Bab 1 : Desakan Omah

1262 Kata
- Demon Estanbelt - Pepatah mengatakan bahwa cinta tumbuh karena terbiasa. Ya, terbiasa bertemu, terbiasa menatap dan terbiasa saling berbicara. Mulut pria itu berdecak sinis dengan refleks saat membaca kutipan yang baru ia lihat di timeline akun media sosial. Siapa pun yang menulis kata-kata tadi, ia hanya ingin memberikan orang itu sebuah apresiasi karena kata-kata yang dibuatnya telah menyadarkannya bahwa penghianatan yang ia alami adalah andil dari dirinya sendiri yang dia tidak memiliki banyak waktu untuk tunangannya sampai wanita itu lebih dekat dengan sahabat karibnya. Prak! Suara benda yang baru saja dibanting membuatnya terkesiap. Sial, k3parat mana yang berani melakukan hal tidak sopan pada atasan— menatap ke depan, iris kelamnya menemukan si pelaku adalah Nyonya besar Estanbelt— seketika semua sumpah serapah yang akan pria itu lempar langsung ditelan kembali. Menggulirkan tatapan sedikit ke samping, dia menemukan Lucas tengah memberikan tatapan menyesal karena tidak bisa menghalau bala bencana. 'Its Oke, aku bisa menanganinya.' Menegakkan tubuh, dia segera menyambut sang Nenek— "Apa yang Omah lakukan?" Dia memprotes saat rentangan kedua tangannya ditepis wanita tua tersebut. "Jangan basa-basi. Jelaskan dengan cepat sebelum sepatu Omah melayang ke kepalamu!" Sinta Estanbelt, itu nama wanita paruh baya yang saat ini berkacak pinggang dengan sebuah tatapan seperti sinar laser mematikan. Demon melirik sebuah dokumen yang berserakan di atas meja kerjanya. "Apa itu?" Ia bertanya seraya menaikkan satu alis. Oke, ini buruk. Tidak seharusnya dia berpura-pura bodoh dalam masalah genting ini. Lihat, sekarang Nyonya besar Estan sudah membuat ancang-ancang membuka sepatunya untuk dilempar ke kepalanya. Sebenarnya, tanpa melihat isi map itu Demon sudah tahu apa yang membuat Nyonya Estan begitu murka. Ya, memangnya apa lagi kalau bukan ulah sepupu perempuannya yang tidak tahu diri dan super manja. "Mati kau Lera!" umpat Demon dalam benaknya. Demi Tuhan, ia akan menemukan dimana pun j4lang kecil itu bersembunyi dan mencincang tubuhnya sampai menjadi bagian kecil-kecil. "Kenapa kau bisa membiarkan ini terjadi, Demon?!" cecar Sinta. 'Membiarkan ini terjadi? Seolah aku mau saja!' Sebenarnya, jika ada orang yang harus disalahkan mengenai sikap bar-bar Lera, yaitu mereka berdua, sang Nenek dan Paman Aditama. Mereka berdua sejak dulu terlalu memanjakan Lera, mereka yang menanamkan gaya hidup seperti tuan puteri pada gadis itu. Akan tetapi ... Demon tidak akan bisa mengatakan semua itu kecuali dia siap kepalanya dilubangi dengan hak sepatu milik wanita tua itu. Demon menghela napas dalam sebelum mengeluarkannya cukup keras. Kalau boleh jujur, dia benar-benar tertekan. Masalah di perusahaan sudah cukup banyak dan sekarang dia juga harus mengurusi hal tidak penting seperti ini. "Aku tidak tahu kalau Lera mengambil salah satu Card dalam dompetku." aku mengatakan yang sebenarnya namun Omah justru memberikan tatapan —Jangan berbohong!— padaku. "Sungguh, Aku benar-benar tidak tahu dan tidak sadar kapan Lera mencuri Debit Card milik perusahaan. Mungkin minggu lalu? Atau ... dua hari yang lalu? Entahlah, Omah ... aku benar-benar tidak tahu." "100 juta!" sungut Sinta, tangannya yang ringkih mulai memijat belakang lehernya yang terasa sakit, "memangnya apa yang sudah anak itu beli dengan uang sebanyak itu huh? Peternakan kambing?!" Lera dengan uang seratus juta? Demon merasa tidak begitu terkejut. Ya, memangnya apa yang tidak mungkin untuk sebuah tas branded sialan? Tidak ada! Dan kalau saja dia tega, bisa saja dia menyuruh Lucas untuk mengambil rekap keuangan dua bulan lalu dan dia yakin sang Nenek akan terkena struk ringan saat melihat angka fantastis yang Lera habiskan dalam waktu satu minggu. "Oh, Tuhan ... kepalaku rasanya ingin pecah!" 'Ya, aku juga merasakan hal yang sama sejak minggu lalu.' Pada awalnya Demon memutuskan akan menangani masalah Lera nanti karena ada hal lain yang sama-sama menekannya. Erry, anak laki-lakinya merengek meminta sesuatu yang mustahil. Dia bilang sekolahnya akan mengadakan pentas sekolah untuk memperingati hari Ibu. "Ayah, pentasnya satu minggu lagi." ucap bocah itu saat mereka sarapan tadi pagi. "Aku dipilih menjadi perwakilan kelas untuk menyanyi di atas panggung." ocehnya lagi, kali ini lebih bersemangat. "Wow, great." Demon memberikan pujian sambil mengusap kepalanya. "Tapi Erry mengundurkan diri." Kalian pernah melihat piring kaca yang jatuh dari ketinggian? Pecah berkeping-keping kan? Ya, itu yang Demon lihat dari sorot mata anaknya saat itu. Semangat dalam dirinya yang menggebu semenit lalu kini telah lenyap entah ke mana. "Kenapa?" Kali ini wajahnya tertunduk, "Bagaimana bisa aku bernyanyi di atas panggung sedangkan aku tidak punya Ibu, Ayah?" gumam Erry sebelum turun dari kursi kemudian lari ke lantai atas, mengurung diri kamarnya seperti bulan lalu ketika pihak sekolah memintanya untuk membawa seorang Ibu sebagai wali saat acara camping. "Tidakkah kau tahu di mana gadis nakal itu sekarang?" Suara Sinta menarik kewarasannya kembali dari ceceran ingatan tentang tangisan Erry tadi pagi. Demon menatap Lucas yang masih berdiri di sisi Sofa. "Bagaimana?" tanyanya pada sang kaki tangan. Lucas membersihkan tenggorokannya sejenak sebelum mulai berbicara, memberitahu mereka apa yang dia dapatkan selama 4 hari ini mengintai Lera dimanapun gadis itu berada. "Selama Tiga hari ini Nona Lera sibuk dengan persiapan hari ulang tahunnya. Sebagian uang yang ia ambil dari dana perusahaan adalah untuk pesta yang akan diadakan beberapa hari nanti, dan sebagian lainnya untuk ke salon, berbelanja—" "Lera ulang tahun?" Sinta memotong ucapan Lucas, kening yang sudah dihiasi guratan usia itu semakin tertekuk. "Oh, Tuhan ... bagaimana bisa Omah lupa ulang tahun, Lera?" ia kembali menggumam. Melihat reaksi Sinta barusan, Demon dapat menyimpulkan bahwa amarahnya yang semula meletup-letup kini lenyap dalam sekejap. Ya, selalu seperti ini. Dia terlalu menyayangi Lera, dia bahkan akan langsung luluh hanya dengan suara rengekan gadis manja itu. "Jadi?" Demon kembali memastikan untuk keputusan selanjutnya apakah akan melepaskan Lera atau tetap menangkap si manja itu kemudian membuangnya ke negara tanpa peradaban. "Terus awasi Lera, Omah akan memberikan kejutan untuk ulang tahunnya yang ke 21 tahun ini. Kejutan yang tidak bisa gadis nakal ini lupakan." Tenggorokannya seakan menyempit saat mendengar ocehan sang Nenek, ini lebih seperti sebuah ancaman tidak langsung. "Sekarang katakan pada Omah, kapan kau akan membawa calon-mu ke rumah?" Sial! Topik ini lagi. Demon memutar bola mata setiap kali Sinta membahas tentang wanita dan perihal pernikahan di saat ia tahu jika momen itu sudah bertahun-tahun lalu telah kandas dan tidak akan pernah lagi terjadi sampai kapan pun. "Omah—" Demon mengerang. "Ayolah, Demon." bujuk wanita tua itu, "mau sampai kapan begitu terus? Memangnya kau tidak kasihan pada Erry?" Demon menggelengkan kepala, dia mengasihi Erry lebih besar dan lebih banyak dari siapapun, lebih dari dirinya sendiri. "Omah, kita sudah membahas hal ini dan jawabannya tetap **tidak**!" Dia memberi penekanan pada kata tidak. Sinta seakan menulikan kedua telinganya, ia mulai mengeluarkan beberapa foto gadis dari dalam tas tangannya. "Lihatlah dulu, siapa tahu ada yang cocok." Oh, Tuhan .... Apapun, Demon bisa memberikan apapun yang wanita ini minta, namun tidak untuk yang satu ini. Dia benar-benar tidak bisa memenuhi keinginannya untuk yang satu ini. "Omaaah ...." mulutnya kembali mengerang sebagai tanda protes. "Sampai kapan mau melajang huh?" Sinta masih mendesak, "kau tidak tahu sakitnya perasaan seorang Nenek yang cucu laki-lakinya dikabarkan menyukai sesama jenis!" Tck, berita sampah! "Omah tahu kalau itu tidak benar." "Lalu bagaimana dengan persepsi orang-orang yang mengatakan kalau pewaris Estan Grup adalah seorang Playboy dan dia memiliki seorang putra dari wanita yang tidak jelas? Apa yang akan kau lakukan kalau Erry sampai mendengarnya?" Demon mengatupkan bibirnya, tangan yang terkepal menunjukkan bahwa dia sedang menahan amarah. "Tidak akan kubiarkan!" Dia harus segera bertindak, siapa pun yang menulis berita menjijikan tentang dirinya atau tentang status anaknya, cepat atau lambat akan ia temukan dan lihat saja apa yang akan ia lakukan pada mereka. Kalau tidak masuk rumah sakit, minimal ia akan melakukan sesuatu agar dia tidak bisa mengarang bebas tentang kehidupan orang lain. Seorang Demon Estanbelt kejam? Itu belum seberapa kalau kalian ingin tahu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN