Another - 6

1260 Kata
Jean benar-benar menunggu Liora menghabiskan makannya. Agak canggung melihat Jean di depannya hanya duduk sembari menatapnya makan. Untungnya, Liora bisa menghabiskan makanannya dengan cepat, agar pria itu berhenti menatapnya. "Udah selesai makannya. Sekarang Kak Jean ke kantor aja. Nanti aku nyusul. Aku mau ke toilet dulu." Jean ikut berdiri ketika melihat Liora berdiri. "Aku ikut." Liora melongo. "Ke toilet doang, Kak. Ya ampun." Evan menepuk bahu Jean, lalu berbisik, "Lo terlalu berlebihan. Liora pasti enggak nyaman." Jean menghela napas pelan. Mungkin perkataan Evan benar. Jika Liora tidak merasa nyaman, maka sulit baginya untuk membuat Liora dekat dengannya. "Yasudah. Saya ke kantor duluan. Saya akan selesaikan pekerjaan saya dengan cepat. Supaya kita bisa pulang lebih awal." Liora tidak menjawabnya. wanita itu langsung berjalan pergi ke toilet. Sepeninggal Liora, Evan langsung menceramahi Jean habis-habisan, meminta Jean untuk tidak bersikap berlebihan. "Gue cuma takut terjadi sesuatu sama Liora," ungkap Jean. "Gue tahu lo khawatir. Tapi lo juga tahu, Liora terbangun dengan sifat yang berbeda dari sebelum dia koma. Dia terbangun dengan jiwa bebasnya, merasa dia belum menikah dan enggak berada di bawah tanggung jawab lo. Lo enggak bisa samakan dia dengan Liora yang dulu." "Gue terlalu takut kehilangan dia lagi, sampai gue lupa, dia adalah Liora yang lain." *** Seperti yang dikatakan Jean, mereka pulang setelah Jean menyelesaikan pekrjaannya. Ini baru satu hari Liora ikut Jean ke kantor, rasanya sudah bisa dibayangkan akan setidak seru apa hidupnya nanti. Liora rasanya ingin menolak. Bukan karena di sana membosankan. Tapi, jika disuruh memilih, Liora lebih suka di rumah karena ia bisa melakukan apapun yang ia mau. "Sebenernya, gue enggak paham konsep gue tinggal di rumah ini itu kaya gimana. Gue ngerasa, gue kaya numpang tinggal. Lagian, harusnya gue enggak langsung di suruh tinggal sama Kak Jean. Culture shock, tahu enggak," gumam Liora sembari menuang air ke dalam gelasnya. "Terakhir kali yang gue ingat, gue masih bisa tidur-tiduran di kamar, berantakin dapur, jalan-jalan. Sekarang tiba-tiba aja gue berubah jadi ibu rumah tangga. Ya ampun, Ra. Hidup lo penuh kejutan." Liora duduk di sofa, meneguk air minumnya lalu menyalakan tv. Jean baru saja selesai mandi. Wangi shampo langsung menyapa penciuman Liora. Pria itu pergi ke dapur, membuka kulkas, mengeluarkan bahan makanan dan menaruhnya di atas meja. Sepertinya Jean akan memasak. "Kak Jean butuh bantuan?" tanya Liora sedikit berteriak. "Butuh. Ayo kemari!" Liora pun pergi menuju dapur, lalu berdiri di depan Jean. "Aku harus bantu apa?" "Kamu duduk di kursi itu," ucap Jean sembari menunjum salah satu kursi yang ada di dekat meja makan. Liora pun menurut dan duduk di sana. "Terus?" "Bantu saya kasih semangat. Duduk di sana, terus senyum. Biar saya semangat masaknya," ucap Jean lalu terkekeh. Liora melongo. Agak freak, tapi ... Jean membuatnta tertawa. Sangat aneh cara Jean menggodanya. "Enggak bisa, ya, Kak Jean serius dikit?" "Saya serius loh, Ra. Senyummu itu semangat saya." "Heleh. Gombal." Jean tertawa pelan. "Aneh, ya? Maaf, saya enggak biasa gombal. Tapi saya pengin aja gombalin kamu. Biar kita enggak canggung-canggung banget." Liora mengangguk sambil tersenyum. "Dimaklumi." Jean ikut tersenyum. "Kak Jean mau masak apa?" "Ayam kecap. Saya baru aja dapat resep dari Ibunya Evan. Ayam kecap beliau sangat enak. Saya suka. Makanya saya minta resepnya. Saya mau kamu juga nyobain. Ya, meskipun rasanya pasti enggak akan sama persis." "Dibuat aja dulu. Ngomongin rasanya belakangan." Jean mengangguk. "Yaudah, tunggu ya. Saya akan perlihatkan skill memasak saya yang akan buat kamu jatuh cinta." Liora mengangguk. "Oke" Jean memakai celemek itu ditubuhnya, kemudian mengambil ayam yang telah dipotong-potong itu, lalu mencucinya. Liora benar-benar menyaksikan langsung Jean memasak. Liora sebenarnya tidak asing melihat seorang pria memasak, karena almarhum Ayahnya dulu juga sering memasak untuknya. Namun, melihat Jean yang sering berkutat dengan ipad dan lembar-lembar kertas, membuat Liora agak asing dengan pemandangan di depannya. Liora menopang dagunya dengan kedua tangan. Jean melirik Liora, kemudian pandangan keduanya bertemu. Jean tersenyum. "Gimana? Sudah jatuh cinta