bc

Dendam Si Manis

book_age18+
1
IKUTI
1K
BACA
contract marriage
family
HE
age gap
kickass heroine
kicking
childhood crush
like
intro-logo
Uraian

Menceritakan seorang perempuan cantik yang meninggal karena di tabrak oleh mobil, kemudian jenazahnya dibuang ke sebuah sungai di dekat jembatan merah oleh preman yang mengejarnya, sehingga jembatan itu menjadi angker.

Dia adalah Si Manis atau nama aslinya adalah Rosa, Rosa ingin menuntut balas pada preman-preman yang mengejar-ngejarnya dan membuang jenazahnya ke sungai di jembatan merah.

Mau tau kelanjutan ceritanya seperti apa, di simak ya kak.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bayangan di Jembatan Merah
Mentari sore menyorot Jembatan Merah yang membentang di atas Bengawan Solo. Bayangan panjang terbentang di jalanan yang mulai sepi. Rosa berlari sekuat tenaga, napasnya memburu, langkahnya terhuyung-huyung. Di belakangnya, bayangan tiga preman mengejarnya dengan geram. "Rosa! Berhenti!" teriak Bos Darto, suaranya menggema di antara lengkingan klakson mobil yang sesekali lewat. Wajahnya memerah menahan amarah. Rosa menoleh, matanya berkaca-kaca. Ketakutan tergambar jelas di wajahnya yang pucat. "Tolong... jangan..." lirihnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kau takkan bisa lari, Rosa!" Doel, salah satu preman, berlari lebih cepat, tangannya terulur hendak menangkap Rosa. "Ha ha ha... Kau takkan bisa lolos!" Bos Darto tertawa sinis, menunjukkan gigi-giginya yang kuning dan kusam. "Kau akan menjadi istri ketiga Juragan Dito!" Rosa tersandung, tubuhnya jatuh tersungkur. Air mata bercampur debu membasahi pipinya. Ia mengingat janjinya pada ayahnya, untuk menyelesaikan pendidikannya. Ia tak mau menikah dengan paksa! "Jangan...!" jeritan Rosa terdengar putus asa saat Doel menyeretnya berdiri. Ia melawan, namun tenaga preman itu jauh lebih kuat. Di kejauhan, Doel bergegas menuju mobil yang sudah menunggu. Kesempatan! Dalam keputusasaan, Rosa melihat celah. Dengan cepat dan tepat, ia menginjak kaki Bos Darto hingga terjungkal. "Aarrgh!" teriakan Bos Darto menggema, membuat Doel terhenti sejenak. Rosa memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari menuju Jembatan Merah. Namun, Doel segera mengejarnya dengan mobil. Suara deru mobil semakin dekat. Rosa yang panik tak menyadari mobil yang melaju kencang hingga akhirnya... BRUK! Sebuah benturan keras mengguncang Jembatan Merah. Suara rem mendesis panjang. Keheningan. Di markas Bos Darto, suasana tegang. Bos Darto dengan wajah pucat melaporkan kejadian tersebut pada Juragan Dito. Ia berbohong, mengatakan Rosa jatuh dari jembatan. "Hilang, Juragan?" tanya Juragan Dito dengan nada tak percaya. "Kalian tak becus!" Amarahnya meledak. "Uang yang kubayar tak sebanding dengan kegagalan kalian!" Dua tahun berlalu. Jembatan Merah berubah menjadi tempat yang angker. Kisah Rosa, gadis manis yang tewas mengenaskan, menjadi legenda. Arwahnya bergentayangan, menuntut balas dendam. Ia dikenal sebagai "Si Manis", penghuni jembatan merah yang menakutkan. Mobil berhenti di halaman rumah Mbah Wiro, sebuah rumah joglo tua yang terawat dengan baik. Titah dan Afgan keluar dari mobil, mata mereka terbelalak kagum melihat rumah tersebut. Udara sejuk dan aroma tanah basah memenuhi hidung mereka. Di Rumah Mbah Wiro "Akhirnya sampai juga," kata Titah, suaranya bersemangat. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati suasana pedesaan yang tenang. "Kau senang, Sayang?" tanya Afgan, tersenyum melihat keceriaan Titah. Ia mencium kening Titah lembut. "Sangat!" jawab Titah, tersenyum lebar. "Aku tak sabar bertemu dengan buyutku." Dari dalam rumah, suara-suara riang terdengar. Sule, ayah Titah, dan Bu Puji, ibunya, menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Pak Lik Purwanto, adik bu Puji, ikut menyambut mereka dengan senyum ramah. "Titah, apal jalan ke rumah buyutmu?" tanya ayah Sule, menguji ingatan putrinya. "Apal, Yah," jawab Titah, tertawa kecil. "Aku sudah sering diajak Buyut ke sini." "Wong sing wis suwe wae de'e iseh hapal kok," kata Pak Lik Purwanto, menambahkan dengan canda. "Memang anak pintar." Afgan membantu Titah menurunkan tasnya. "Sayang, aku akan bantu menurunkan tasmu. Kau masuk saja dulu." "Oke, terima kasih, Honey," kata Titah, mencium pipi Afgan. "Muach..." "Sama-sama, Honey," balas Afgan, mencium pipi Titah juga. "Muach..." Putri, adik Titah, mengeluh pelan melihat kemesraan Afgan dan Titah. "Dasar bucin," gumamnya, meski dengan senyum kecil. Ayah Sule meminta bantuan Ferdi dan Rizwan untuk menurunkan koper mereka. Suasana hangat dan penuh canda memenuhi halaman rumah Mbah Wiro. ---- Titah masuk ke rumah, mencari Mbah Wiro dan Mbah Parinem. Ia mengetuk pintu kamar mereka dengan lembut. "Assalamu'alaikum," sapa Titah. "Wa'alaikumussalam," jawab Mbah Wiro dan Mbah Parinem bersamaan. Suara mereka terdengar sedikit lemah. "Sinten nggih kang mas?" tanya Mbah Parinem, suaranya sedikit parau. "Emboh, diajeng. Sik tak buka lawang ya, diajeng," jawab Mbah Wiro. Suara langkah kaki mereka terdengar berat. "Nggih kang mas... eh loh, emangge Paijo neng endi ta?" tanya Mbah Parinem lagi, suaranya terdengar cemas. "Menyang pasar, diajeng," jawab Mbah Wiro. Titah mengetuk pintu lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Iya, tunggu sebentar! Siapa sih?" Mbah Wiro sedikit kesal karena terganggu. "Assalamu'alaikum, Mbah Buyut," sapa Titah lagi, suaranya terdengar lebih jelas. "Wa'alaikumussalam... Ngapura, sinten nggih?" tanya Mbah Wiro, suaranya masih terdengar ragu. Ia tampak kesulitan melihat karena tidak memakai kacamatanya. "Loh, kok kacamatane kang mas neng kene, mboten dienggo ta? Mas... Kang mas..." panggil Mbah Parinem, mengingatkan Mbah Wiro. "Nggih, sedhela, diajeng," jawab Mbah Wiro. "Ih, Mbah Buyut nih, lupa sama aku," Titah sedikit kesal, tapi suaranya tetap manis. "Loh, nduk... Panjenengan karo sinten dhateng mriki?" tanya Mbah Parinem, mencoba menebak identitas Titah. "Karo calon bojoku, Mbah Buyut," jawab Titah, tersenyum. "Niki sinten ta, diajeng? Mripatku burem dadi mboten bisa ndeleng kanthi cetha," Mbah Wiro masih bertanya-tanya, menunjukkan keterbatasan penglihatannya. Sebelum Mbah Parinem menjawab, ayah Sule masuk dan membantu menjelaskan. "Titah, Mbah. Cicit kesayanganmu." Mbah Wiro terdiam sejenak. "Haaaa... Titah? Ah, kok mboten percoyo," kata Mbah Wiro, suaranya masih ragu-ragu. Bu Puji menambahkan, "Nek mangan, nganggo kacamata, Mbah." "Oh, iya, aku lali... Loh, nang endi?" Mbah Wiro buru-buru mencari kacamatanya. Rizky, yang berada di dekatnya, bertanya, "Apa sing digoleki, Mbah?" "Kacamata, loh. Weruh mboten, leh?" tanya Mbah Wiro lagi. "Mboten, Mbah," jawab Rizky. Mbah Parinem memberikan kacamata kepada Mbah Wiro. "Oh nggih, ngapura kang mas, lali kula. Niki kacamatane." Mbah Wiro mengambil kacamatanya dan memakainya. "Ngenteni sedhela, sedhela... Inggih, punika cetha lan cetha." Titah bertanya dengan penuh harap, "Kados pundi, Mbah? Apa panjenengan saiki ngerti, Mbah?" Mbah Wiro tersenyum lebar. "Ngerti, dong, saiki. Oalah, cicitku!" Ia memeluk Titah dengan erat. Sule bergumam, "Uh... Kayaknya ada yang kangen ya, Bu, sama cicit kesayangannya?" Bu Puji tersenyum. "Iya, Yah..." Rizwan menyindir Afgan yang sampai saat itu masih diabaikan. "Oh ya, ngomong-ngomong, Mas Afgan nya dicuekin nih, Teh..." Titah tersadar. "Mas Afgan? Oh, iya, lupa. Untuk diingat-ingat. Hehe... Dimana, Mas Afgan, Rizwan?" "Di kamar teh," jawab Rizwan pelan, menjawab pertanyaan tentang keberadaan anaknya. "Hmm, kebiasaan putramu Tut, ceroboh," keluh Mbah Wiro, sambil menggelengkan kepala. Tut adalah panggilan akrab untuk ayah Rizwan. "Oh ya, Tut, ramanjenengan kapan teka?" tanya Mbah Parinem, nenek lainnya yang ikut berkumpul. "Mboten mangertos, Mbah. Rama uga dereng telepon kula," jawab Bu Puji, ibu Rizwan, dengan logat Jawa yang halus. "Ya wis, Sule," panggil Mbah Wiro kepada suaminya. "Nggih, Mbah. Enten menapa?" tanya Ayah Sule, yang ternyata bernama Sule. Rizky, cucu Mbah Wiro, terkejut. "Haaa…," serunya. Ia tak menyangka ayahnya tiba-tiba berbicara Jawa. "Ngapa leh?" tanya Mbah Parinem, penasaran. "Ayah sudah bisa bahasa Jawa?" tanya Rizky, tak percaya. Ayah Sule tersenyum. "Nya atos tiasa atuh, kunaon emangna?" jawabnya, masih menggunakan bahasa Jawa. "Nggak papa. Heheh…" jawab Rizky, sedikit salah tingkah. Mbah Wiro kemudian berkata, "Ini ada golok. Panjenengan melu mbah menyang kebun, nggih? Mbah arep njupuk ubi, singkong, nangka, durian, lan gedhang. Putuku kandha yen dheweke seneng kabeh." Mbah Wiro menawarkan Sule untuk ikut ke kebun memetik hasil bumi. "Oh, nggih, Mbah," jawab Ayah Sule. Ferdi, anak lainnya, langsung menyahut, "Ferdi ikut ya, Yah?" Mbah Wiro menjawab mewakili Sule, "Ya wis, ayo ajak putra-putra panjenengan, kecuali Titah lan calon bojone." Titah adalah salah satu anak yang tidak ikut ke kebun. "Horreeee…," sorak Rizky, Putri (kakak Rizky), dan Ferdi, gembira akan rencana ke kebun. Bu Puji menambahkan, "Putri sama Ibu dan Mbah Parinem petik sayuran dan bumbu ya." "Oke," seru Putri semangat.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Rise from the Darkness

read
8.5K
bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
36.0K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.9K
bc

TERNODA

read
198.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook