bc

Mengasuh Anak Mantan

book_age18+
11
IKUTI
1K
BACA
forbidden
love-triangle
family
HE
friends to lovers
stepfather
heir/heiress
blue collar
drama
sweet
lighthearted
bold
single daddy
city
office/work place
childhood crush
secrets
affair
like
intro-logo
Uraian

Elvira mengalami kemalangan bertubi. Bayinya gagal diselamatkan saat dilahirkan. Dalam masa berkabung, sang suami justru menceraikannya dengan alasan kecewa.

Elvira tak pernah menyangka di masa terpuruknya dia justru dipertemukan kembali dengan Arshaka Jiwandaru–mantan kekasihnya yang baru saja kehilangan istrinya saat melahirkan. Dia butuh sosok ibu s**u untuk bayinya yang terlahir prematur, yang tidak mau menerima s**u formula.

Setelah lima tahun terpisah, Vira dan Shaka kembali terhubung sebagai pengasuh dan majikan. Benih cinta kembali tumbuh, tetapi restu yang dulu menjadi tembok penghalang hubungan mereka masih berdiri kokoh.

Akankah kesempatan kedua itu berhasil menyatukan cinta yang dulu kandas, atau justru membuat mereka terluka untuk kedua yang kalinya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1.
"Dasar wanita pembawa sial! Gara-gara kecerobohanmu, cucuku meninggal!" Elvira yang baru sadar pasca operasi caesar dikejutkan dengan suara melengking yang memenuhi ruang perawatannya. Kedua mata wanita itu mengerjap perlahan berusaha mencerna ucapan Widya–ibu mertuanya. Dia berusaha bangkit menyandarkan tubuhnya mengabaikan luka operasi yang masih segar, dan terasa nyeri. "A-apa?! Anakku meninggal?" Suaranya terdengar serak dan lemah, nyaris seperti bisikan. Kaca-kaca bening tertampak jelas di kedua mata wanita itu. "Ya! Cucu yang aku nanti-nantikan tidak tertolong! Dan kamu yang membunuhnya, Vira." Widya–yang sejak awal tak pernah menyukai menantunya–kembali bersuara dengan nada yang tajam. Tangannya menuding tepat wajah pucat sang menantu disertai sorot penuh kebencian. Elvira menggeleng cepat menyangkal tuduhan itu. "Bu, aku gak membunuhnya. Aku gak sengaja terpeleset di dapur. Aku gak tahu kenapa ada minyak di lantai. Padahal–" "Alasan!" Widya memotong cepat penjelasan menantunya. "Kalau kamu tidak ceroboh, bayi itu masih hidup! Kamu sudah membunuh darah daging putraku ... sekarang ingin cuci tangan dengan alasan terpeleset?!" Wanita paruh baya itu tampak memiringkan senyumnya seraya menyilangkan tangan ke d**a. Elvira menggeleng cepat diserat lelehan air mata yang mulai membasahi pipi. "Bu, jangan bicara seperti itu. Aku juga mengharapkan kehadirannya. Dia anakku ... aku gak mungkin membunuhnya." "Cukup, Vira!" Suara lain memotong, tampak seorang pria memasuki ruangan, berdiri di samping ibunya dengan wajah yang tegang. Dialah Bayu Lesmana–suami Elvira. Sorot matanya pun tak kalah tajam dari tatapan sang ibu, seperti mata pisau yang siap menguliti wanita itu hidup-hidup. "Aku gak mau dengar alasan apa pun yang keluar dari mulutmu. Aku kecewa sama kamu." "Kamu ikut nyalahin aku, Mas." Wanita berusia 27 tahun itu menatap suaminya dengan tatapan penuh kekecewaan. "Karena kamu memang pantas disalahkan!" Teriakan pria itu menggema ke seluruh ruangan. "Anak yang aku harapkan kehadirannya tidak akan mati kalau kamu lebih hati-hati." "Kamu gak bisa nyalahin aku gitu aja, Mas! Di sini bukan cuma kamu yang berduka, tapi aku juga. Aku ibunya. Aku yang mengandungnya selama tujuh bulan ini. Aku juga gak mau hal ini terjadi. Tapi kejadian itu terjadi begitu cepat. Aku gak tau kenapa bisa ada tumpahan minyak di lantai. Padahal sebelumnya lantai itu bersih." Elvira yang tidak terima disalahkan begitu saja pun berusaha membela diri. Akan tetapi, pembelaan itu terasa sia-sia belaka, baik Bayu dan ibunya hanya mengabaikan, menganggap perkataan wanita itu sebatas angin lalu. Di mata mereka, Elvira telah membuat kesalahan fatal karena kecerobohannya. "Sudah salah masih saja gak mau ngaku. Sudahlah, Yu ... ceraikan saja wanita ini! Dia bukan wanita yang baik buatmu. Kalau memang dia wanita baik-baik, dia pasti akan menjaga anaknya." Nada bicara Widya tidak lagi meledak seperti tadi, tapi tetap saja tajamnya ucapan itu mampu menembus relung hati Elvira. Bayu menghela napas panjang, berusaha meredam amarah yang bersarang dalam d**a, sebelum akhirnya berucap pelan. "Ibu benar, kamu memang bukan wanita yang baik. Detik ini juga, aku jatuhkan talak kepadamu, Elvira Anastasia!" Dunia wanita itu seakan runtuh setelah mendengar kata "talak" yang terucap dari bibir suaminya. Haruskah sekejam ini konsekuensi yang harus dia terima. Dalam satu waktu, dia tidak hanya kehilangan anaknya, tetapi juga suami yang sangat dicintainya. Belum sempat Elvira membalas ucapan itu, Widya mengeluarkan selembar surat beserta sebuah bolpoin dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja kecil di samping ranjang perawatan. “Suratnya sudah disiapkan. Segera tanda tangani! Kalau kamu masih punya harga diri. Setelah ini, jangan pernah ganggu putraku lagi.” Air mata Elvira lolos begitu saja melihat surat berlogo pengadilan itu. Hatinya sakit seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata dari dalam, selimut rumah sakit yang membalut tubuh diremasnya kuat-kuat sebagai pelampiasan rasa sakit. Wanita itu menghela napas panjang berusaha meredam rasa sakit yang membelenggu hatinya. "Baik, jika itu maumu ... aku terima kata talakmu, Mas," ucap Elvira seraya meraih surat gugatan itu, lalu membubuhkan tanda tangan pada tempat yang tertera namanya, kemudian meletakkan kembali kertas itu ke atas meja yang langsung diambil oleh Widya. Segaris senyum penuh kepuasan tercetak jelas di bibir wanita paruh baya itu saat melihat tanda tangan sang menantu yang terbubuh di sana. "Aku gak akan memohon atau pun menghalangimu untuk pergi. Pergilah jika memang itu maumu. Tapi, setidaknya ... izinkan aku melihat anakku untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin melihatnya walau cuma sebentar." "Dia sudah dimakamkan. Kamu pembunuhnya ... kamu gak berhak melihatnya, meski hanya sedetik." Widya menyahut dengan nada sinisnya. Kalimat itu seperti belati yang berhasil mengiris hati Elvira. Wanita itu terisak kencang, hingga membuat tubuhnya terguncang. Dia mencoba meraih tangan ibu mertuanya. Tapi, luka bekas operasi berhasil menahan gerakannya di atas ranjang pesakitan. "Bu, aku ibunya! Aku juga berhak melihatnya! Tolong, kasih tahu aku di mana makamnya!" Mengabaikan isak tangis Elvira, Widya justru menarik paksa tangan putranya untuk keluar dari ruang perawatan itu. "Bu, Mas Bayu, jangan pergi dulu! Katakan di mana makam anakku! Kenapa kalian kejam sekali?" Teriakan Elvira mengiringi kepergian Bayu dan ibunya. Elvira terduduk dengan tubuh menggigil. Tangisnya pecah tak terkendali. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan. Semua berlalu begitu cepat dan terlalu kejam. Dia baru saja kehilangan anaknya, dan dalam hitungan jam, dia juga kehilangan suami dan rumah tangganya. Ruang perawatan kelas satu itu dipenuhi isak tangis Elvira. Isakan tangisnya terdengar menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya. Tangis wanita itu terhenti saat tanpa sengaja netranya menangkap sebuah pisau buah yang tergeletak di atas sepiring apel–yang ada di atas meja nakas. Tanpa ragu, dia segera meraih pisau kecil itu lalu bersiap menggoreskan ke pergelangan tangan yang terbebas dari infus. Matanya yang memerah menatap mata pisau yang hampir bersentuhan dengan kulit putih itu. "Untuk apa aku hidup. Anak yang aku harapkan bisa menjadi temanku telah pergi. Aku gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," gumamnya dalam hati dengan air mata masih mengalir tanpa henti. Kedua matanya mulai terpejam seiring pisau yang mulai menggores tangan. "Tunggu mama, Nak ... mama akan menyusulmu." Namun, sebelum pisau kecil itu sempat melukai tubuhnya, sebuah tangan tiba-tiba datang merebut paksa pisau tersebut, lalu membuangnya ke lantai begitu saja. Kedua mata Elvira membelalak sempurna, saat melihat seorang wanita berpakaian modis ala pegawai kantoran tengah berdiri di hadapannya disertai tatapan penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan, Vira?! Kamu baru melahirkan ... bisa-bisanya ingin mengakhiri hidup. Kalau kamu mati ... gimana dengan anakmu?!" Susan berteriak seraya mengguncang kedua lengan sahabatnya. Tangis Elvira semakin pecah mendengar perkataan terakhir sahabatnya. Wanita itu tidak menjawab, hanya menunduk dengan tangis yang semakin menjadi. "Di mana suamimu? Kenapa kamu sendirian di sini?" cecar wanita itu seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, saat melihat tidak ada siapapun yang mendampingi sahabatnya. "Bayimu juga di mana?" tanya Susan lagi dengan nada lantang saat tak kunjung mendapat jawaban. Dia segera menangkup lembut kedua pipi sahabatnya saat merasakan sebuah kejanggalan. Kemarin, dia mendapat kabar dari Bayu jika Elvira dilarikan ke rumah sakit akibat pendarahan dini dan harus melahirkan secara prematur melalui operasi caesar. Hanya saja, posisinya kemarin masih ada di luar kota, sehingga tidak bisa datang untuk menemani Elvira melahirkan. Dia baru bisa pulang hari ini dan langsung meluncur ke rumah sakit menjenguk sahabatnya. Namun, ketika baru memasuki ruangan, dia justru dikejutkan dengan Elvira yang ingin melakukan aksi bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya sendiri. "Susan, anakku ... dia ... dia gak selamat." Suara lemah Elvira berhasil membuyarkan lamunan Susan. Tangis Elvira kembali pecah disertai tubuh yang gemetar akibat tangis yang menjadi. Susan tak bisa menutupi rasa terkejutnya sampai tak bisa berkata-kata. Kabar itu terlalu mengejutkan. Amarah yang sempat menyelimuti diri, menguap entah kemana. Tanpa mengucap banyak kata, dia langsung memeluk tubuh sahabatnya. "Mereka menyalahkan aku, San. Mereka bilang aku pembunuh anakku sendiri. Mereka menghakimiku seolah hanya mereka yang berduka. Padahal aku juga berduka, bahkan mereka gak mau ngasih tahu aku di mana makam anakku," kata Elvira di sela tangisnya. Susan semakin mengeratkan dekapannya, berharap dekapan itu bisa meredam rasa sakit yang mendera sahabatnya. Matanya ikut berkaca-kaca melihat sahabat baiknya terpuruk seperti itu. "Sabar, ya, Vir ... Tuhan lebih sayang anakmu. Terus di mana Bayu sekarang? Harusnya dia ada di sini nemenin kamu?" "Dia pergi setelah menjatuhkan talak," jawab Elvira dengan suara parau. Kedua mata Susan membelalak sempurna, bersamaan dengan amarah kembali menguasai diri wanita itu. "Kurang ajar si Bayu! Tega-teganya melakukan ini di saat kamu baru melahirkan anaknya." Ketukan pintu dari luar berhasil mengalihkan perhatian dua wanita itu. Susan segera melerai dekapannya ketika melihat seorang suster masuk dengan senyum ramahnya. "Selamat sore, Bu Elvira. Saya kemari ingin memberitahukan agar Anda segera menyelesaikan administrasi rumah sakit. Tadi kata Pak Bayu disuruh menyodorkan tagihan ini langsung pada Anda," kata Suster itu seraya menyodorkan selembar surat ke arah Elvira. Baik Elvira maupun Susan sama-sama tertegun di tempat. Namun, tak urung Elvira tetap menerima surat itu dan segera membukanya. Kedua matanya membelalak sempurna saat melihat nominal yang harus dibayarkan. "Sus, saya baru semalam di sini. Kenapa biayanya bisa sebanyak ini?" Elvira memprotes berharap ada kesalahan dalam penjumlahan. "Total keseluruhan biaya operasi caesar dan biaya rawat inap kamar kelas satu, dalam semalam memang segitu, Bu ... dan Pak Bayu menyerahkan seluruh biayanya kepada Anda." Elvira tak bisa lagi berkata apa-apa, otaknya seakan lumpuh tak bisa berpikir. Bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan dia tidak lagi bekerja sejak menikah dengan Bayu, dan tidak memiliki tabungan sama sekali. Dia juga sebatang kara. Satu-satunya harta berharga yang dimilikinya hanya rumah peninggalan orang tuanya. Seandainya rumah itu dijual, lalu dia akan tinggal di mana setelah ini? "Keterlaluan si Bayu, bisa-bisanya lepas tangan gitu aja," geram Susan saat mendengar hal itu. "Sus, saya yang akan menanggung semua biayanya. Jika ada masalah dengan biaya perawatan Elvira, langsung hubungi saya dan ini kartu nama saya," kata Susan lagi seraya menyodorkan kartu nama miliknya. Elvira yang melihat hal itu pun berusaha menolak, tetapi sebelum dia sempat berucap, perkataan Susan berhasil membungkamnya. "Vir, jangan nolak! Emang kamu punya uang buat bayar?" Elvira terbungkam tak tahu harus menjawab apa. Kepalanya justru tertunduk dalam. Untuk saat ini, memang tidak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah menerima bantuan Susan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
315.3K
bc

Too Late for Regret

read
322.1K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
145.3K
bc

The Lost Pack

read
441.1K
bc

Revenge, served in a black dress

read
154.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook