Kamar yang dingin tanpa pendingin udara
Alas tidur yang terasa empuk namun tak se-nyaman kasur
Udara yang masih jernih
"AAAAAAHHHHHH"
Aku terkejut dan menyadari bahwa aku memang tidak tidur di kamarku sendiri. Baiklah, sekarang aku dibawa ke hotel mana?
Tiba-tiba terdengar suara berisik di luar. Suara derap kaki yang mengarah ke kamarku.
Hawa hawa nya ga enak nih.
"DUK DUK DUK"
Suara nyaring pintu kamar yang terbuat dari kayu itu diketuk. Tapi ngetuknya sambil ngegas.
"NDORO GAPAPA NDORO? KAMI IZIN MASUK YA NDORO?"
Ndoro apaan lagi alig???
Pintu kamar pun terbuka lebar dan menampilkan muka khawatir dari para.. dayang-dayang?
Aku melongo melihat mereka masuk seperti regu pramukaku pada saat kelas 10.
"Ada yang bisa kami bantu ndoro?"
"Ndoro mau mandi?"
"Apakah ndoro lapar?"
Ini ga ada yang mau nanya "Apakah ndoro gila?" gitu?
Padahal jelas-jelas pakaianku masih lengkap pramuka dan tasku? Tas ku ternyata tepat di sebelahku. TAPI KENAPA MEREKA MENYEBUTKU DENGAN SEBUTAN NDORO?!
"Tolong, tinggalkan saya sendiri."
Mereka lalu menunduk hormat dan bergegas keluar kamarku serta menutup pintu kamar.
Aku benar-benar di masa lalu?
Semua media sosialku tidak bisa terhubung karena tidak ada jaringan, sama sekali.
Aku menjeduk-jedukkan kepala ke dinding. Sakit, rasanya sakit. Aku sedang tidak bermimpi.
"Kamu sedang apa?"
"HUAH!"
Aku kembali terkejut karena mendengar suara laki-laki secara tiba-tiba ada di dekatku. Bagaimana tidak terkejut? Kan tadi aku sendiri.
"Kepalamu memerah."
Aku memegang dahiku karena bagian itulah yang terbentur dengan kayu berkali-kali. Namun tiba-tiba ia menangkup lenganku dan mengarahkan tubuhku ke suatu tempat.
Cermin
Dan yang memerah tidak hanya dahiku. Namun mukaku secara keseluruhan!
"Apa kamu sakit?"
Lalu manusia yang aku masih tidak tau asal usulnya ini memegang dahiku. Tuhan, apakah aku dihipnotis?
"Tidak, lalu mukamu kenapa memerah?"
Aku tersadar dan langsung mengambil tasku serta beranjak keluar. Aku harus ke Candi Bajang Ratu secepatnya. Aku ingin pulang!
"Kamu mau kemana?"
Ia menahan lenganku dan membuatku terhenti.
Please deh om. Bisa ga sih cari mainan yang lebih fresh daripada gue?!
"Sorry sir. But this is not your business."
"Apa?"
Aku menghempaskan tanganku dan langsung berlari ke arah yang ku bisa. Penerangan sangat minim. Tidak ada kabel jaringan maupun listrik. Tuhan, apakah nasibku sebercanda ini?
Aku terdiam di satu titik dan terduduk lemas. Aku belum makan apapun. Aku menatap langit yang berawan dan sebentar lagi bulan besar itu juga akan tertutupi oleh awan mendung.
Aku kembali menangis.
Untuk hal yang kemarin, aku bisa melawan karena lawanku adalah seorang manusia.
Untuk hal ini, lawanku adalah semesta. Lawanku adalah takdir.
Bagaimana aku melawan sebuah takdir?
Apakah ini hukuman?
"Akhirnya ketemu. Kakanda, ia disini!"
Teriak seorang perempuan namun tidak begitu nyaring. Dia juga menggunakan pakaian bangsawan. Itu bisa terlihat karena dia sangat mencolok dibanding orang-orang yang kusebut dayang-dayang tadi.
"Ikut aku ke kamarmu dulu ya. Situasimu saat ini cukup berbahaya."
Aku hanya diam. Aku pasrah kepada takdir. Aku menyerahkan semuanya kepada takdir. Namun, jika ini akan menjadi hari yang terakhir, izinkan aku berpamitan kepada papa, mama, dan teman-temanku sebentar.
"Ada yang luka?"
Ck, dia lagi.
Karena sudah terlalu malas, aku meninggalkan dua manusia yang kurasa kakak-beradik itu dan menuju sendirian ke dalam kamar tempat awal aku terbangun tadi
Dua kakak-beradik itu pun mengikutiku dari belakang serta dayang-dayangnya. Aku persis seperti tawanan yang akan dihukum mati. Aku langsung masuk ke ruangan tempatku terbangun tadi.
"Nertaja, sampai disini saja. Kakanda yang akan mengurus orang ini"
"Baik kakanda."
Aku yang mendengar ucapan mereka di luar hanya bisa menghembuskan napas pasrah terhadap apa yang akan terjadi padaku malam ini. Mungkin akan lebih parah dari yang terjadi dengan Kak Teddy kemarin.
Ia masuk tanpa mengetuk pintu. Menatapku yang benar-benar sudah mengenaskan. Rambut acak-acakan, mata sembab, ingusan, definisi menyedihkan dapat kau temukan padaku saat itu.
"Jadi, namamu siapa?"
"Kalau kamu tau, saya boleh ke Candi Bajang Ratu?"
"Tidak."
Akupun bungkam.
"Jika kamu tidak mau menyebutkan nama aslimu, maka aku juga tidak punya alasan untuk melindungimu disini."
Rolling eyes mode: on
"Mengapa saya memerlukan perlindunganmu?"
"Bukankah aku yang seharusnya bertanya mengapa ada manusia sepertimu yang tidak menghormati rajanya?"
Aku langsung menatap orang itu lekat-lekat.
Ah jadi benda emas di kepalanya itu mahkota? Sangat nyentrik.
"Kamu raja? Seharusnya saya mengenalmu. Siapa kamu?"
Tanyaku tanpa sopan santun di depan orang yang mengaku sebagai raja ini.
"Aku adalah Maharaja Sri Rajasanagara. Sekarang bisa aku tau namamu siapa?"
Fffuuuuuuuuu. Aku tidak hafal pelajaran sejarah dengan baik. Anak MIPA can't relate. But,
"Raja..?"
Ah, jadi aku memang terlempar ke ratusan tahun yang lalu?
Aku benar-benar menahan tangisku di depan orang ini sebisa mungkin. Itu lebih baik daripada ia terkejut karena tiba-tiba aku menangis dan mengatakan bahwa diriku berasal dari masa depan.
Takdir, bercandamu ga lucu.
"Iya, aku adalah Raja. Siapa namamu?"
Aku mencoba tersenyum simpul dan mengulurkan tanganku, seperti ajaran beberapa temanku ketika mereka bertemu daddy baru mereka.
"Dyah Ajeng Ratu. Nice to meet you om."
"Ratu?"
"Iya, Ratu."
Aku mengagguk-anggukan kepalaku dengan agak sombong dan masih menunggu tangannya untuk berjabat tangan.
"Ratu darimana yang kelakuannya seperti kamu? Akan ku rebut kekuasaan ayahmu dan menjadikanmu milikku agar kamu tau tata krama."
Lalu orang yang namanya-susah-disebut ini mengeluarkan ekspresi dingin. Wah, lalu aku harus bagaimana? Ajaran teman-temanku jika bertemu om-om sudah ku terapkan. Tapi kenapa hawanya makin dingin begini?
Tapi memang sih, tidak ada yang langsung berhasil pada percobaan pertama kecuali kamu sedang beruntung.
"Ayah saya bukan Raja dan ibu saya juga bukan permaisuri. Namun anaknya adalah Ratu. Paham tidak?"
"Kamu..."
"Iya?"
Ada jeda beberapa detik dan membuat keheningan.
"Kamu adalah putri yang disembunyikan oleh orang tuamu?"
*speechless*
"Atau, apakah ada kerajaan yang membuangmu, rahasia kelahiran?"
"Hah?"
"Apakah kamu memiliki orang tua angkat yang baru memberitahumu di usia tertentu dan mengatakan bahwa kamu adalah anak Raja?"
Aku menggeleng pelan karena bingung mau menjelaskannya bagaimana.
"Ah, atau kamu, putri yang terbuang? Kamu anak ayahku?"
(": ????
"Yah intinya nama saya Ratu. Cepat tanyakan hal lain agar saya bisa pulang."
Terserah dia menganggapnya bagaimana. Intinya aku sudah memberi tahu bahwa namaku Ratu.
"Pulang kemana?"
"Rumah. Memangnya apalagi?"
"Bukankah ini sudah menjadi rumahmu?"
Aku kembali ternganga dengan ucapannya barusan. Mengapa ada orang seperti ini? Tidak bisakah aku melambaikan tangan ke kamera menandakan bahwa aku sudah menyerah?!
"Bersiaplah untuk makan malam. Kamu pasti belum makan karena terjatuh bersamaku tadi siang."
Iya, pergilah nyamuk, pengganggu.
Lalu ia keluar dari kamarku. Aku masih tidak bisa percaya ini.
Orang sepertiku? Ke masa lalu?
Dari sekian banyak sejarawan yang ingin ke masa lalu untuk menyelidiki masa lalu,
Kenapa harus aku? Seorang anak perempuan yang buta dengan sejarah?
Sepertinya aku memang salah pilih jurusan.
"Ndoro?"
Karena terlalu shock dan masih setengah sadar dengan keadaan, aku jadi tidak sadar ada yang masuk.
Begini, aku tau hidupku berantakan. Tapi siapa yang menyangka hidupku akan seberantakan ini?
"Ah iya, kenapa?"
Ucapku yang tersadar dengan kehadiran dayang-dayang yang tiba-tiba menepuk pundakku.
"Yang Mulia Maha Raja meminta Ndoro untuk segera menghadiri makan malam."
Aku yang masih terlihat seperti orang linglung mencoba menyadarkan diri berkali-kali meskipun pada akhirnya aku tetap tidak fokus.
"Ndoro."
Aku yang awalnya sudah di depan pintu menoleh lagi ke arah dayang-dayang yang memanggilku.
"Apakah ndoro tetap akan menggunakan baju itu? Mengingat baju itu---"
"Ah iya, saya lupa. Apakah ada baju untuk saya?"
Dayang itu berlalu sebentar dan mengambilkanku baju. Aku kembali terduduk lemas karena masih tidak mempercayai semua yang terjadi.
Gila beneran ini gue?
"Ini Ndoro, bajunya. Apakah perlu hamba bantu, Ndoro? Ndoro masih terlihat kurang sehat."
Aku mengangguk dan masih mencoba mengembalikkan kesadaranku. Ini semua lebih buruk daripada ketika aku tiba-tiba remidi fisika meskipun aku tidak pernah mengalaminya.
Tiba-tiba, di benakku terbesit sebuah pertanyaan.
"S-Sekarang tahun berapa?"
"1276 Saka Ndoro, ada yang bisa hamba bantu ndoro?"
Aku tercengang.
Aku benar-benar melakukan Time Traveling.
Ini gila.
Akhirnya aku menggunakan baju yang dipinjamkan dari err, kerajaan? Dibantu dengan dayang-dayang yang tadi membawa baju ke kamarku.
"Ndoro, rambutnya mau disanggul apa tidak?"
Aku lalu melihat diriku sendiri di cermin.
Ini freak sih. Freak banget. Freaking freak.
Lalu aku mencoba menyatukan satu rambut dengan rambut yang lain. Dayang-dayang tersebut menyiapkan benda-benda untuk menyanggul rambutku. Tepat ketika aku mengangkat rambutku yang di sebelah kanan, aku melihat masih ada sign dari Kak Teddy kemarin malam.
Gila, ini gila.
Aku panik dengan spontan dan mengejutkan dayang-dayang yang membantuku berpakaian.
"JANGAN, NGGA JADI. SAYA SUKA RAMBUT LURUS SAYA."
Dayang-dayang itu nampak terkejut namun mencoba untuk bersikap biasa tapi aku yakin pasti dia merutuki ku sebagai alien.