“Saya Dafa Tristan Kastara, pernah mendengarnya?” tanya Tristan dengan bahasa Indonesia yang membuat Karina bereaksi terkejut.
“Senang bertemu dengan anda, Karina cucu Briyan Sutoyo,” ujar Tristan.
Karina menyipitkan matanya menatap Tristan dari ujung kepala hingga kaki. Dia langsung memasang pertahanan dan sikap defensive setelah mengetahui siapa pria di hadapannya ini.
“Ada perlu apa anda kemari?” tanya Karina. Dia langsung menuju pada alasan kenapa pewaris tahta perusahaan kakeknya ada di acara ini.
Tristan menyunggingkan senyum miring karena dia tidak mengira Karina akan sangat to the point. Tapi mengingat bagaimana sifat dan sikap berdasarkan informasi yang dia dapat, maka pernytaaan Karina menjadi terdengar wajar.
“Ekhm!” Tristan berdehem lalu kembali menatap Karina dengan wajah yang lebih mengintimidasi. Raut wajah yang dia pelajari dari Briyan untuk menghadapi orang lain dalam urusan tertentu.
“Baiklah kalau anda ingin langsung mengetahui keberadaan saya di sini.” Tristan menjeda kalimatnya, membuat Karina menunggu dengan penasaran. “Saya ingin anda menjadi istri saya,” sambung Tristan.
Sementara itu Karina langsung terperangah tidak percaya. Dia hampir saja melayangkan tangannya untuk menampar pria di hadapannya ini. Menurutnya Tristan sudah sangat lancang dan gila dengan perkatannya itu.
“Sepertinya anda sudah gila,” ujar Karina. Kini wajahnya berubah menjadi kaku dengan tatapan pernuh ketidaksukaan pada Tristan.
Tapi Tristan justru terus menyunggingkan senyum tipis yang tidak sampai pada matanya. Senyum formalitas yang kerap dia gunakan dalam sehari-hari.
“Anda tidak ingin mengetahui alasan saya ingin menjadikan anda sebagai istri?” tanya Tristan. Dia kini menatap Karina dengan lebih santai, kedua tangannya bahkan dia masukkan ke dalam saku celananya.
Karina kembali menyipitkan matanya lalu berdecak. “Saya tidak tertarik. Dan saya tidak akan menerima tawaran anda itu. Jadi lebih baik anda kembali dan jangan pernah menemui saya lagi,” tandas Karina. Dia ingin menegaskan penolakannya.
“Anda masih bisa mempertimbangkannya,” timpal Tristan.
Karina menarik napas dan menghelanya, bersamaan dengan itu dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. “Asal anda tahu, saya sudah memutuskan untuk tidak terlibat lagi dengan keluarga kakek. Saya menghormatinya, sangat, tapi saya tidak akan pernah mau kembali dalam pusaran perebutan kekuasaan apalagi sekarang perebutan warisan. Itu sungguh memuakkan,” jelas Karina panjang lebar.
Tristan mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Dia paham alasan Karina sejak tahu bagaimana liciknya anak-anak Sutoyo kecuali ibu dari Karina. Tapi dia juga tidak akan melakukan ini, meminta Karina menjadi istrinya kalau bukan karena demi menyelamatkan banyak orang dari pusaran yang Karina sebutkan tadi.
“Bagaimana jika ini demi menyelamatkan perusahaan kakek anda?” tanya Tristan, dia mengeluarkan satu senjatanya. Menjadikan Briyan sebagai umpan.
Karina menghela napas lagi. Kini dia dengan tangan terlipat di depan d**a yang membuat Tristan hilang fokus, sebab d**a Karina menjadi semakin menonjol karena posisi ini.
“Saya tidak akan peduli soal itu. Karena perusahaan kakek sudah ada di tangan anda. Maka anda yang harus bertanggung jawab... jangan membawa saya untuk ikut campur,” jawab Karina dengan lugas. Dia juga tetap menolak.
“Tapi itu tetap perusahaan yang didirikan oleh kakek anda—“
“Keputusan saya tetap sama,” potong Karina dengan tajam. “Anda tidak akan mendapatkan jawaban yang anda inginkan dari saya. Pembicaraan kita juga selesai sampai di sini. Lain kali, jangan pernah temui saya jika masih membawa urusan harta keluarga Sutoyo,” sambungnya.
Setelah mengatakan itu, Karina membalikkan tubuhnya dan menaikkan gaunnya untuk melangkah dengan cepat menjauhi Tristan. Sedangkan Tristan sendiri masih berdiri di posisinya sambil mengamati sosok Karina yang akhirnya menghilang di balik tembok.
Dia sengaja membiarkan Karina pergi karena pertemuan pertama jelas tidak akan mendapatkan jawaban yang dirinya inginkan. Semua ini hampir sama seperti cara kerja bisnis, tapi mungkin ini akan lebih rumit.
///
Tristan terus mengamati tempat dimana Karina berada saat ini. Cucu Briyan itu kini tengah duduk bersama teman-temannya dengan wajah lesu. Tidak ada sinar bahagia di wajahnya seperti temannya, bahkan musik DJ yang terdegar asik di telinga tidak bisa membangkitkan semangat perempuan itu.
“Udah ketemu Karina?”
Tristan menatap Anwar yang akhirnya muncul setelah asik bergoyang dengan beberapa model. Dia dengan sifatnya yang supel sudah berhasil mendapatkan kontak wanita-wanita itu.
“Hm,” jawab Tristan hada deheman.
“Di mana? Terus gimana jadinya? Dia langsung nolak, ya?” tanya Anwar bertubi-tubi.
Tristan meneguk whisky di gelas sampai habis sebelum menjawab pertanyaan Anwar. “Karina ada di meja arah jam 2. Dia langsung nolak.” Katanya.
“Woah... cantiknya nambah pakai baju merah, anjir!” seru Anwar yang sekali lagi terpesona akan kecantikan seorang Karina Rosalind Sutoyo. Dia akhirnya bisa melihat secara langsung bagaimana rupa Karina.
“Kita balik sekarang,” cetus Tristan tiba-tiba.
Anwar menoleh terkejut pada Tristan. Dia tampak tidak terima temannya ini mengajaknya pulang padahal masih jam 11 malam. “Pulang? Ini bahkan belum puncak acara, Bang....”
“No. Kita balik,” kata Tristan tetap pada pendiriannya.
Tristan tidak menghiraukan rengekan Anwar yang meminta satu jam lagi berada di tempat ini. Dia sudah lelah dan besok pagi pukul 9 pagi harus pulang ke Indonesia. Jelas dia memilih tidur ketimbang berada di tengah lautan manusia yang tidak dia kenali ini.
///
Sampai di Indonesia, Tristan sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya yang tertunda karena kepergiannya ke Italia. Dia hanya diberikan libur sehari untuk menghilangkan efek jet lag, yang belum bisa dia ajak kerjasama meski sudah sering dia menggunakan pesawat untuk bepergian.
Sejak pagi dia mengikuti rapat bersama direksi, dilanjut untuk melihat bagaimana perkembangan penelitian ponsel versi terbaru. Anwar juga sellau ikut bersamanya dan menjadi lebih sibuk karena harus selalu mempersiapkan kebutuhan Tristan. Jeda sebentar untuk beristirahat ketika jam makan siang tiba.
“Lo nggak akan nyerah gitu aja soal Karina ‘kan, Bang?” tanya Anwar. Dia akhirnya menanyakan hal ini setelah menundanya sejak mereka pulang dari Italia.
“Lo pikir gitu?” timpal Tristan.
“Ya elo sih, keliatannya tenang-tenang aja,” kata Anwar lantas menghabiskan minumannya sebagai penutup makan siang.
Tristan juga melakukan hal yang sama seperti Anwar sebelum memberikan jawaban pada temannya itu. “Karina itu cewek yang nggak akan mempan kalau dipaksa. Dia butuh jeda.”
“Tapi sampai kapan? Kalau Karina ada di Bandung sih gampang, tinggal samperin sejam doang sampe. Lah ini di Italia!”
“Jum’at gue bakal ke sana lagi. Sampai hati itu, gue akan susun rencana. Karena gue nggak mungkin ninggalin perusahaan terlalu sering. Anak kakek jelas nggak akan tinggal diam kalau perusahaan lagi kosong,” jelas Tristan.
Anwar akhirnya bisa mengerti akan maksud Tristan. Dia pun tidak bisa mengatakan pendapat lain lagi, sebab memang demikian harusnya Tristan bersikap. Dia setuju akan ide direktur utamanya ini.
///
Hari Jum’at sore, Tristan benar-benar sudah berada di dalam pesawat menuju Milan. Dia menggunakan rute yang sama, yaitu melalui Doha untuk transit. Dia juga duduk di tempat yang sebelumnya pernah dia duduki saat bertemu pertama kali dengan Karina. Entah kenapa ingatan itu muncul di otaknya.
Di Doha, Tristan transit selama 9 jam. Melanjutkan setengah jam lagi setelah cukup beristirahat. Karena kali ini dia pergi tanpa Anwar, tentu harus menyiapkan apapun sendiri.
Sampai di Milan, dia disambut oleh langit yang sudah cerah. Dengan menggeret koper kecilnya, Tristan menghubungi seseorang yang sudah dipesan untuk mengantarnya ke sana kemari.
"Langsung ke alamat yang sudah diatur Anwar," titah Tristan pada Fazio.
"Baik, Sir."
Satu setengah jam kemudian, Tristan akhirnya tiba di depan sebuah pintu apartemen berwarna abu. Dia segera menekan bel di samping pintu hingga beberapa kali.
"Aih... siapa yang datang sepagi ini?!"
Tristan dapat mendengar jelas keluhan itu, ketika pintu akhirnya terbuka. Saat itu juga menampakkan sosok Karina dengan pakaian yang membuat alis Tristan naik karena terkejut.
Lingerie warna merah muda yang hanya menutupi sampai pangkal paha. Pemandangan yang cukup indah di pagi hari.
"Selamat pagi, Karina," ucap Tristan. Lalu dapat dia lihat ekspresi penuh keterkejutan dari perempuan di hadapannya ini.
Mata Karina membulat sempurna. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" pekik Karina.
.
.
///