Rusdi memandangi perempuan yang di tunjuk oleh pengemudi taxi tersebut.
“Dia anakku,” ujar Rusdi cepat.
"Terima kasih karena telah membawanya lagi ke sini. Aku sudah cemas dari tadi menunggunya. Ia masih sakit."
Dengan di bantu pengemudi taxi, Rusdi membawa Mela ke dalam rumah mereka. Kemudian Rusdi menanyakan detail kejadian pada pengemudi tersebut, lalu ia memberikan ongkos taxi beserta tips kepada pengemudi tersebut karena telah berbaik hati mengantarkan Mela kembali pulang ke rumah.
Rusdi memang seorang Ayah, namun ia bisa menjadi Ibu dalam waktu yang bersamaan. Itu adalah janji yang ia ucapkan pada almarhumah istrinya. Ia akan menjaga Mela sampai Mela mendapatkan kebahagiaannya. Rusdi tidak lagi memikirkan dirinya, Rusdi selalu fokus pada hidup dan kebahagiaan putrinya.
“Mel,” Rusdi memanggil ketika tubuh Mela mulai bergerak.
“Mel... kau baik-baik saja?” tanya Rusdi kemudian ketika Mela sudah membuka matanya.
“Ayah...,” ucap Mela dengan suara yang lemah.
“Ya, Mel. Ayah di sini.” Rusdi membelai lembut kepala Mela.
“Apa yang kau rasakan? Masih pusing?” tanya Rusdi lagi.
Rusdi kemudian membantu Mela yang berusaha untuk duduk. “Kalau masih pusing, tidur saja,” ucap Rusdi.
“Tidak, Yah. Sudah tidak pusing lagi,” Mela duduk bersandar di kepala ranjang. Mela menatap Rusdi sebentar, lalu ia kembali menundukkan kepalanya.
“Yah, siapa yang bawa Mela pulang?” tanya Mela masih dengan kepala tertunduk.
“Pengemudi taxi online yang kau sewa untuk kesana,” jawab Rusdi.
“Kenapa tidak bilang sama Ayah jika kau mau kesana? Siapa yang memberitahukan tempatnya?” tanya Rusdi.
Mela mengangkat kepala, memandangi Rusdi dengan tatapan sendu.
“Ayah sudah tau tempatnya, ‘kan? Ayah tau dimana Mas Rayan dikuburkan. Kenapa Ayah berbohong?” Mela berkata dengan mata yang berkaca-kaca. Ia cukup kecewa dengan Rusdi yang membohonginya.
“Mel... Ayah tidak berniat berbohong. Ayah memikirkan kondisimu yang belum terlalu pulih. Hanya itu!” jawab Rusdi.
“Mela tidak akan pernah pulih, Yah! Tidak akan pernah! Meskipun tubuh ini nanti sembuh, tapi hati Mela tidak,” jawab Mela.
Rusdi mendengarkan curhatan Mela, bisa saja seperti itu, mengingat besarnya cinta Mela pada Rayan. Tapi untuk menyatakan hati tidak pernah sembuh, Rusdi merasa sedih juga. Masa depan Mela masih panjang, jika ia berkata seperti itu, apakah Mela akan memutus masa depannya karena kehilangan Rayan? Rusdi tidak bisa menerimanya.
“Setidaknya jika kau kesana, kau bisa bersama Ayah. Ayah akan mengantar kau ke sana,” ucap Rusdi lagi.
“Ayah saja tidak jujur dari awal, bagaimana Mela bisa mengandalkan Ayah?”
Rusdi menghela nafasnya mendengar perkataan Mela. Benar, ia telah berbohong dan ia merasa bersalah karena itu.
“Maafkan Ayah. Ayah tidak akan mengulanginya lagi. Mulai sekarang... jika mau kemana-mana, bilang sama Ayah. Jika kau tidak bisa pergi sendiri seperti tadi... Ayah yang akan mengantar. Ayah tidak mau kejadian ini terulang lagi. Untung kau mendapatkan pengemudi yang baik... jika dia orang jahat bagaimana? Ayah tidak mau terjadi apa-apa pada anak Ayah,” ucap Rusdi yang diikuti anggukan kepala oleh Mela.
“Sekarang... makan dulu, ya? Anak ayah belum makan, ‘kan?” Rusdi memberikan sepotong roti pada Mela, roti yang ia bawa siang tadi.
**
Sudah tiga minggu lebih Mela tidak masuk atau cuti bekerja. Awalnya ia mengambil cuti selama dua minggu dengan alasan cuti karena menikah. Cuti yang dua minggu itu terpaksa di perpanjang karena kecelakaan yang Mela alami.
Besok sudah waktunya Mela kembali bekerja. Kondisi tubuhnya sudah membaik, namun seperti yang pernah Mela ucapkan, sakit di tubuhnya bisa saja sembuh namun sakit di hatinya tidak akan pernah sembuh.
Seperti itulah keadaan Mela sekarang. Hatinya masih belum sembuh akibat kehilangan Rayan untuk selama-lamanya, hati yang sudah terlanjur retak dan rapuh itu memang butuh waktu yang sangat lama untuk kembali utuh, dan bisa saja tidak akan pernah utuh karena si pemilik hati enggan untuk memperbaikinya.
“Mela berangkat kerja, Yah.” Gadis itu berpamitan pada Rusdi yang juga bersiap-siap untuk berangkat kerja.
“Hati-hati, jangan lupa makan siang. Ayah tidak mau kau kembali sakit.” Rusdi menasehati Mela untuk kesekian kalinya.
Mela berangkat kerja dengan mobil jemputan yang sudah disediakan oleh Bank tempat ia bekerja. Karyawan yang memiliki kendaraan pribadi boleh tidak menggunakannya. Biasanya mereka yang ingin pergi ke tempat lain setelah bekerja akan malas menggunakan fasilitas mobil jemputan tersebut. Mela yang memang tidak berniat untuk pergi kemanapun setelah bekerja selalu menggunakan fasilitas kantor itu untuk ia berangkat dan pulang bekerja.
“Sudah lama tidak berjumpa, apa kabarnya, Kak?” sapa Aqil. Ia turun dari mobil khusus untuk membukakan pintu untuk Mela. Usia Aqil baru dua puluh tahun, ia bekerja sebagai sopir sejak setahun yang lalu, malamnya Aqil kuliah. Melihat Aqil, Mela seperti melihat dirinya beberapa tahun yang silam. Bekerja keras untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
Mela mematung sebentar ketika Aqil membukakan pintu depan untuk ia duduki. Seketika Mela teringat dengan kecelakaan yang ia alami satu bulan yang lalu, ia duduk juga duduk di kursi depan waktu itu.
“Maaf Aqil, kakak duduk dibelakang saja.” Mela menolak tawaran Aqil untuk duduk di samping kursi mengemudi. Aqil lalu menutup pintu itu dan membuka pintu belakang untuk Mela.
“Maaf ya, Qil,” ucap Mela lagi.
“Tidak masalah, Kak,” jawab Aqil sambil tersenyum. Pemuda itu lalu menutup pintu Mela dan masuk lagi ke mobil untuk menjemput karyawan yang lain.
Setibanya di kantor, Mela di sambut hangat oleh teman-teman nya. Mereka semua mensupport Mela supaya tetap semangat melanjutkan hidup. Ada haru yang Mela rasakan melihat perhatian tulus yang mereka berikan. Benar yang dikatakan Rusdi kalau Mela tidak sendirian. Masih banyak orang di sekeliling Mela yang menyangi dan perhatian kepadanya.
Kembali bekerja membuat Mela melupakan kesedihan yang ia rasakan, untuk sesaat ia merasa kembali ke masa lalu, masa dimana ia belum bertemu dengan Rayan. Mela begitu bersemangat bekerja hingga ia tidak menyadari sudah waktunya istirahat dan makan siang.
Siska dan Fany bekerja di luar hari ini, kebetulan Bank mereka membuka gerai di sebuah mall. Mereka ditugaskan untuk berada di sana sekalian promosi tentang produk baru yang diluncurkan oleh Bank mereka. Sementara Deni jam istirahatnya mesti bergantian dengan Risa, karena mereka berhubungan langsung dengan customer.
“Gak istirahat, Mel?” Teguh, atasan Mela yang kebetulan lewat mengingatkan Mela kalau jam istirahat sudah lewat.
“Tanggung, Pak. Ini sebentar lagi selesai.” Mela mengangkat kepala lalu melanjutkan kembali pekerjaannya setelah menjawab perkataan Teguh.
Teguh menghampiri Meja Mela, ia lalu menutup laptop yang sedang Mela pakai.
“Pekerjaan itu tidak akan pernah habis, jika sudah waktunya istirahat gunakan jam istirahat itu sebaik mungkin. Setelah itu, boleh kembali lanjutkan pekerjaan,” ucap Teguh.
Mela lalu mengiyakan ucapan Teguh, ia juga teringat dengan pesan Rusdi yang miminta ia untuk tidak terlambat makan.
“Mau makan siang bersama?” ajak Teguh.
Mela terdiam sebentar, atasannya itu tidak pernah mengajak ia untuk makan siang bersama sebelum ini. Komunikasi antara mereka juga sebatas pekerjaan. Teguh adalah type atasan yang tidak terlalu banyak berbicara di kantor, tapi ia cukup perhatian kepada semua karyawannya.
Mela mengangguk mengiyakan, terlalu segan untuk menolak ajakan Teguh di hari pertama ia bekerja setelah hampir satu bulan ia mengambil cuti. Keduanya lalu berjalan bersisian menuju kantin yang terletak di sebelah gedung kantor mereka.