Jean melepas kacamatanya, lalu memijat pelipisnya pelan.
"Produk baru kita sudah sampai mana?"
"Masih dalam tahap pengecekan, Pak. Tapi saya pastikan bulan depan sudah bisa diluncurkan."
Jean mengangguk, lalu menutup map yang ada di depannya. "Baik. Saya harapa bulan depan kita sudah bisa melakukan promosi, karena beberapa perusahaan cabang sudah menanyakan perihal produk baru untuk akhir tahun ini."
Pria itu mengangguk.
"Oh, ya. Ada satu hal lagi." Jean melepas kecamatanya, lalu melirik Liora yang tengah memainkan ponselnya.
"Liora,"panggil Jean yang membuat wanita itu menoleh.
"Ya?"
"Kemari."
Liora menurut saja, berjalan ke arah Jean yang berada di meja kerjanya.
"Kenalkan, dia istri saya--Liora. Dia akan membantu kamu dalam peluncuran produk baru ini."
Liora melotot, lalu menatap Jean dengan tatapan kebingungan. "Aku?" tanyanya sembari menunjuk dirinya. "Kok aku?"
"Supaya kamu punya kegiatan. Enggak main hp aja."
Liora mendengkus. "Apa-apaan? Aku jarang main hp, kok. Lagian, aku, kan, enggak ngerti."
Jean berdiri, mengusap puncak kepala Liora. "Belajar, Sayang."
"Besok, Andi akan pergi untuk survey ke tempt produksi produk baru kita. Kamu boleh ikut, biar Andi yang akan jelaskan secara detail tugas kamu. Tenang aja. Tugasmu hanya memantau. Selebihnya Andi yang urus."
"Aku digaji juga, kan? Aku kerja loh."
Jean terkekeh. "Uang saya itu, uang kamu. Kamu mau minta gaji yang mana lagi?"
Liora tersenyum. Senang sekali mendengar kalimat yang barusan Jean katakan. Tentu saja, perihal uang siapa yang tidak senang?
"Oke, deal!"
"Yasudah, Pak. Kalau begitu, saya permisi. Besok akan saya kabarkan untuk jadwal surveynya."
Jean mengangguk, kemudian pria bernama Andi itu keluar dari kantor.
"Katanya aku hanya perlu temani Kak Jean aja? Sekarang berubah pikiran, ya?"
"Saya pikir, kamu akan bosan di sini. lagipula, memantau produksi barang itu menyenangkan, loh. Kamu harus lihat gimana barang-barang rumah kita dibuat. Saya juga butuh pendapat kamu, apa yang harus aku perbaiki atau saran yang mau kamu kasih. Saya harus luncurkan produk baru yang berkualitas."
"Hmm, iya-iya."
"Dan soal uang," Jean mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil black card yang ada di dalamnya. "ini, kamu yang pegang."
Liora melongo. "Serius?"
Jean mengangguk. "Sudah saya bilang, uang saya adalah uang kamu. Kamu bisa pakai sesuka hati kamu. Tapi ingat, harus dalam batas wajar dan jangan boros. Kita harus mengatur pengeluaran supaya keuangan kita tetap stabil saat kita sudah punya anak. Saya ingin anak saya lahir di keluarga yang berkecukupan."
Liora mendengkus. "Mungkin kalau sudah punya anak, aku bakal di hempas, ya."
Jean mencubit pipi Liora gemas. "Mana mungkin? Saya lebih ingin kamu."
"Kalau begitu, enggak usah punya anak."
"Kamu udah enggak bisa berubah pikiran kalau kamu lupa."
"Iya, aku enggak lupa."
"Bagus. Sekarang, saya harus pergi menemui tamu di bawah. Kamu bisa tunggu di sini atau pergi kemanapun yang kamu mau, asal tetap ada di gedung ini dan tetap memberitahu saya."
Liora mengangguk mengerti. "Baiklah, Pak Jean. Saya mengerti."
"Anak pintar."
***
Jakarta hari ini sangat panas. Seorang pria berkacamata hitam itu keluar dari pintu kedatangan membawa sebuah koper dan satu tas digendongannya.
Pria itu menghampiri seorang pria yang menunggunya di depan mobil sport putih.
"Kak Cakra!" panggilan itu membuat Cakra melambaikan tangan.
Cakra menghampiri Tio--Adiknya yang datang menjemputnya di Bandara.
"Udah gue bilang, suruh Pak Sardi aja yang jemput. Ngapain lo yang jemput?" omel Cakra pada Adiknya itu.
"Lo baru datang langsung ngomel gini. Bisa enggak, menyapa dengan baik gitu? 4 bulan lo enggak pulang. Harusnya sapa gue baik-baik."
Cakra tertawa kecil, lalu menyentil dahi Tio. "Berisik lo! Udah, yuk, pulang. Gue capek."
Keduanya masuk ke dalam mobil dan pergi menuju rumah.
Cakra memang berada di Makau selama 4 bulan terakhir karena harus mengurus perusahaan cabang milik almarhum Ayahnya.
Jakarta. Sejujurnya Cakra malas untuk kembali. Namun, mengingat masih ada hal yang belum dia tuntaskan, membuatnya berpikir dua kali untuk menetap di Makau.
Balas dendam.
Dia masih belum berhasil membalaskan dendamnya pada Jean. Dan itulah alasan kedatangannya ke Jakarta.
"Gimana sama UNICON? Apa ada kabar perusahaan itu terkena masalah?" tanya Cakra pada Tio.
Tio menggelengkan kepalanya. "Keadaan UNICON masih sama seperti saat Kak Cakra ninggalin Jakarta. Mereka katanya mau luncurin produk baru juga. Gue udah cari infromasi mengenai itu, dan katanya produk mereka akan diluncurkan dalam waktu dekat."
Cakra mendengkus. "Gimana sama Jean?"
"Jean? Dia masih sama. Oh, ya. Ada satu kabar yang mungkin mau lo tahu. Tiga bulan lalu, istri Jean kecelakaan dan mengalami koma. Tapi, kabarnya istrinya sudah sadar dari koma panjangnya."
"Istri Jean? Wanita yang gue lihat waktu itu di acara perusahaan?"
Tio mengangguk. "Iya. Wanita yang awalnya ingin lo ajak berkenalan, ternyata dia istri Jean. Memalukan sekali," Tio mengatakannya dengan tawa renyah.
Cakra memang sempat bertemu dengan istri Jean di acara perusahaan kerabatnya, yang mana Jean juga diundang di sana. Ia sempat mengira wanita itu datang sebagai perwakilan dari perusahaan lain. Namun ternyata, wanita itu datang bersama Jean.
"Ternyata, gue melewatkan banyak hal selama 4 bulan ini."
"Omong-omong, lo ngapain pulang ke Jakarta? Gue kira lo mau netap di Makau."
"Gue masih punya urusan dengan Jean."
Tio yang mendengar itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Nyatanya, Kakaknya ini benar-benar membenci Jean. Sudah berapa kali Cakra mencoba melawan Jean dan perusahaannya, tapi hasilnya tetap Cakra lah yang kalah.
"Mau sampai kapan lo dendam sama dia? Lo enggak punya kerjaan lain selain ngurusin dia?"
Cakra tertawa sumbang. "Gue enggak pernah lupa gimana dia menjatuhkan perusahaan kita. Gue juga enggak pernah lupa gimana Jean menyakiti hati Bella. Dia mengacaukan semua hal yang ada di hidup gue. Gue enggak akan pernah berhenti sebelum melihat Jean hancur. Enggak hanya tentang perusahaannya, tapi juga hatinya. Gue ingin dia membalas rasa sakit yang Bella rasakan."
Tio menghela napas pelan. "Padahal lo tahu, Bella enggak pernah cinta sama lo. Tapi lo enggak pernah berhenti buat mikirin dia. Lo emang Kakak gue yang paling aneh. Gue udah enggak tahu lagi harus bersikap apa. Pokoknya, gue enggak mau ikut campur soal lo dan Jean. Gue enggak mau punya urusan sama dia. Dia bukan tandingan gue."
"Payah."
"Bukan payah! Gue sadar diri namanya. Lo yang enggak sadar diri. Padahal lo tahu, Jean bukan seseorang yang bisa lo jatuhkan semudah itu."
"Gue enggak peduli," ucap Cakra.
"Sama! Gue juga enggak peduli!" balas Tio lalu kembali fokus mengendarai mobilnya.
"Mengalah sama Jean? Itu bukan sifat gue," ucap Cakra dalam hati.
***
Liora memegangi perutnya yang sakit. Hari ini memang hari pertamanya datang bulan. Biasanya memang Liora akan merasa nyeri di bawah perutnya.
Inilah problematika seorang perempuan.
Liora mengusap-usap perutnya, lalu bergumam, "Mana Kak Ansel masih lama lagi."
Liora membasuh tangannya, lalu menatap wajahnya di cermin toilet. Wajahnya begitu pucat. Liora mengeluarkan lipbam lalu memakainya untuk membuat wajahnya lebih fresh.
"Aduh, sakit banget lagi. Mana obatnya di rumah. Kalo begini ceritanya, bisa pingsan gue," ucapnya dengan suara lemah.
Liora berjalan ke luar dari toilet. Ia memilih untuk merebahkan dirinya di sofa sembari menunggu Jean selesai bertemu dengan tamunya.
Liora meringkuk sembari meremas perutnya.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, dan Jean baru selesai dengan pekerjaannya. Pria itu masuk ke dalam kantornya. Melepas dasinya yang terasa mencekik.
"Ra?"
Tidak ada jawaban. Jean mengernyit. Pria itu berjalan menuju sofa, lalu menemukan Liora tertidur dengan posisi meringkuk. Jean mendekatinya.
Jean awalnya hanya ingin melihat istrinya yang sedang tidur, namun ketika menatap Liora agak lama, Jean merasa ada yang aneh. Liora seperti menahan sakit.
"Ra? Kamu sakit?" tanya Jean dengan wajah khawatir.
Liora tidak membuka matanya, namun bibirnya bergerak untuk menjawab, "Perutku nyeri, Kak."
"Perut? Kita ke dokter, ya?"
Liora menggeleng. "Pulang ke rumah," ucapnya diiringi ringisan kecil. "Obatnya di rumah."
Jean mengangguk, lalu menggendong Liora dan buru-buru membawanya keluar. Beberapa karyawan kantor yang melihat Jean menggendong Liora keluar dari lift hanya menatapnya dengan wajah kebingungan. Tentu saja mereka berpikir sesuatu terjadi pada istri bos mereka itu.
Jean membawa Liora masuk ke dalam mobil. "Tahan sebentar, ya. Saya akan bawa kamu pulang," ucap Jean sambil mengelus pelan perut Liora.