Hari ini Liora punya jadwal untuk mengajar les piano. Seperti biasa, Liora sangat menyukai pekerjaannya ini. Namun, hari ini ia harus mengajar lebih awal karena ia sudah berjanji pada Jean untuk ikut Andi pergi melakukan kunjungan ke tempat produksi yang mengerjakan produk baru milik UNICON.
Sejujurnya, Liora malas sekali. Namun ia penasaran juga bagaimana rasanya bekerja di perusahaan furniture.
"Hari ini, sampai di sini dulu, ya, les nya. Minggu depan, Kakak akan uji kamu lagi di lagu ini. Jangan lupa, sering-sering latihan sendiri. Main piano itu enggak cuma harus menghafal, tapi kamu juha harus bisa merasakannya."
Anak itu mengangguk. Liora mengusap kepalanya pelan, lalu meraih tas nya dan berpamitan untuk pulang.
Liora menunggu Andi di halte bus yang tak jauh dari komplek tempatnya mengajar les. Andi memang mendapat perintah untuk menjemput Liora, agar mereka bisa langsung pergi tanpa harus kembali ke kantor lebih dulu.
Seteleha menunggu selama sepuluh menit, Andi datang dengan mobil putihnya. Pria itu sedikit membungkuk sebagai tanda hormat lalu tersenyum. "Maaf menunggu lama, Bu."
Liora menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Lagian cuma sepuluh menit nunggu. Ah, dan satu lagi. Jangan panggil aku Ibu. Kelihatan tua banget. Aku masih muda, loh. Panggil aja Liora."
Andi menggaruk alisnya, terlihat tidak berani mengiyakan saran Liora barusan. "Tapi, Ibu, kan, istri Bos saya. Masa manggilnya nama. Kan, enggak sopan."
"Iya juga, sih. Gimana kalau Mba aja? Mba Liora? Biar enggak kelihatan tua banget. Lagian, kayaknya kita semuran, deh."
Andi mengangguk, lalu menampilkan senyum canggungnya.
"Kalau begitu, kita berangkat, Mbak?"
Liora mengangguk. "Let's go!"
Keduanya sampai di sebuah bangunan besar yang terdapat banyak sekali barang-barang furniture yang belum selesai di buat. Ada lemari, sofa, meja makan, dan lain-lain. Di sana ada banyak pekerja yang sibuk dengan bagian mereka. Liora baru pertama kali melihat proses pembuatan barang-barang rumah tangga yang ada di setiap rumah itu.
Andi memberikan sebuah kertas berisi gambar dari desain sofa yang akan menjadi produk baru UNICON.
"Sofa ini di design khusus oleh Pak Jean. Beliau ingin membuat sofa yang menyatu dengan mejanya. Jadi, sofa ini akan memiliki panjang satu meter setengah. Di bagian tengah, akan dibuat meja yang di telah design khusus. Jadi, tidak perlu ada meja terpisah lagi. Produk ini dibuat untuk orang-orang yang ingin memiliki sofa yang simple dan tidak memakan banyak ruang. Cocok untuk rumah berukuran sedang yang hanya memiliki ruang tamu dengan luas yang minim."
Liora mengangguk mengerti setelah mendengar penjelasan Andi.
"Ide yang menarik. Aku enggak pernah kepikiran tentang sofa yang disatukan dengan mejanya."
Andi terkekeh. "Itulah tugas kita. UNICON enggak hanya perusahaan yang menjual furniture rumah tangga, tapi juga menciptakan barang-barang yang kekinian dan tentunya menarik dan berkualitas."
"Kita datang ke sini untuk apa?" tanya Liora.
"Saya akan tunjukkan proses pembuatan sofa ini ke Mbak. Dan saya diminta Pak Jean untuk menanyakan perihal pendapat Mbak Liora tentang sofanya."
"Oke. Dimana aku harus lihat prosesnya?"
"Mari saya tunjukkan," ucap pria itu lalu menunjukkan jalan menuju gudang tempat produksi yang ukurannya lebih besar.
***
Setelah melihat-lihat proses dan pembuatan sofa milik UNICON itu, Liora duduk di depaj mobil sembari mengipasi wajahnya dengan kertas yang ia pegang. Hari ini lumayan panas. Rasanya tenggorokan Liora kering sekali meski sudah minum beberapa gelas air tadi.
"Makan es krim enak banget kali, ya," gumam Liora membayangkan es krim cone vanila yang sangat lezat.
Liora berjalan keluar dari gedung itu. Entah kemana langkah kakinya membawanya. Saat datang tadi, Liora sempat melihat ada food court tak jauh dari gerbang masuk. Benar saja, Liora bisa melihatnya tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup menyebrang dan berjalan sejauh 10 meter, Liora sudah bisa melihat beberapa food truck yang berjejer di luar taman yang lumayan ramai itu.
Jika sudah begini, Liora tentu senang. Wanita penyuka jajan seperti Liora bertemu dengan apa yang disukanya.
Wanita itu berjalan menuju salah satu food truck yang menjual minuman yang terlihat enak. Untung saja ia membawa uang cash untuk berjaga-jaga.
Setelah mendapat minuman yang dia mau, Liora berdiri di dekat lampu taman, lalu meminum minumannya. Wanita itu tersenyum, merasakan dinginnya es itu melewati tenggorokannya.
"Sumpah, ya. Es itu emang pilihan terbaik disaat haus," ucapnya.
"Tapi enggak bagus kalau lagi haus minumnya es," ucap seseorang yang datanf menghampiri Liora.
Wanita itu mengernyit, merasa bahwa wajah itu tidak asing.
"Cakra. Kalau lo lupa."
Benar, pria itu adalah Cakra, yang ditemuinya kemarin di supermarket. Liora tidak menyangka ia bisa bertemu pria itu di sini.
"Dunia itu sempit, ya. Gue ke sini karena mau lihat lahan untuk proyek, eh enggak sengaja ketemu lo."
Liora tidak merespon ucapan Cakra. Ia memilih mengabaikannya sesuai dengan apa yang Liora ingat sata Jean mengatakan bahwa Cakra adalah orang jahat.
"Taman ini emang selalu ramai. Dijadikan tempat olahraga juga tempat nongkrong. Gue sering ke sini dulu sama adik gue setiap hari minggu."
Liora tetap mengabaikannya.
Cakra menunjuk ke arah kanan Liora, lalu berkata, "Ada satu food truck yang jual bakso bakar di sana. Rasanya enak. Mau coba?"
Liora ikut melihat ke arah yang ditunjuk Cakra. Sebenarnya, ia tergoda ketika Cakra menyebut soal bakso bakar itu. Namun ia harus tetap bersikukuh pada sikap acuhnya.
"Lo harus coba bakso bakar itu kalau ke sini. Sayang banget kalo enggak. Biasanya dagangannya cepat habis."
Tahan Liora. Jangan mau di ajak bicara sama Cakra. Kak Jean bilang dia orang jahat.
Cakra terkekeh pelan. Dia tahu pasti Liora berusaha untuk mengabaikannya.
"Yasudah kalau enggak mau. Lagipula, gue ke sini karena memang mau beli bakso bakar itu. Niatnya lo mau gue beliin. Tapi lo diam aja. Padahal gue baik-baik, loh, ke sini. Muka gue kelihatan jahat, ya? Yaudah enggak apa. Gue duluan, ya!"
Cakra berjalan melewati Liora yang tampaknya mulai goyah.
"Eh, tunggu!"
Cakra tersenyum ketika mendengar Liora yang akhirnya mengeluarkan suara itu. Pria itu berbalik.
"Berubah pikiran?" tanyanya.
Liora berdeham pelan. "Karena lapar, jadi aku berubah pikiran. Tapi jangan berani macam-macam atau aku akan telepon kak Jean dan suruh dia ke sini."
Cakra tertawa pelan. "Di sini ramai. Kalau gue mau macam-macam, pasti gue ajak lo ke tempat yang lebih sepi karena gue enggak mau ambil risiko digebukin orang-orang."
Benar juga. Mungkin Cakra memang kebetulan lewat dan hanya berniat mengajaknya mencicipi bakso tusuk itu. Lagipula, menolak niat baik seseorang itu enggak boleh, kan?
"Yaudah. Cuma beli bakso bakar!" pertegas Liora, lalu wanita itu berjalan lebih dulu meninggalkan Cakra yang masih geleng-geleng kepala.
"Kenapa hidup lo selalu lebih beruntung dari gue, Jean? Bahkan lo punya istri semanis dia disaat gue kehilangan cinta gue karena lo. Bukankah Tuhan terlalu tidak adil? Karena hanya lo yang bahagia," ucap Cakra sembari mengepalkan tangannya. Dia muak sekali melihat Jean yang selalu memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya.
Cakra berjalan menyusul Liora dari belakang, sembari memikirkan bagaimana caranya membuat Liora dekat dengannya tanpa sepengetahuan Jean.
Tentu saja alasannya karena dia ingin merebut Liora dari Jean. Dia ingin Jean merasakan rasa sakit ketika melihat orang yang dicintainya memilih orang lain.
"Gue pastikan Liora, akan meninggalkan lo sama seperti Bella meninggalkan gue," ucap Cakra dalam hati.
"Ini bakso tusuknya?" tanya Liora menunjuk sebuah food truck di depan mereka.
Cakra mengangguk. Pria itu mendekat. "Mas, bakso tusuknya dua porsi, ya. Sama teh melatinya sekalian," ucap Cakra.
Liora menelan ludah melihat bagaimaba bakso itu dibakar dan diberi bumbu yang terlihat begitu lezat.
Setelah menunggu selama sepuluh menit, pesanan mereka pun jadi. Keduanya duduk di salah satu kursi taman yang menghadap ke arah danau.
Liora memakan bakso bakar miliknya. Tetnyata memang benar, bakso bakar itu sangat lezat.
"Ini enak banget," ucap Liora dengan dengan mulut penuh.
"Enak, kan? Gue bilang juga apa. Gue udah langganan beli bakso bakar di sini. Soal rasa makanan, gue enggak usah lo ragukan."
Liora tersenyum lalu mengangguk. Wanita itu menghabiskan bakso bakarnya dengan wajah sumringah. Cakra bahkan sudah merada kenyang hanya dengan melihat wanita itu makan.
"Lapar, ya?"
Liora mengangguk. Pria itu memberikan bakso bakarnya pada Liora.
"Nih, makan punya gue."
"Kamu enggak mau?"
"Gue udah bosan."
Liora semakin melebarkan senyumnya, lalu menerima bakso bakar itu dengan senang hati.
Cakra tersenyum simpul. "Lucu."