi pria itu. "Kak Jean dikasih tahu siapa kalau aku hilang?" "Andi. Dia bilang, kalian pulang telat karena kamu sempat hilang." "Lagian, aku udah minta maaf ke Andi. Aku lupa kasih tahu dia kalau aku mau beli minuman di luar. Aku kepingin es krim." Jean menghela napas pelan. "Lain kali, kemanapun kamu pergi, sedekat apapun itu, tolong kasih tahu orang yang pergi sama kamu. Itu bisa membantu jika seandainya terjadi sesuatu. Kamu enggak tahu, kan, di Jakarta ini banyak orang jahat. Siapapun bisa jahatin kamu. Saya kaya gini karena enggak mau kamu kenapa-napa. Terlalu protektif memang. Tapi jika demi kebaikan kamu, apapun akan saya lakukan," ucapnya diiringi helaan napas berat. Liora menundukkan kepalanya. "Iya, maaf, Kak." "Ya sudah, sana mandi! Habis itu istirahat. Saya ada banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa cari saya di halaman belakang." Liora mengangguk. Ia agak ngeri melihat wajah Jean yang serius itu. Sepertinya Jean marah. Liora tidak berani bertanya lebih jauh. Pria itu pergi membawa kacamata dan ipadnya menuju halaman belakang, di gazebo dekat kolam renang yang memang biasa menjadi tempat Ansel duduk santai sembari memeriksa pekerjaan kantornya. *** Setelah mandi, Liora turun ke lantai bawah. Wanita itu mengambil segelas air lalu meminumnya. Ia melangkah menuju taman belakang, mengintip Jean yang sedang fokus dengan pekerjaannya. Liora berinisiatif untuk membuatkan teh hangat sebagai permintaan maaf. Liora pun kembalu ke dapur, mengambil gelas kosong serta teh yang ada di meja. Liora membawa gelasnya ke arah dispenser lalu mengisinya dengan air panas dan air dingin. Ia tersenyum, membawa segelas teh hangat itu sembari berjalan ke taman belakang. Mata Liora terlalu fokus pada gelas yang dipegangnya, hingga tidak memperhatikan langkahnya, hingga wanita itu tersandung ketika hendak melewati pintu belakang. Liora terjatuh bersama gelas yang dibawanya. Bunyi gelas pecah itu membuat Jean mengalihkan pandangannya dari ipad. Pria itu langsung menaruh ipadnya dan buru-buru menghampiri Liora yang tergeletak di lantai. "Ya ampun, Ra. Kamu gapapa?" Jean langsung mengangkat tubuh Liora dan membawanya duduk di sofa. Lututnya terasa sakit karena membentur ujung pintu. "Mana yang sakit?" "Ini," ucapnya sembari menunjuk lutut kanannya. Jean mengusap pelan lutut Liora yang semakin lama semakin terlihat memerah. "Tunggu, saya ambil minyak oles dulu." Setelah mengambil minyak oles, Jean mengusap lutut Liora, mengoleskannya minyak, lalu mengurutnya pelan. "Lagian kamu ngapain, sih, sampai jatuh begini?" Liora memasang wajah cemberut. "Akutuh buatin Kak Jean teh hangat. Aku mau bawain teh hangatnya, malah kesandung dan jatuh," ucapnya dengan nada kecewa. "Saya enggak minta dibuatin teh hangat," ucap Jean yang membuat Liora sedikit kesal. "Ya emang kalau aku inisiatif mau buatin teh hangat enggak boleh? Aku, kan, cuma mau jadi istri yang baik. Yang nyiapin minuman pas suaminya lagi kerja. Apa yang salah?" sungut Liora. Jean menyentil dahi Liora. "Kamu enggak perlu ngelakuin ini untuk jadi istri yang baik. Cukup nurut apa kata saya dan tetap bersama saya, itu udah jauh dari kata baik. Lain kali, hati-hati. Ini baru lututnya, besok apalagi?" "Besok ya jangan jatuh lagi." Lagian, tadi, tuh, enggak sengaja jatuh. Aku, tuh, selalu hati-hati." "Ya ampun, kamu ini." Jean gemas sekali ingin menutup mulut Liora. Istrinya ini benar-benar tidak kehabisan kata-kata untuk menjawabnya. "Kalau saya nasehati, diam saja. Enggak usah nyaut. Nanti nasehatnya enggak masuk ke hati." "Kata siapa?" "Kata Nenek saya begitu." "Nenek Kak Jean bohong." "Tahu dari mana?" "Nebak aja." Jean tertawa pelan. "Kamu ini benar-benar ngerepotin saya tahu enggak?" "Terus Kak Jean enggak suka direpotin?" Jean menggelengkan kepalanya. "Saya suka. Dulu kamu yang saya repotin. Sekarang giliran saya. Jadi saya enggak keberatan. Ya, meskipun saya sedikit kewalahan dengan tingkah kamu." Liora mengusap pelan bahu Jean, lalu memasang ekpresi prihatin. "Sabar, ya. Siapa suruh nikahin aku?" "Almarhum Ayah kamu yang suruh. Saya bisa apa?" "Bisa nolak, lah." "Kalo saya nolak, saya jadi anak durhaka nanti. Kamu mau tanggung jawab?" Liora mengibaskan tangannya. "Enggak, makasih. Tanggungan hidup aku aja udah berat. Enggak bisa ditambah." "Ternyata Kak Jean bisa di ajak bercanda juga, ya. Aku kira, Kak Jean tipe laki-laki yang enggak akan mau diajak bercanda. Ekspresi Kak Jean selalu serius setiap kali aku lihat Kak Jean bicara sama orang lain." "Tentu saya harus tegas kalau sama orang lain, Ra. Supaya mereka tidak menyepelekan sopan santun meski seumuran. Dari kecil saya diajarkan sopan santun dan diajari bagaimana bersikap tegas. Mungkin karena sudah terbiasa, jadi setiap saya bicara kelihatan sangat serius. Padahal saya bisa saja bercanda jika orang itu memulai duluan. Dan, hanya orang-orang terdekat saya yang berani melakukan itu. Salah satunya kamu dan Evan." "Hmm, enggak heran, sih. Mungkin Kak Jean di didik sesuai apa yang harus dimiliki oleh seorang Direktur perusahaan besar. Keren!" "Saya keren?" Liora mengangguk. "Senang rasanya dapat pujian itu dari kamu." Keduanya pun tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN