Senyum dan Air mata

1020 Kata
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayyara Nazifa Zain binti Wijaya Zain dengan mas kawin yang tersebut di atas tunai." Suara Zakki terdengar lantang mengucap ijab qobul. "Bagaimana, saksi? Sah?" "Saah!" "Alhamdulillah." "Barakallahu laka wabaraka alaika wa jama'a baynakuma fi khayr." Do'a selesai di langitkan, beberapa warga dari kampung sebelah yang hadir dalam acara tersebut satu persatu mengucapkan selamat dan mendo'akan pasangan pengantin yang baru sah menjadi suami istri itu. Tidak ada jamuan mewah, hanya air putih, singkong rebus dan juga jagung muda sebagai hidangan ala kadarnya. Lelaki tua yang terbaring lemah di atas tikar pandan itu, nampak tersenyum bahagia hingga meneteskan air mata, menyaksikan pernikahan putri yang sangat di sayanginya. "Kemarilah, Nak," pinta Pak Wijaya dengan suara lemah. Zakki mendekat, di ikuti Nayyara di sampingnya. Wanita cantik dengan balutan kebaya sederhana itu, tak henti meneteskan air mata, serayak menggenggam tangan lelaki tua itu dengan erat. "Alhamdulillah ... terima kasih ya Allah. Akhirnya Bapak bisa melihat kalian menikah," ucap Pak Wijaya dengan nafas berat. "Nak, Zakki, tolong jaga Nayyara baik-baik, jangan pernah menyakitinya. Bapak titip Nayyara ya, Nak." Lelaki tua itu semakin terlihat kepayahan. Nafasnya tersengal-sengal, hingga membuat Nayyara semakin cemas dan ketakutan melihatnya. "Bapak tidak usah kuatir, inh sya Allah, saya akan menjaga Nayyara baik-baik. Saya berjanji akan membahagiakan hidupnya, inh sya Allah." Janji Zakki dengan segenap ketulusan hatinya. Lelaki tua itu tersenyum, tidak lama kemudian ia menutup mata selamanya setelah kalimat talqin terucap dari mulutnya. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un." Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia buat Nayyara, akhirnya berubah menjadi hari yang menyedihkan baginya. Hari di mana dirinya mendapatkan seorang pendamping, di hari itu juga ia kehilangan orang tuanya. Sekarang ia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini, kecuali Zakki. Pria asing yang kini menjadi suaminya. "Ayo kita masuk ke rumah, hari sudah mulai sore," ajak Zakki serayak mengusap pundak Nayyara dengan lembut. Wanita itu perlahan bangkit, lalu mengikuti langkah Zakki menuju ke rumah, yang hanya berjarak beberapa meter saja dari pusara tersebut. Kondisi rumah sudah sepi, hanya tinggal Pak Bahar dan Bu Halimah yang masih setia menemani mereka berdua. Keadaan rumah pun sudah rapi kembali, di tengah ruangan sudah tersedia nasi dan lauk pauk seadaanya untuk mereka. "Kalian makanlah dulu, sejak pagi kalian belum makan sama sekali," ujar Bu Halimah, istri Pak Bahar. Wanita itu dengan gesit menyiapkan piring dan sendok, serta menuangkan air ke dalam gelas. "Terima kasih ya, Bu. Maaf, kalau harus merepotkan Ibu lagi," ucap Nayyara lirih. Bu Halimah tersenyum, lalu mengusap bahu Nayyara lembut serayak berkata, "Kau sudah seperti anakku sendiri, Ibu dan Bapak melakukannya dengan senang hati. Jangan bersedih, ada Zakki yang akan menjagamu, dan ada kami sebagai orang tuamu." Nayyara mengangguk lemah. Hatinya begitu terharu mendengar ucapan Bu Halimah, hingga tanpa terasa air matanya kembali menetes. Pak Bahar dan Bu Halimah sudah seperti orang tua bagi Nayyara, bahkan Bu Halimah lah yang selama ini mengajarkan pendidikan tentang perempuan kepadanya. Mereka sering di tinggal berdua di rumah, saat Pak Wijaya dan Pak Bahar ke kota untuk sebuah urusan. Bu Halimah dengan telaten mengajarkan baca tulis kepada Nayyara, sebab Pak Wijaya tidak pernah berniat menyekolahkannya karna sebuah alasan. "Kalau begitu, Ibu sama Bapak pulang dulu ya. Air untuk mandi kalian sudah Bapak siapkan di belakang. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk mengatakannya kepada kami," ujar Bu Halimah serayak berpamitan untuk pulang. Suasana rumah kembali hening setelah kepulangan Bu Halimah dan suaminya. Nayyara seperti tidak berniat untuk memakan nasi di piringnya. Wanita itu hanya diam sambil menatap piring di hadapanya. Ingatannya kembali melayang pada masa-masa kebersamaannya dengan almarhum bapaknya, sampai ia lupa jika ada Zakki yang terus memperhatikannya sejak tadi. "Mau Mas suapin?" Nayyara berjengit kaget, tiba-tiba saja Zakki sudah duduk di sampingnya dengan jarak yang begitu dekat. Wajah mereka nyaris bersentuhan, saat dengan refkek ia menoleh ke samping. "Bi-bisa makan sendiri," sahut Nayyara gugup, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah piring di depannya. Zakki tersenyum. Pria itu lalu mengulurkan tangannya, membelai puncak kepala istrinya yang kini tertutup hijab. "Makanlah, dan habiskan makanan yang ada di piringmu. Jangan lupa, baca do'a sebelum makan. Mas mau mandi dulu," ucap Zakki dengan lembut, lalu bangkit dari duduknya dan beranjak masuk ke kamar Nayyara yang kini juga menjadi kamarnya. *** Malam yang dingin dan sunyi. Hanya suara jangkrik dan serangga malam yang menemani. Di dalam kamar yang sangat sederhana, hanya beralaskan kasur lantai tipis dengan penerangan lampu minyak seadanya, pasangan pengantin baru itu duduk berhadapan dalam diam. Nayyara terus menunduk, tak kuasa menatap wajah tampan yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip. "Sudah tiga hari, dan kamu belum juga hapal ayat kursi nya? Mau di hukum apa?" tanya Zakki serayak mendekatkan wajahnya, hingga Nayyara dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat. "Tidak mau di hukum, maunya di sayang saja," jawab Nayyara malu-malu. "Masya Allah, pintarnya istriku ini merayu," sahut Zakki terkekeh pelan sambil mencubit hidung istrinya dengan gemas. "Kalau istri pintar, suami senang. Kalau istri salah itu salah suami." Suara gelak tawa Zakki langsung terdengar di seluruh penjuru kamar senderhana itu, membuat Nayyara memberanikan diri menegakkan kepalanya, menatap pria tampan yang sedang menertawakannya itu. "Mau di cium?" tanya Zakki menggoda. Nayyara menggeleng cepat, tapi wajahnya sudah merah seperti tomat saat ini. Memiliki istri polos dan lugu seperti Nayyara, menjadi kesenangan tersendiri buat Zakki. Ia seperti sedang berhadapan dengan anak PAUD yang belum mengerti apa-apa. Zakki membutuhkan kesabaran dan kekuatan ekstra untuk mendidiknya mulai dari dasar. "Siapa nama suaminya?" tanya Zakki lembut. "Rafa Fauzan Muzakki," jawab Nayyara dengan lancar. "Panggil sayangnya, apa?" pancing Zakki menahan senyum. "Mas Zakki" jawab Nayyara malu-malu. "Masya Allah, pintarnya istriku," puji Zakki, membuat Nayyara tersenyum malu. "Sekarang, nama istrinya siapa?" Zakki kembali bertanya, dengan maksud menguji. "Nayyara Nazifa Zain. Panggil sayangnya ... Yara, saja." "Yara?" beo Zakki menaikkan sebelah alisnya. Nayyara mengangguk cepat. "Hanya Mas Zakki yang boleh memanggil seperti itu, yang lain tidak boleh," tegasnya. Zakki terkekeh pelan, pria itu semakin gemas di buatnya. Ia jadi tidak sabar ingin melakukan ritual malam pertama dengan istrinya itu. Namun ia harus tetap bersabar, sampai Nayyara benar-benar faham tentang hak dan kewajiban suami istri, dan sampai wanita itu sendiri yang dengan ikhlas menyerahkan miliknya untuknya. "Mau cium," pinta Nayyara tiba-tiba. "Hah?" Jantung Zakki seperti mau copot mendengarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN