Tujuh

1562 Kata
Joe memijat pelipisnya yang sedikit pusing sejak 2 hari yang lalu. Kepalanya sedikit terasa penuh dan bahunya terasa lebih berat sejak ia mengantar Nazeela terakhir kali dan berakhir di atas tempat tidur wanita itu dengan tubuh yang sama-sama polos, saling berpelukan, dan ditutupi selimut. Setelah melakukannya 2 kali di malam dan pagi harinya, begitu tiba di rumah, ia sedikit menyesali kejadian itu karena merasa membuat Nazeela rugi meski ia tahu bahwa wanita itu juga menginginkkannya dan menyambut sentuhannya dengan tak kalah bergaiirah. Tapi tetap saja pemikiran bahwa ia harusnya tidak melakukan itu muncul di kepalanya. Bukan hanya untuknya, itu juga yang pertama untuk Nazeela dan ia takut kalau wanita itu akan merasa menyesal dan dirugikan karena kehilangan suatu hal yang pasti begitu berharga untuk wanita itu. Ia sudah menjaganya selama 23 tahun dalam hidupnya, lalu Joe malah mengambilnya tanpa hubungan apapun, itu membuatnya terbebani. Nazeela sudah mengatakan kalimat penenang, ketika ia mengatakan kekhawatirannya itu, dengan alasan wanita itu juga berharap Joe yang melakukannya untuk pertama kali. Flashback On Joe merapatkan tubuhnya dan memeluk Nazeela lebih erat ketika mereka mengakhiri sesi perciintaan mereka untuk yang kedua kalinya di waktu pagi itu. Meski merasa panas dan berkeringat, tapi keduanya sama-sama masih nyaman dengan keintiman itu, jadi mereka sama-sama diam dan meresapi deru nafas yang saling beradu. “Kenapa kau tidak mengatakan kalau ini juga yang pertama bagimu?” tanya Joe sambil mengusap rambut Nazeela yang menutupi wajahnya. Nazeela mengangkat wajahnya untuk bisa menatap Joe, lalu mengusap d**a pria itu dengan manja, “Memangnya kau akan membatalkan niatmu kalau aku mengatakannya atau justru melanjutkannya?” “Aku akan menghentikan niatku kalau begitu.” Ujar Joe yakin tidak yakin sebenarnya. Setelah menikmati kedekatan itu, ia bahkan menginginkan lagi dan lagi berada di dalam Nazeela, tapi mungkin jika ia mengetahui sejak awal, ia tidak akan melanjutkan niatnya. Nazeela terkekeh, “Kalau begitu, beruntunglah aku tidak mengatakannya semalam, karena kalau aku mengatakannya, pasti pagi ini kita tidak terbangun bersama di tempat yang sama.” Jelas wanita itu tanpa malu. “Astaga, Zee. Apa yang kau pikirkan sampai memberikannya pada temanmu, bukan kekasihmu sendiri?” “Kalau begitu, jadilah kekasihku Joe.” Ujar Nazeela tapi lebih seperti sebuah candaa, Joe menoyor kepala wanita itu sambil mencebikkan bibirnya, “Kau selalu bercanda seperti itu.” Nazeela menghela nafas pasrah karena Joe akan selalu menganggap semua itu sebagai candaan. Entah kapan pria itu akan peka pada perasaannya, tapi ia tetap memilih menunggu selagi belum melihat bahwa wanita lain berusaha mendekati Joe. Ia tidak ingin gegabah dengan mengatakan perasaannya pada Joe dan membuat semuanya tampak jelas, tapi nantinya pria itu malah menghindarinya karena perasaan itu. Ia tidak ingin Joe menjauh. “Joe, kenapa kau menginginkanku sebagai pengalaman pertama?” tanya Nazeela, berharap ada jawaban spesial dari pria itu. Joe berpikir sejenak, lalu menjawab dengan enteng, “Karena kau temanku. Sebelum punya kekasih, aku ingin bisa handal dalam memperlakukan wanita di atas ranjang. Aku tidak ingin kelihatan begitu kaku dan belum berpengalaman.” Nazeela menoyor kepala Joe, “Siialan, kupikir ada alasan spesial yang akan keluar dari bibirmu.” Akunya terang-teranga. Toh Joe juga tidak akan peka sama sekali, jadi untuk apa ia berusaha hati-hati mengungkapkan perasaannya. “Kau sendiri, kenapa menjadikanku yang pertama?” tanya Joe balik. “Karena kau spesial, brengsekk. Itu saja masih ditanyakan.” Desis Nazeela. “Aku serius Zee.” Ujar Joe. Nazeela tak menjawab dan pembicaraan mereka berakhir begitu saja tentang pengalaman percintaan pertama untuk keduanya. Flashback Off *** Joe keluar dari kamar sambil menggaruk-garuk kepalanya yang terasa gatal, lalu pergi ke dapur dengan melintasi ruang keluarga begitu saja sampai dua orang yang ada di sana menatap heran kepadanya sambil saling pandang dan mengangkat alis masing-masing. “Kenapa dia?” tanya Loy—anak bungsu dari Adkey dan Emma pada Kay—si anak tengah. Keduanya sedang duduk di sofa ruang keluarga dan menonton televisi. “Mana aku tahu. Dia ada di fase jomlo dan pengangguran tidak berkelas, jadi wajar kalau dia stress seperti itu. Bukan hal yang perlu dipertanyakan seharusnya.” Jawab Kay. “Memangnya jadi pengangguran itu tidak enak ya?” tanya Loy dengan bingung, Kay membulatkan matanya, lalu melemparkan bantal ke arah Loy, “Dasar gila. Dari mana kau mendapatkan otak yang sebodoh itu?” “Kenapa? Aku justru ingin pengangguran sekarang karena aku terlalu lelah bekerja dan tak bisa bertemu dengan kalian.” Ujar Loy sambil memajukan bibirnya. “Kami tidak merindukanmu. Lebih baik kau sering-sering pergi dan jarang pulang, karena kami saja sudah cukup menjadi keluarga kecil yang bahagia.” “Aku terluka mendengar kata-katamu, Kay. Bukankah itu terlalu kejam?” Joe datang dari dapur dan langsung memeluk Kay hingga gadis itu bingung, begitu juga dengan Loy yang langsung menatap sinis 2 saudara kandungnya itu. Ia mengerjap beberapa kali, lalu menoleh kanan kiri sebelum bertanya, “Kalian tidak mengidap penyakit brother complex atau sister complex kan?” “Kau gila ya.” Decih Kay sambil melemparkan bantal lagi. Loy menangkapnya dan meletakkan di sampingnya. “Kau ini sebenarnya kenapa?” tanya Kay pada Joe sambil mendorong tubuh pria itu. Joe tersenyum paksa dan menggelengkan kepalanya, lalu berseluncur dari duduknya di sofa dan turun ke lantai. Ia menutup wajahnya dengan tangan di atas meja dan menghela nafas kasar. “Kau tidak berniat memelukku gitu atau menyapa dan menanyakan kabarku?” tanya Loy dengan kesal sambil mendorong pinggang Joe dengan kakinya. Joe mengangkat kepalanya dan mengangguk, “Ya, selamat datang Loy. Semoga kau cepat pulang.” Ujarnya. Kay tertawa sementara Loy mencebikkan bibirnya dengan sinis. Padahal ia sengaja datang pagi-pagi sekali ke rumah untuk memberikan kejutan, ternyata malah ia selalu diusir. Sementara orang tuanya sedang mengurus project hotel baru seminggu belakang ini dan baru akan pulang besok. “Kau ini kenapa? Sepertinya bukan karena memikirkan status pengangguranmu. Kau menghamili anak orang ya?” Joe langsung mengangkat kepalanya, “Dari mana kau mendapatkan dugaan seperti itu? kau sudah gila.” Ujarnya. “Wajahmu terlihat begitu panik Joe, padahal Loy hanya bercanda.” Ujar Kay sambil menarik bahu Joe yang lebih condong kea rah Loy karena terkejut. Loy terkekeh melihat adegan itu, “Siall, sepertinya dia memang menghamili anak orang, Kay.” Kay masih tampak berpikir karena ia tidak begitu percyaa kalau Joe sampai benar-benar melakukan hal seperti itu. Tapi melihat bagaimana reaksinya tadi, Kay juga menjadi curiga kepada Joe dan berpikir bahwa dugaan Loy itu benar. “Itu tidak mungkin benar kan Joe?” tanya Kay. Joe menghela nafas pelan dan menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak berbuat sejauh itu.” ujarnya berusaha setenang mungkin. Ia juga yakin kalau Nazeela tidak akan hamil hanya karena hubungan 2 kali dan itupun tidak keluar di dalam. Nazeela sendiri mengatakan tidak berada dalam masa subur. Tapi sebenarnya Joe cukup khawatir karena mereka tidak mengenakan pengaman untuk kegiatan pertamanya. “Memangnya kau sudah punya kekasih, Joe?” tanya Loy. “Memangnya untuk melakukan itu harus punya kekasih? Bukankah banyak orang yang melakukan itu dengan teman, rekan kerja atau bahkan wanita di luaran sana.” “Oh, jadi kau sudah melakukannya.” Angguk Loy mengerti. Ia sudah bisa menemukan jawabannya dari cara Joe menanggapi dan kalimat abangnya itu. “Ah, sudahlah Loy, biarkan saja. Lagipula Joe juga sudah sedewasa ini. Kau juga mungkin sudah melakukannya dengan model, staff, manager, atau rekan aktingmu.” Loy menganggukkan kepalanya, “Aku tidak mau mengelak. Aku juga sudah cukup dewasa untuk itu.” “Ternyata hanya aku yang masih polos.” Ujar Kay, lalu pergi dengan gelengan tak percaya. Joe mengamati Kay, lalu menoleh menatap Loy, “Dia tidak mungkin masih polos.” Ujarnya. “Joe, ada panggilan di ponselmu.” Teriak Kay, “Dari Zee.” Joe segera berlari ke kamarnya dengan panik, sebelum Kay mengangkat panggilan dari Nazeela. Ia tahu apa yang akan Nazeela bicarakan dengannya dan ia tak ingin mengangkat panggilan Nazeela untuk sekarang ini. Tapi ternyata terlambat. Kay sudah mengangkat panggilannya duluan dan kini sedang berbicara dengan Nazeela. Terkutuklah Kay. Joe menatap gadis itu dengan tajam, terlebih ketika Kay mengatakan pada Nazeela bahwwa Joe sudah datang dan akan menyerahkan ponsel pada Joe. “Kenapa kau mengangkat panggilan di ponsel orang lain.” Ujar Joe menatap tajam Kay. Pria itu mendekatkan ponselnya ke telinga, “Hai Zee.” Sapanya. “Kau menghindariku?” tanya Nazeela dengan kekehan geli. “Tidak.” Ujar Joe dengan cepat. “Kita tidak jadi membelikan Bibi Ela kado ulang tahun?” tanya wanita itu padanya. Besok adalah ulang tahun Ela, jadi Nazeela mengingatkan bahwa Joe pernah mengajaknya untuk membeli kado. “Ah iya, aku sudah membeli kadonya Zee. Maaf ya, aku lupa mengatakannya padamu.” Ujar Joe beralasan supaya ia tidak bertemu dengan Nazeela dan merasa canggung sendiri. Nazeela terkekeh lagi dan itu membuat Joe malu sendiri karena telah membohongi wanita itu dengan cara yang seperti ini. “Baiklah. Aku tidak akan menelpon lagi, sekalipun aku yakin kalau kau belum membelikan kado ulang tahun untuk Bibi.” Dan sekali lagi, Joe rasanya ingin menenggelamkan dirinya ke dasar jurang karena ketahuan berbohong. Memangnya ia pembohong yang buruk sampai semua orang selalu menyadari kebohongannya, bahkan adiknya sendiri dan Nazeela juga. Setelah itu, panggilan mereka berakhir karena Nazeela memilih memutuskan sambungan telepon lebih dulu. Wanita itu sadar betul dengan perasaan Joe yang masih memikirkan dirinya, padahal ia sendiri sama sekali tidak keberatan telah membiarkan pengalamn pertamanya dengan Jeo. Ia senang dan sangat Bahagia. Itu perasaan yang tercermin pada Nazeela 2 hari terakhir. Sangat berbanding terbalik dengan Joe yang uring-uringan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN