Liora duduk di tepi tempat tidur, menggigit bibir bawahnya karena sejak tadi ia merasa gugup. Setelah berpikir barusan, Liora mendapat satu cara untuk permasalahn tentang anak tadi.
Jean masuk ke dalam kamar sambil membawa laptopnya lalu duduk di sofa.
Pria itu membenarkan letak kacamatanya, kemudian mulai mengerjakan tugas kantornya. Liora meremas celana piyamanya.
Gue harus bilang gimana, ya?
Liora akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri Jean, dan duduk disebelah pria itu.
Jean tahu, Liora duduk di sebelahnya. Namun pria itu tidak mengalihkan pandangannya dari ipad di tangannya.
"Eng, Kak Jean," panggil Liora.
"Hmm?"
"Aku, mau bicara soal, yang tadi itu."
"Yang mana? Tadi kita bicara banyak, Ra."
Liora menggaruk alisnya, kemudian mengatur napas. Jantungnya berdebar kencang sekali.
"Itu, loh, Kak. Yang tadi. Soal anak."
"Iya. Kenapa soal anak?"
"Anu. Eung, gimana, ya, bilangnya."
Liora meremas ujung bajunya.
Jean yang melihat Liora tidak melanjutkan ucapannya langsung menatap istrinya itu.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Jean sembari menaruh ipadnya.
"Aku, sudah pertimbangkan soal anak," ucap Liora dengan suara pelan, namun Jean masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Lalu?"
"Lalu, aku sudah memutuskan." Liora menatap Jean. "Aku akan berusaha memberikan keturunan untuk Kak Jean."
Jean tersenyum. "Benar? Kamu enggak akan berubah pikiran? Saya masih kasih kesempatan untuk kamu jika mau berubah pikiran."
Liora menggelengkan pelan. "Aku rasa, alasan aku yang belum terbiasa dengan status aku sekarang agak berlebihan. Aku enggak bisa terus bersikap seolah aku hidup di tubuh orang lain. Meskipun aku masih belum menemukan ingatan-ingatan tentang pernikahan kita, aku enggak mau itu jadi hal yang membebani Kak Jean. Aku tahu, setiap pasangan pasti menginginkan seorang anak. Aku juga begitu. Apalagi, pernikahan kita sudah terbilang lama, seperti yang Kak Jean dan Mama bilang. 6 bulan itu, bukan wakti singkat."
"Jadi?"
"Jadi, aku punya satu permintaan."
Jean terkekeh. "Ada permintaannya juga?"
"Ada. Aku mungkin pernah berhubungan suami istri dengan Kakak. Bukan sekali dua kali di saat sebelum koma. Tapi, setelah aku bangun, aku agak," Liora menggaruk belakang kepalanya, "agak, canggung, dan-"
"Iya, aku tahu, Ra."
Beruntung Jean sangat peka dengan apa yang ingin Liora katakan. Rasanya agak malu jika mengatakannya sendiri.
"Bisakan, kita mulai perlahan? Maksudnya, bisa dimulai dari hal kecil setiap hari. Seperti kecupan, lalu pelukan, lalu ke yang lain. Aku ingin itu dilakukan bertahap, agar aku terbiasa. Jika aku sudah mulai terbiasa, mungkin akan lebih mudah untuk aku melakukan hal yang lebih."
Jean sebenarnya ingin tertawa melihat wajah merah Liora. Tidak tahu sudah berapa kali ia mengatakannya, tapi Liora yang sekarang benar-benar berbeda dengan Liora yang ia nikahi dulu. Liora yang ada bersamanya sekarang, sangat polos dan sifat anak-anaknya lebih kuat.
"Kamu tahu enggak, Ra?"
"Tahu apa?"
"Kamu benar-benar mambuat saya gemas."
"Gemas kenapa? Aku, kan, lagi serius."
"Iya. Seriusnya kamu itu, bikin saya gemas."
"Ck. Males, ah. Padahal aku lagi enggak bercanda."
Liora hendak pergi, namun Ansel menarik Liora hingga dia terjatuh ke pangkuan Jean. Jean tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang bagus ini. Ia langsung menarik tengkuk Liora, lalu menciumnya. Liora agak kaget, namun lama kelamaan, wanita itu mulai menikmatinya.
Ciuman itu berubah menjadi lumatan. Liira sampai kehabisan napas karena Jean benar-benar tidak memberinya celah untuk menghentikan ciuman itu.
Hingga Liora berhasil mendorong tubuh Jean, membuat pria itu melepas ciuman mereka.
Liora mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
"Maaf, saya terlalu kasar," ucap Jean sembari mengusap bibir Liora yang basah.
"Kita mulai dari ciuman ini. Besok, saya akan meminta yang lain. Seperti yang kamu katakan, kita melakukannya bertahap. Aku harap, kamu enggak berubah pikiran lagi. Karena kamu udah menyia-nyiakan kesempatan untuk merubahnya tadi."
Liora mengangguk pelan. Semoga saja keputusannya ini sudah benar.
"Ta-tapi, Kak. Apa aku boleh nanya?"
"Nanya apa, hmm?"
"Dulu, apa aku pernah hamil?"
Jean terdiam. Tidak tahu apa yang membuat Liora bertanya tentang hal itu.
"Kenapa memangnya?"
Liora menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa. Cuma, aku ngerasa ada perasaan takut saat Kak Jean ngomongin soal anak tadi saat makan. Aneh, rasanya kaya, ada sesuatu yang bikin aku ketakutan. Sesuatu yang, enggak bisa aku jelaskan. Waktu aku lihat bayi di tempat aku mengajar les, aku ngerasa sedih. Perasaan itu samar-samar, tapi cukup untuk bikin aku kepikiran. Aku pikir, mungkin dulu aku pernah hamil?"
Apa Liora mulai mendapatkan kembali ingatannya? Kalau aku beritahu dulu dia pernah hamil dan keguguran, apa itu akan membuatnya sedih? Apa kusembunyikan saja fakta itu?
"Kamu," Jean menatap Liora sangat dalam, melihat ada ketakutan dan keraguan di manik mata cantik itu, "dulu enggak hamil. Mungkin, karena sejak bangun dari koma, emosi kamu berubah-ubah, jadi, kamu bisa merasa sedih dan takut di beberapa hal secara acak."
"Tapi, Kak. Aku bener-bener ngerasa, aku seperti enggak asing dengan percakapan kita soal anak. Mungkin dulu kita juga pernah membahasnya?"
Jean tersenyum, mengusap pelan rambut Liora. "Pernah. Dulu kita pernah membahas soal memiliki anak."
"Dulu, apa aku juga sempat ragu untuk memiliki anak?"
Jean tersenyum kecil. Ia mengingat kembali saat-saat ketika dirinya berdebat dengan Liora mengenai anak.
flashback
Liora tengah memainkan ponselnya, sedangkan Jean sibuk dengan laptopnya. Pria itu sedang mengalami masalah di kantor. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing, sampai tidak menyadari bahwa air di dapur sudah mendidih.
"Ra, kamu masak air?" tanya Jean.
"Astaga, iya. Aku lupa!"
Liora buru-buru pergi menuju dapur. Saking lamanya tidak dimatikan, air yang di dalam panci itu sampai nyaris habis. Saking paniknya, Liora sampai lupa menggunakan sarung tangan dan malah mengambil panci panas itu dengan tangan kosong.
"Ah, panas!" pekiknya menjatuhkan panci yang ada di tangannya.
Mendengar suara Liora, Jean langsung menutup laptopnya dan berlari menuju dapur. Pria itu menghampiri Liora, lalu meraih tangan wanita dan membawanya ke wastafel. Jean mengaliri telapak tangan Liora yang memerah dengan air.
"Kamu gimana, sih? Sampai merah begini tangannya."
Liora merungut. "Ya, maaf. Habisnya aku panik tadi. Jadi enggak sengaja megang pancinya."
"Jangan ceroboh. Kalau ngerjain sesuatu, ya, harus dituntasin dulu, baru main hp. Nanti gimana kalo kita punya anak? Bisa-bisa, anak kita kamu tinggal main hp."
Liora mendengkus. "Apasih, kan, aku main hp enggak sering. Lagian, yang mau punya anak sama Kak Jean siapa?" ucap Liora dengan suara pelannya.
"Mau atau enggak, kita harus punya anak, kan? Saya butuh ahli waris," ucap jean dengan ekspresi datarnya.
"Aku enggak mau."
"Yasudah, kalau enggak mau," ucap Jean, lalu pergi meninggalkan Liora yang memasang wajah sebal.
"Kak Jean enggak bisa maksa aku untuk mau punya anak atau enggak. Ini tubuh aku, dan aku berhak memutuskan akan mengandung anak Kak Jean atau enggak," ucap Liora. Wanita itu berusaha untuk tidak menaikkan nada bicaranya.
Jean menatap Liora dengan tatapan datar. "Kalau bukan mengandung anak saya, kamu mau mengandung anaknya siapa? Evan?"
Liora tidak suka dengan cara bicara Jean. Memang Jean selalu memasang wajah datar jika di depannya. Tapi omongannya selalu bisa di jaga. Hari ini Jean benar-benar menyebalkan. Entah apa yang membuat pria itu bicara begitu padanya.
"Kak Jean kalau bicara jangan asal, ya. Aku enggak mau mengandung anak Kak Jean, bukan berarti aku mau dihamili oleh laki-laki yang bukan suami aku!"
"Sudahlah, Ra. Saya lagi sibuk. Saya sedang banyak pikiran. Jangan tambah beban pikiran saya dengan hal sepele kaya gini."
Jean melenggang pergi meninggalkan Liora yang masih berdiri di tempatnya.
"Loh, kan, yang pertama ngomongin soal anak itu Kak Jean. Bukan aku!" ucap Liora agak kencang, membuat Jean bisa mendengarnya namun lebih memilih mengabaikan. Pria itu memijat pelipisnya yang sakit, lalu kembali membuka laptopnya.
Jean menatap Liora dengan perasaan menyesal. Pria itu menggenggam tangan Liora, lalu menghela napas pelan. "Dulu kita bertengkar karena masalah anak. Tapi setelahnya kita enggak permasalahin itu lagi."
Maaf, Liora. Dulu sikap saya terlalu acuh. Saya bahkan melampiaskan kekesalan saya karena masalah perusahaan pada kamu. Kamu pasti dulu kesal. Saya minta maaf karena saya tidak menyadari bahwa yang saya lakukan membuat kamu terluka.
"Aku dulu keras kepala, ya?" tanya Liora lagi.
Jean mengangguk. "Iya."
"Kalau sekarang?"
Jean terkekeh. "Lebih penurut, tapi masih sedikit keras kepala. Enggak apa. Aku suka."
Liora menghela napas pelan, lalu menatap Jean dengan tatapan menyesal. "Maaf karena terbangun seperti orang lain."
"Enggak perlu minta maaf. Kamu yang sekarang dan yang dulu tetap istri saya."