Jean menggendong Liora lalu mendudukannya di sofa. Jean buru-buru pergi ke dapur untuk mengambil obat yang Liora maksud.
Setelah mengambilnya di dalam kulkas, Jean mengambil segelas air lalu kembali menghampiri Liora.
"Ayo minum obat dulu," ucap Jean sembari membantu Liora meminum obatnya.
"Masih sakit, ya?"
Liora mengangguk. "Enggak apa, kok. Aku emang biasa begini kalau lagi hari pertama datang bulan. Paling juga satu jam ke depan sakitnya udah hilang."
Jean menghela napas lega. Ia memang tahu jika wanita pasti mengalami datang bulan, namun tidak tahu akan merasa sakit seperti ini. Jean juga tidak punya pengalaman tentang hal ini. Mungkin dulu, Liora juga sering merasakan sakit. Namun wanita itu memilih diam. Pasti sangat sulit.
"Saya harus apa?"
Liora terkekeh. "Enggak perlu ngapa-ngapain."
"Maaf, ya. Saya enggak ada pengalaman soal ini. Jadi saya bingung harus berbuat apa. Dulu, saya enggak pernah lihat kamu kesakitan kaya gini waktu pertama datang bulan."
Liora agak bingung, nyatanya ia selalu tidak bisa menyembunyikan rasa nyeri nya jika datang bulan. "Aku yang dulu, ternyata kuat juga, ya."
Jean mengusap perut Liora, membuat Liora bisa merasakan telapak tangan Jean yang hangat.
"Kalau datang bulan, biasanya berapa lama?"
"Kayaknya tiap wanita beda-beda. Kalau aku, biasanya cuma seminggu."
Jean mengangguk. "Seminggu, ya?"
"Kenapa memang?"
"Enggak ada. Saya cuma nanya."
Liora menyipitkan matanya, lalu memukul bahu Jean. "Pasti mikirin hal m***m, ya!"
"Aduh! Enggak, kok. Saya bilang, kan, tadi cuma nanya. Lagian, mau mikirin hal m***m apa? Kamu lagi datang bulan pun, saya tetap bisa cium dan peluk kamu."
"Itu namanya m***m!"
Jean terkekeh. "Yaudah. Saya buatkan teh hangat, ya? Biar enakan perutnya."
Liora mengangguk.
Jean pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Liora mengusap pelan perutnya sembari memerharikan Jean yang sibuk membuat teh di dapur. Jarak dapur dan ruang tamu memang tidak jauh. Dapur mereka itu terbuka, jadi siapapun bisa melihatnya dari ruang tamu atau bahkan dari lantai dua.
Setelah membuat teh, Jean kembali menghampiri Liora. "Teh hangat sudah siap," ucap Jean meniru koki-koki di restoran.
Liora tersenyum, meraih teh itu lalu menyeruputnya perlahan.
"Oh, iya. Di dapur bahan makanan habis. Saya mau ke supermarket, kamu tunggu di sini, ya."
Liora menggeleng. "Aku ikut!"
"Perut kamu, kan, masih sakit."
"Udah mendingan, kok. Aku mau ikut aja. Aku enggak mau sendirian di rumah. Lagian, aku juga mau belanja. Kak Jean mulu yang belanja. Itu, kan, tugas istri."
Jean mencubit pipi Liora gemas. "Sudah saya bilang, tugas kamu cuma menemani saya."
"Enggak adil kalau gitu. Boleh ikut, ya? Ya?" Liora memasang wajah memohonnya, membuat Jean tidak tega untuk menolak.
"Yasudah. Tapi kalau perutnya sakit lagi, saya enggak mau tanggung jawab."
"Iya, tenang aja. Aku kuat."
***
Liora dan Jean kini sudah sampai di supermarket. Jean mendorong troli belanjaan, sedangkan Liota berjalan lebih dulu, melihat-lihat apa yang akan dibelinya.
"Kita mau beli apa?" tanya Liora.
"Yang pertama, kita beli sayur-sayuran dan bumbu-bumbu. Karena Bibi masih libur, jadi kita harus sediain sendiri untuk bahan makanan. Biar aku gampang masaknya."
Liora mengangguk. Mereka pergi ke bagian sayur-mayur dan bumbu-bumbuan.
"Tomat, cabai, bawang, wortel, bayam, jagung, dan parsley," ucap Jean menyebutkan apa yang harus diambil Liora.
"Oke, sudah! Apalagi?"
"Garam, merica, lada, gula, kecap, saus, mentega, mayo, saus mustard, sama ... eng, apalagi, ya?"
"Kayaknya udah. Kita belum beli minyaknya."
"Ah, iya, minyak," ucap Jean.
Setelah selesai membeli bahan makanan, kini mereka beralih ke tempat lain.
"s**u sudah, teh sudah, mie instan sudah juga. nugget, kentang, juga sudah. Eng, aku boleh beli jajan?"
Jean mengangguk. "Silakan."
Liora tersenyum senang, lalu mengambil snack yang ia inginkan. Ketahuilah, jika wanita lain senang di ajak belanja pakaian dan make up, Liora lebih senang di ajak membeli snack-snack di supermarket. Hobinya mengemil memang susah sekali dihilangkan. Untungnya, Liora bukan yang termasuk cepat gemuk meski sering mengemil.
Ketika mereka hendak pergi ke tempat daging, keduanya berpapasan dengan Cakra yang juga berada di sana. Jean agak terkejut mendapati keberadaan pria itu yang setahunya masih menetap di Makau.
"Wow! Takdir macam apa ini? Kita bertemu lagi, Jeano," sapa Cakra melambaikan tangannya.
Liora terdiam, tentu karena tidak mengenali Cakra.
"Ngapain lo ke Indonesia?"
Cakra mendengkus. "Gue jauh-jauh balik dari Makau, bukannya lo sambut, malah nanya gitu. Kita ini teman lama, kan? Jangan galak-galak ke gue."
Jean memutar bola mata malas. Pria itu menarik lengan Liora agar berdiri di dekatnya.
Cakra tahu wanita itu adalah istri Jean. Cakra masih mengingat wajahnya.
"Istri lo, kan? Udah lama kita enggak ketemu."
Liora terlihat kebingungan.
"Lo enggak ingat gue?" tanya Cakra pada Liora.
Liora mengernyitkan dahinya. "Siapa ya?"
Cakra agak kaget memdengar itu. Tidak mungkin Liora melupakannya. Meski hanya satu kali bertemu, tapi pertemuan mereka cukup berkesan. Harusnya Liora mengingatnya.
"Ternyata lo lupa. Cakra. Tolong ingat nama gue lain kali, ya."
"Dengar-dengar juga, lo habis kecelakaan dan mengalami koma. Maaf terlambat, tapi, gue turut prihatin dengan kejadian itu."
"Udah basa-basinya?" tanya Jean menatap Cakra sinis. "Ayo, Ra. Kita langsung ke kasir aja."
"Loh, dagingnya?"
"Nanti beli di tempat lain."
Jean mengajak Liora pergi. Keduanya berjalan melewati Cakra yang masih berdiri di tempatnya. Posisi Liora memang berada di sebelah kiri Jean, yang mana Cakra dan Liora berada di posisi yang lumayan dekat. Ketika Liora melewatinya, Pria itu menyempatkan diri meraih tangan Liora sebentar lalu tersenyum manis, sebelum akhirnya tangan mereka terlepas karena Liora yang semakin menjauh.
Liora menoleh ke belakang, menatap Cakra yang melambaikan tangan padanya.
Aneh. Liora tidak merasa mengenal pria itu, namun rasanya tidak asing dengan senyumnya barusan. Seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
Setelah membayar belanjaan mereka, keduanya kembali menuju mobil. Wajah Jean terlihat tidak senang sejak pertemuannya dengan pria tadi. Liora ingin bertanya, namun tidak berani. Keduanya hanya diam sepanjang perjalanan kembali ke rumah.
Kini keduanya sedang memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas. Jean juga masih tidak bicara, sampai Liora pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Yang tadi itu siapa?" tanya Liora yang membuat Jean menoleh ke arahnya.
"Dia, orang yang enggak harus kamu kenal."
"Kenapa?"
"Dia jahat."
Liora mengangguk. "Tapi aku enggak lihat wajahnya kaya orang jahat."
Jean menghela napas pelan. Pria itu memegang kedua bahu Liora, lalu menatap istrinya dengan wajah serius. "Dengarkan saya. Orang itu, kamu enggak boleh mengenal dia. Kamu enggak boleh dekat dia. Kalau semisal kamu ketemu dia di jalan, jangan mau diajak bicara. Ingat?"
"Aku enggak boleh tahu alasannya?"
"Sudah saya bilang dia jahat. Kamu hanya perlu tahu dia jahat."
Liora pun akhirnya mengangguk saja.
"Yasudah, kamu ke kamar saja. Biar saya yang bereskan ini."
Liora pun mengangguk lagi. Aneh sekali memang. Ketika Jean memasang wajha serius seperti tadi, rasanya Liora enggan menolak perintah pria itu.
Jean mengusap wajahnya. Dia tidak tahu jika Cakra akan kembali secepat ini. Dia tidak boleh membiarkan Cakra mendekati Liora. Apapun akan dilakukannya agar Liora aman.
***
Liora membuka kemeja putihnya, hendak menggantinya dengan pakaian yang lebih santai. Baru saja ia membuka kemejanya, dan melepasnya, tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya. Jean datang dan langsung mencium bahu polosnya.
Liora terkejut bukan main. Masalahnya, dia hanya memakai bra saja.
"Kak Jean! Ih! Aku mau pakai baju."
Jean membalik tubuh Liora agar berhadapan dengannya. Liora menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
"Aku malu, ih!"
"Kenapa harus malu? Saya suami kamu."
"Ya, tetap aja malu!"
Jean memeluk Liora, kemudian menciumi bahu Liora, menciumnya hingga meninggalkan bekas merah di sana. Tangan Jean beralih ke tali bra milik wanitanya itu, lalu melepasnya.
Liora terkejut, namun tidak berkata apapun. Kini Jean bisa melihatnya dengan jelas, tubuh atas Liora yang polos.
Jean menggendong Liora lalu membawanya ke atas tempat tidur. Pria itu mulai menciumi tubuh Liora, meninggalkan tanda merah di beberapa tempat. Liora hanya memejamkan mata sembari meremas tambut Jean.
Ketika hendak melepaskan celana Liora, wanita itu pun langsung menghentikannya.
"Aku lagi datang bulan, kalau Kak Jean lupa," ucap Liora yang membuat Jean memasanv wajah kecewa.
"Saya rindu kamu."
"Benarkah?"
"Saya rindu tubuh kamu."
Liora menelan ludah. Ia bisa melihat mata Jean yang penuh gairah itu. Sepertinya, Jean benar-benar hendak menerkamnya tadi.
"Tunggu aku selesai datang bulan."
Jean menelusupkan kepalanya ke bawah bantal.
"Lama sekali."
Liora terkekeh. "Lagipula, seminggu ini kita bisa mulai perlahan-lahan, kan? Kita udah sepakat."
Jean mengangguk, meski sebenarnya ia ingin langsung menerkam Liora malam ini.