*
Tok ... Tok ...
Pintu di ketuk pelan lalu perlahan suamiku memanggil namaku.
"Sayang ... Ini aku Imelda."
Aku yang masih duduk di meja kerja memeriksa data perusahaan melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan merasa kesal dengan sikao suamiku yang semakin hari semakin berbuat sesuka hati. Mungkin, ia ingain balas dendam padaku yang juga berbuat sesuka hati di kantor.
Mas Randy dan wanita itu, sejak sore tadi ... Sedang aku kembali ke rumah langsung bergelut dengan komputer, setumpuk data dan laporan.
"Sayang ... ini aku ...."
Suaranya terdengar berat dan ah, mungkin dia teler. Namun, salutnya ia masih tetap ingat pulang dan berkendara dengan aman. Luar biasa.
Kuputar kunci dan kugerakkan panel pintu lalu menggesernya dan suamiku terlihat lesu dari balik pintu. Penampilannya kusut dan acak acakan.
Melihat itu, mungkin wanita lain akan prihatin dan mengira jika suami mereka amat lelah sehabis lembur mengerjakam tugas-tugas kantor. Namun lain denganku, aku seperti melihat sekelebatan aksi-aksi memadu asmara, ada selentingan teriakan dan desahan manja di sana.
Dan buru-buru kutepis bayangan buruk menyakitkan itu, meski aku tersiksa, meski aku begitu jijik dan muak, aku harus terlihat wajar dan datar datar saja.
"Hai, sayang," sapanya sambil mengulurkan tangannya, biasanya aku akan langsung mencium punggung tangan itu dengan takzim namun kali ini, maaf saja, aku tak sudi.
"Hai, dari mana saja, kamu Mas?" Balasku sambil meraih tas kerja di tangannya yang lain.
"Aku ... Aku tadi ... pas pulang ketemu teman lama dan kami mampir dulu ke bar," jawabnya berdusta.
Inginku tertawa lalu menghantam tas kulit Hugo boss ini ke wajahnya, namun, ah, sudahlah, buang tenaga.
"Oh, begitu, ya, baiklah," jawabku datar sambil mengambil sepatunya lalu kuletakkan di rak sepatu.
"Sayang ... kok kamu ga marah aku pulang terlambat biasanya kamu pasti akan marah sayang?" Ia meraih pinggangku dan merangkul tubuh ini dari belakang.
Aku masih diam tak berucap sepatah katapun sambil menunggu dia melepasku, namun bukannya malah melepas ia perlahan mencium tengkukku lalu beralih ke leher dan bahu, aku muak ditambah bau minuman yang menyeruak dari bibir dustanya.
"Lepaskan aku, kau bau alkohol, Mas."
"Oh, Maaf, maaf," katanya sambil menjauhkan tangannya lalu dengan sempoyongan ia berjalan dan menjatuhkan diri ke kursi.
"Istriku, kau benar-benar berbeda sekarang, kau menjadi wanita yang tak lagi manis dan membutuhkan lenganku," racaunya dengan nada mabuk berat.
"Terserah kau saja," jawabku.
"Bantu aku ke kamar Sayang, bantu aku melepas pakaian ini," pintanya.
Aku mendecih sendiri, sore tadi wanita lain telah membuka pakaiannya, kini aku juga harus membantunya membuka pakaiannya, memapahnya, membersihkannya, merawatnya hinggga sadar, sejak kapan aku telah menjadi pembantunya?
Hebat sekali pria yang ada di hadapanku ini. Rasa-rasanya ingin kuraih koleksi botol minuman di mini bar lalu kupecahkan di atas keningnya agar dia sadar bahwa hanya selakangannya saja modal dia mendatangi istana megah ini, tidak tahu malu!
Kumatikan komputer dan juga tivi, lalu beranjak menaiki tangga menuju kamarku.
"Sayang ...." Ia masih memanggil.
"Imel, istriku, Imelda, aku kedinginan, bantu aku," katanya dengan tangan menggapai-gapai.
"Pindah sendiri aja, Mas, kamu buka anak kecil lagi," jawabku.
"Aku ... Imel, aku ...ah." ia jatuh dan kehilangan kesadarannya.
Kuhampiri dia, kubuka kancing kemejanya dan menyelimutinya dengan selimut kecil khusus untuk dipakai di ruang TV.
"Sayang ...."
Ia terus menggumam sendiri dan aku hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya.
"Imel ... Elea ...Im ....elee ...aa," bisiknya dalam tidurnya.
Ah, benci! Sebaiknya aku segera naik ke kamar dan membenamkan diri sebelum aku kehilangan kendali dan melakukan perbuatan perbuatan ya terpuji.
Tring ...
Gawaiku berbunyi dan Kubuku segera untuk membaca pesan di WhatsAppku.
[Ini Mia, sebaiknya saya besok menyrahkan sesuatu yang akan membuat ibu tercengang heran ] bunyi pesannya.
[Tentang apa?]
[Pak Randy dan uangnya]
Wow, menarik sekali, kejutan apa lagi ini.