dengan saya?" Liora mendengkus. "Sayangnya belum." "Oke. Berarti saya kurang menunjukkan sisi seksinya. Sebentar." Jean membuka kancing lengan kemejanya, kemudian menggulungnya hingga siku. Pria itu juga membuka dua kancing kemeja atasnya, memperlihatkan sedikit d**a bidangnya yang sedikit basah karena berkeringat. Liora tertawa. "Mungkin kalau Kak Jean masaknya enggak pakai baju, seksinya baru kelihatan." "Oh, ya? Kalau begitu-" Jean melepas hampir seluruh kancing kemejanya. Liora yang melihat langsung melotot. "Eh, jangan! Aku bercanda tahu!" Jean tertawa, lalu memasang kembali kancing kemejanya. "Nanti, ya. Enggak pakai bajunya pas di kamar aja," ucapnya dengan nada menggoda. Liora langsung memalingkan wajahnya dan berdeham. "Dasar m***m," gumamnya. Setelah selesai masak, keduanya memulai makan malam mereka. Seperti dugaan Liora, masakan Liora pasti enak. Dari cara pria itu memasak saja sudah sangat meyakinkan. "Enak?" tanya Jean menunggu pendapat Liora. "Enak, kok. Aku enggak meragukan masakan Kak Jean, sih, walaupun Kak Jean bilang rasanya mungkin enggak enak." "Syukurlah. Saya khawatir rasanya enggak sesuai selera kamu. Dihabisin, ya. Makan yang banyak. Biar sehat." "Memangnya aku kelihatan sakit? Aku sehat bugar gini." "Bukan kelihatan sakit, Ra. Tapi biar selalu sehat. Kalau tubuh sehat, punya anaknya gampang." Liora terbatuk ketika mendengar Jean mengatakan itu. Bisa-bisanya pria itu menyinggung soal anak ketika mereka sedang makan. "Anak? Aku enggak mikir akan punya anak secepat itu. Lagian, aku masih perlu beradaptasi sama status aku yang udah jadi istri orang ini." Jean menopang dagunya, menatap Liora dengan tatapan serius. "Tapi aku mau punya anak." Liora mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tertawa. "Iya, tapi enggak dalam waktu dekat. Kak Jean jangan bikin aku deg-degan gini, dong." Saya ingin kamu melahirkan anak saya sebelum kamu ingat tentang segalanya, Liora. Kamu tahu kenapa? Karena dengan kehadirannya, dapat membantu saya untuk tetap berada di sisi kamu jika suatu hari nanti kamu memilih pergi lagi. Hanya itu yang saya inginkan. Hanya itu saja. "Kamu sudah cukup umur untuk memiliki anak. Lagipula, jika ada anak, rumah ini akan ramai, kan? Kamu punya teman di rumah, dan saya punya ahli waris. Kita enggak tahu ke depannya akan seperti apa. Jadi, selagi kita masih sehat dan baik-baik seperti sekarang, kenapa ditunda?" Liora menelan ludahnya, kemudian tertawa canggung. "I-iya, sih. T-tapi, aku belum siap." "Apa yang membuat kamu belum siap, Liora?" "Banyak," gumamnya. Jean menghela napas pelan, lalu mulai memakan makanan yang ada di piringnya tanpa mengatakan apapun. Bukan karena marah, lebih tepatnya, pria itu kecewa. Jean rasa Liora memang belum menginginkannya, dan pria itu tidak tahu lagi harus mengatakan apa untuk membuat Liora setuju. "Kak Jean marah?" tanya Liora hati-hati. "Enggak." "Benar. Kak Jean marah." Jean tersenyum simpul. "Enggak, Liora." "Bohong. Kak Jean pasti marah. Soalnya tatapan Kak Jean langsung berubah." "Saya sudah bilang, saya enggak marah. Kalau kecewa, iya, sedikit. Tapi enggak masalah. Saya enggak akan memaksa kamu untuk melakukan hal yang enggak kamu mau. Kamu punya hak untuk menolak." Liora merasa tidak enak. Sejujurnya, Liora agak takut memiliki anak. Entah kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul dalam benaknya. Jean meminta anak dari Liora memang hal yang sangat wajar. Jean adalah suaminya. Tentu seorang suami juga ingin memiliki keturunan dari istrinya. Apalagi, Jean juga butuh ahli waris dari darah dagingnya sendiri. "Maaf, ya, Kak. Aku akan coba pikirkan dulu. Aku butuh waktu." Jean mengangguk. "Silakan. Kamu boleh berpikir selama apapun yang kamu mau. Aku enggak masalah." Liora tersenyum canggung. "Jadi, sebenernya lo maunya gimana, sih, Ra? Hubungan lo dan Kak Jean perlu perubahan," ucap Liora dalam hati. "Anak itu penting buat Kak Jean. Dan Kak Jean penting buat lo. Lo harus ambik keputusan secepatnya." Benar, Liora memang harus segera memutuskannya. Apapun tentang kehidupan pernikahannya, Liora harus merencanakan apa yang akan dilakukan kedepannya. Meskipun masih sulit menerima kehidupan barunya ini, namun Liora tidak bisa terus seprti itu. Apalagi ini juga nenyangkut kehidupan suaminya-Jean.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN