Kulirik jam di dinding kantor waktu telah menunjukkan pukul 15:45 sore, kuhela napas panjang akhirnya setelah setelah berunding panjang lebar, aku dan dewan direksi serta beberapa staf penting sepakat pada satu keputusan, dan keputusan tersebut menyangkut banyak hal, termasuk merestruktur kepemimpinan, mengalihkan beberapa posisi penting ke orang yang lebih kompeten dan pengelolaan korporasi, tentu saja semua kulakukan demi kebaikan perusahaan.
Memang dalam rapat tersebut aku dan beberapa staf yang mendukung sempat bersitegang dengan Mas Randy yang bersebrangan pendapat tentang beberapa hal namun tentu saja, yag berkuasa dia yang menang. Hal tersebut membuat suamiku terlihat makkin geram dan sakit hati. Jadi setelah rapat ditutup ia memutuskan langsung meninggalkan ruang rapat tanpa banyak bicara lagi.
Aku segera menuju lift dan langsung ke basement mengambil mobil, meluncur ke tempat di mana alamat yang tertulis di secarik kertas tadi pagi, ya, aku akan ke Laguna resort and hotel, sebuah resort mewah yang berhadapan langsung dengan sebuah teluk yang indah di pinggir kota. Sebisa mungkin kupacu kendaraan dengan cepat agar aku tidak melewatkan sedikit pun momen perselingkuhan suamiku.
Lucu, memang. Memalukan, juga.
Sesampainya di sana, kuparkirkan mobil di tempat aman, dan benar saja, mobil suamiku juga terparkir tak jauh dari mobilku.
"Hmm, cepat sekali ia sampai, mungkin wanita itu terus menerus meneleponnya sehingga suamiku tadi terlihat begitu gelisah, terus menerus menatap ponsel padahal rapat masih berlangsung." Aku bersenandika dengan kesal.
Aku menuju meja resepsionis dan bertanya nomor berapa kamar tamu yang bernama Eleanor dengan alasan aku adalah tamu yang ada janji dengannya. Resepsionis segera membuka komputer dan memeriksa daftar tamu.
"Di ujung sebelah kanan, suite room nomor 18," katanya.
"Oh baik, makasih," jawabku.
Aku segera menuju ke kamar yang di maksud dengan langkah tergesa-gesa sekaligus penasaran yang membuncah. Apakah mereka saat ini sedang memadu kasih atau ... Kepalaku mulai berdenyut membayangkan adegan menjijikkan kedua manusia tak bermoral itu.
Tak sulit kutemukan kamar mereka hanya mengikuti jalan setapak asri dengan tumbuhan bunga di kanan kiri akhirnya kutemukan kamar itu, kuhampiri dengan
Perasaan bergemuruh, kunaiki dua anak tangga dengan langkah kaki yang dibuat sepelan mungkin agar mereka tak menyadari kedatanganku, namun kamar itu terlihat lengang, tidak ada orang di sana.
"Lantas di mana suamiku dan kekasihnya?"
Tak lama kudengar suara langkah kaki mendekat dan mereka bercakap-cakap. Mereka berjalan beriringan dengan tangan yang saling terkait.
"Lama banget sih, sayang," kata di wanita.
"Maaf tadi ada rapat dadakan," jawab suara yang kukenal itu.
"Hmm rapat terus," gerutunya manja, dengan bergelayut di bahu Mas Randy
Mereka makin mendekat dan aku harus segera bersembunyi, maka kulompati dinding pembatas setinggi setengah meter dan bersembunyi di balik dinding teras kamar hotel itu.
"Sudahlah, Elea, aku lelah." Kudengar mas Randi bicara lalu tak lama dari situ mereka duduk di kursi yang hanya berbatas dinding tipis dengan tempatku bersembunyi saat ini,. Terlebih lagi dinding ini sangatt rendah mungkin dengan sedikit mengangkat kepala maka aku akan langsung terlihat, tidak ada waktu lagi untuk pindah karena mereka akan menyadari keberadaanku.
Saat ini dadaku berdegup lebih kencang, harap-harap cemas pada kejadian berikutnya, mudah-mudahan suamiku tak menyadari bau parfumku yang meski hari sudah sore aromanya masih semerbak.
"Jadi gimana dong, Mas," kata Elea.
"Aku gak tahu, aku pusing, urusan kerjaan bikin moodku hancur, aku benar-benar pusing," ujar Mas Randy.
"Padahal aku udah kangen sama Mas, aku udah nyiapin sesuatu yang spesial untuk kita," imbuhnya sambil mendekat dan merebahkan diri di bahu Mas Randy dan memeluk pinggang suamiku, aku bisa melihat dari celah celah dinding yang di beri rongga rongga sebagai ornamen.
Manja sekali wanita ini.
"Jadi, kapan semuanya beres Sayang, aku udah bosan berada dalam hubungan yang disembunyikan," tanyanya.
Suamiku terlihat menghela napas dan menerawang jauh ke ombak ombak di lautan sana.
"Entahlah ... Aku juga punya Imelda," lirihnya.
"Ah, Imelda lagi, Imelda lagi," rutuknya sambil bangkit da cemberut.
"Tolong Elea, jangan membuat posisiku semakin sulit, karirku juga terancam, aku benar-benar pusing Elea," kata Mas Randy sambil membujuk kekasihnya.
"Kamu tinggali aja, istrimu yang jelek gendut itu, bukankah aku lebih memuaskan dan menggairahkan, Mas sendiri yang bilang begitu."
Apa?! Benarkah, itu yang dikatakan suamiku pada gundiknya?
"Iya, benar, tapi bagaimana kita akan hidup Elea," lanjutnya.
"Kita punya tabungan 'kan, mari pindah dan memulai segalanya, wanita hitam dan bruntusan itu benar benar menyusahkan," oceh Eleanor.
Tak terasa bola mataku memanas mendengar ucapan keji mereka, jelek, hitam, bruntusan, gendut, dan ... ini menyakitkan.
"Iya, dia memang begitu, namun dia istriku,. Dia masih tanggung jawabku," bantah mas Randy.
"Halah, itu karena butuh uangnya kan, jangan-jangan wanita itulah yang mandul, Mas, makanya kamu sama aku aja, aku akan lahirkan bayi-bayi yang cantik?"
"Iya, Sayang."
Mereka lalu tertawa kemudian saling memagut dan b******u mesra, di kursi teras itu, di ruang terbuka, dan aku di balik dinding yang tebalnya tak lebih dari 30 cm hanya membekap mulut, menahan tangis dengan hati berdarah-darah.
Kulangkahkan kaki dengan lesu dan penuh kesedihan, meninggalkan resort yang begitu mewah ini, seharusnya aku yang di sana, di pelukan suamiku, menikmati waktu romantis dan matahari terbenam ke peraduannya, namun kejadian ini ... berhasil membuatku membenci aroma senja.
Dan ya, dia bilang aku gemuk dan jelek, lagi mandul, kata kata itu menusuk relung hatiku, terus terngiang di telinga bagai kidung kematian dan menggemuruh menciptakan ombak kemarahan yang siap meledak kapan saja.
Aku gemuk, hitam, jerawatan semua itu karena suntikan hormon dan bagian dari therapi untuk mendapatkan buah hati.
Tuhan, Teganya dia.