Teguh Anggara

1139 Kata
“Saya ikut berduka cita,” ucap teguh setelah mereka mendapatkan meja kosong di kantin tersebut. Rata-rata yang datang ke kantin adalah orang-orang yang sudah mereka kenal. Sebagian dari mereka adalah pegawai kantor yang ada di samping kantor Mela. Di jam makan siang seperti ini, kantin tersebut cukup ramai di kunjungi oleh karyawan yang hendak makan siang. Mela tersenyum kecil, ia tidak harus menjawab ungkapan duka cita yang disampaikan Teguh karena akan kembali mengingatkan ia pada luka yang sedang ia alami. “Saya bisa merasakan apa yang kau rasakan saat ini,” ungkap Teguh lagi. Kali ini Mela merespon ucapan Teguh dengan menatap wajah atasannya itu. Merasakan yang seperti apa yang dimaksud Teguh? Kehilangan orang yang dicintai atau merasakan kecelakaan yang pernah ia alami? Mela menautkan kedua alis matanya. Jika memang Teguh kehilangan orang yang dicintai, tentu rasanya tidak sesakit yang Mela rasakan. Rayan pergi untuk selama-lamanta tepat di satu hari usia pernikahan mereka. Bagi Mela, tidak ada yang bisa menyamakan kesedihan yang ia rasakan sekarang. “Maksud Bapak?” Mela bertanya. Dua Soto Kwali beserta dua piring nasi putih diantarkan oleh pelayan kantin ke meja Teguh dan Mela, masing-masing mengambil bagian mereka. Keduanya lalu makan siang dengan lahap, Mela telah melupakan petanyaan yang ia lontarkan tadi karena begitu menikmati soto pemilik kantin yang sudah lama tidak ia makan. Tapi tidak dengan Teguh, ia masih ingat namun ia tidak berniat untuk menjawab. Mela kembali melanjutkan pekerjaan setelah menghabiskan waktu makan siang bersama Teguh di kantin sebelah. Mela cukup beruntung dengan posisi yang ia tempati sekarang, berbeda dengan empat orang temannya yang berhubungan langsung dengan customer. Beberapa menit kemudian, Teguh kembali datang menghampiri Mela di meja kerjanya. Mela menjadi salah tingkah dengan perhatian atasannya yang tiba-tiba itu. Mela sempat berfikir yang tidak-tidak pada Teguh karena tidak biasanya Teguh seperti itu. Jikapun ada pekerjaan yang akan Mela lakukan, paling Teguh akan mengabarinya lewat Email kantor atau lewat interkom untuk mengatakannya langsung, tidak pernah Teguh datang menghampiri langsung ke mejanya seperti ini. “Mel,” ucap Teguh. “Ya, Pak.” “Begini... Rayan’s Studio akan memperbaharui kontrak kerja mereka bersama kita terkait pergantian pimpinan perusahaan mereka. Apa kau bisa....” Teguh mengentikan ucapannya. “Bisa,” jawab Mela langsung. Sekarang Mela paham kenapa Teguh mendadak perhatian pada dirinya, ternyata Teguh mau menyampaikan sesuatu hal yang menyangkut pekerjaan yang secara langsung juga terhubung pada kehidupan pribadi Mela, dan Mela harus profesional untuk itu. Ia berusaha untuk tidak mencampuri urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. “Apa kau yakin? Kalau tidak aku akan menggantinya dengan Agus,” tanya Teguh lagi. “Saya bisa, Pak! Agus sudah terlalu banyak membantu pekerjaan saya selama cuti. Kasihan dia jika harus menggantikan saya lagi,” ucap Mela. “Baiklah... jika kau telah menyetujuinya, saya akan aturkan jadwal untuk kalian bertemu. Nanti jadwalnya akan saya kirim ke email.” Teguh memberi tahu dan kembali masuk ke ruangan nya. Sepeninggal Teguh, Mela merenung... siapa yang menggantikan Rayan di posisinya? Siapa yang akan bertemu dengan dirinya besok? Tetiba saja Mela membayangkan, jika saja mereka tidak mengalami kecelakaan dan Rayan tidak meninggal, tentu Mela akan sering berkunjung ke Rayan’s Studio untuk bertemu dengan suaminya. Kemudian, Mela menarik nafasnya dalam, itu adalah sesuatu hal yang tidak boleh Mela bayangkan, Rayan sudah meninggal dan impian itu sudah terkubur bersama suaminya. Namun jauh di dalam hati Mela, Rayan tidak akan tergantikan. Ia akan tetap menjadi seseorang yang Mela cinta, satu-satunya yang Mela sayang sampai kapanpun. Mela lalu kembali mengalihkan pandang pada laptop yang ada di depannya. Ia kembali memfokuskan diri untuk melanjutkan pekerjaan. ** Aqil tersenyum lebar ketika Mela datang menghampiri. Dua orang karyawan lainnya sudah ada di dalam mobil sebelum Mela datang. “Masuk, Kak,” sambut Aqil dengan semyum yang tidak pernah putus di wajahnya. Aqil adalah anak yang periang dan sopan. Sejak ia pertama bekerja, ia sudah bisa menarik hati seluruh karyawan yang ia bawa. Pemuda itu selalu tampil ceria dan energik dan mudah dekat dengan orang lain. Tidak jarang mereka selalu memberi Aqil uang tips setiap mereka gajian. “Terima kasih,” jawab Mela sembari membalas senyum Aqil. “Kita tunggu Bu Deswita dulu ya, Kak. Yang lain katanya tidak langsung pulang,” ujar Aqil memberi tahu. Mela dan dua orang karyawan lain menunggu dengan sabar. Deswita adalah bawahan langsung dari Teguh, ia selalu ikut dengan mobil karyawan setiap pergi dan pulang bekerja, karena Bu Deswita tidak bisa membawa kendaraan, sama dengan Mela. Tidak lama kemudian, orang yang mereka tunggu datang. Bu Deswita duduk di samping Mela. Ini pertama kalinya mereka duduk berdekatan karena biasanya Mela selalu duduk di depan bersama Aqil. “Pak Teguh sudah menyampaikan berita?” Deswita membuka percakapan, wanita itu menoleh pada Mela yang duduk disampingnya. Merasa di ajak bicara, Mela melakukan hal yang sama, menoleh pada Deswita. “Mengenai apa, Bu?” tanya Mela sopan. “Mengenai perubahan MOU dengan perusahaan Rayan’s Studio, milik mantan suami kamu,” ucap Deswita. “Bukan mantan, Bu, tapi almarhum. Dia tetap suami saya.” Mela meluruskan. “Sama saja,” balasnya ketus. “Tidak sama,” bela Mela. “Terserah, deh! Besok jadwal pertemuan dengan pemimpin Rayan’s yang baru. Sebelum pulang tadi Pak Teguh meminta saya untuk ikut bersamamu ke sana. Dia ngotot, kau perlu ditemani, padahal pekerjaan saya sedang banyak.” Deswita masih berbicara dengan nada ketus, kelihatan sekali ia tidak suka dengan yang perintah yang diberikan oleh Teguh. “Jika Ibu sibuk, saya tidak masalah pergi sendiri. Nanti biar saya konfirmasi lagi dengan Pak Teguh,” jawab Mela. “Tidak usah! Pak Teguh mana bisa dibantah. Nanti saya pula yang dibilang ngadu-ngadu ke kamu.” Deswita langsung memalingkan muka dari Mela. ‘Bukankah memang kenyataannya dia yang mengadu?’ ucap Mela di dalam hati. Mobil yang dikendarai oleh Aqil sudah memasuki kawasan rumah Deswita, wanita yang usianya hampir empat puluhan tapi masih melajang itu, turun tanpa berkata apa-apa lagi setelah pembicaraan mereka tadi. Selanjutnya Aqil membawa mobilnya menuju rumah Mela. Mela melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan jam lima sore, Rusdi biasanya pulang jam enam sore. Mela berencana akan memasak untuk makan malam mereka sambil menunggu kepulangan ayahnya. Ternyata Rusdi lebih dahulu sampai di rumah dari Mela, pria itu sedang berbincang-bincang dengan Pak Iwan, tetangga mereka di teras rumah. Melihat kedatangan Mela, Pak Iwan langsung menyapa. “Pak Iwan mengantarkan makanan, ada hajatan di rumahnya.” Rusdi memberitahu Mela. Mela mengucapkan terima kasih dan cukup bersyukur karena ia tidak jadi memasak untuk makan malam. Rusdi lalu menyuruh Mela untuk memindahkan makanan tersebut ke dalam lemari penyimpanan. Usai Mela mandi dan membersihkan diri, sambil menunggu jam makan malam Mela membuka ponselnya. Ada email yang dikirim Teguh yang belum sempat Mela baca. Mela lalu membuka email tersebut. Disana tertulis jadwal pertemuan Mela dengan Pimpinan Rayan’s Studio yang baru, nama yang tertulis di sana adalah nama yang sudah Mela kenal. Arreyno Savian Alteza. Nama kakak laki-laki Rayan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN